Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Langkah Hukum Atasi Lonjakan Hoax di Dunia Maya Saat Corona
Oleh : Opini
Senin | 13-04-2020 | 13:16 WIB
hoax-bahaya2.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi hoax. (Foto: Ist)

Oleh Erlangga P

SETIDAKNYA 266 orang telah ditangkap karena mengunggah informasi terkait virus corona Covid-19 di sepuluh negara Asia. Termasuk Thailand, India, dan Mongolia. Angka ini menurut penghitungan AFP berdasarkan laporan polisi.

Mereka termasuk politikus lokal di India yang menyuarakan pendapatnya di media sosial Facebook. Antara lain mengatakan pemerintah meremehkan kematian akibat virus ini.

Sementara bintang televisi Malaysia diwajibkan membayar denda beberapa ribu dolar AS setelah dia mengunggah video YouTube mengkritik penanganan pandemi di rumah sakit.

Pihak berwenang mengatakan, kriminalisasi diperlukan untuk mengekang penyebaran teori konspirasi dan adanya obat palsu berbahaya.

Seorang perempuan paruh baya di Sri Lanka menghabiskan tiga hari dalam tahanan minggu ini. Polisi setempat mengatakan, ia mengunggah pesan iseng di Facebook mengatakan presiden telah dinyatakan positif Covid-19.

Di Kamboja, cendekiawan mengunggah kutipan dari Perdana Menteri Hun Sen di Facebook. Ia didakwa dengan hasutan melakukan kejahatan dan menghadapi dua tahun penjara, menurut surat perintah pengadilan yang dilihat oleh AFP.

Para pejabat mengatakan, Hun Sen bercanda ketika ia mengatakan kepada pengemudi taksi sepeda motor untuk menjual kendaraan mereka jika tidak dapat menghasilkan uang dalam pandemi.

Penyebar Rumor Pihak berwenang Kamboja juga telah menahan empat politikus oposisi, menurut HRW. Sementara satu kelompok hak asasi setempat dan sumber-sumber kepolisian mengatakan, seorang gadis berusia 14 tahun termasuk di antara lebih belasan orang yang ditangkap. Dia dibebaskan segera setelah diinterogasi tanpa dikenai tuntutan.

Lonjakan angka penangkapan di Asia terfokus pada kesalahan informasi virus Covid-19. Kenaikan terjadi setelah sejumlah negara menguatkan hukum atau memperkenalkan yang hukum baru atas apa yang disebut penyebar berita palsu.

"Mengatur informasi yang salah dengan memperkenalkan undangundang baru atau dengan memperluas ruang lingkup hukum yang ada, telah menjadi tren di Asia selama beberapa tahun terakhir," kata Masato Kajimoto, peneliti jurnalisme di University of Hong Kong.

Menurut dia, pandemi Covid-19 memperburuknya karena tindakan keras dapat dianggap melindungi kesehatan masyarakat daripada melanggar kebebasan berbicara. Di Thailand, dekrit keadaan darurat disahkan pada akhir Maret 2020.

Dekrit tersebut mengkriminalkan berbagi informasi yang salah secara daring tentang Covid-19 yang dapat memicu rasa takut. Dekrit tersebut ditempatkan di atas Undang-Undang Kejahatan Komputer, yang memiliki hukuman penjara maksimum lima tahun dan sering digunakan untuk kasus perbedaan pendapat secara daring.

Pemerintah Filipina baru-baru ini juga mengadopsi undang-undang darurat yang memberikannya lebih banyak kekuatan untuk memerangi pandemi. Termasuk menangkap orang yang berbagi informasi palsu tentang penyakit tersebut.

Hampir 100 orang di India telah ditangkap karena menyebarkan informasi yang salah tentang virus.

Menurut kelompok hak asasi manusia (HAM), penahanan didasarkan pada unggahan kata-kata tidak jelas atau menyebarkan keadaan darurat secara luas sejak wabah ini dimulai.

"Pemerintah menggunakan label berita palsu untuk mendasari upaya penyalahgunaan hak. Menyensor pendapat dan pernyataan yang bertentangan dengan strategi yang diambil pemerintah untuk menghadapi krisis Covid-19," tutur Phil Robertson, Wakil Direktur Asia untuk Human Rights Watch (HRW), Jumat (10/4/2020).

HRW dan para pegiat HAM lain menunjukkan kasus-kasus di mana tokoh oposisi atau jurnalis dijadikan sasaran. Mereka juga mempertanyakan keadilan menangkap orang biasa yang bahkan mungkin tidak menyadari dirinya telah menyebarkan informasi yang salah.

Di Indonesia, sampai 3 April 2020, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian Indonesia, Brigadir Jenderal Polisi Argo Yuwono, mengatakan, Kepolisian Indonesia telah mengungkap sebanyak 72 kasus penyebaran berita bohong atau hoaks mengenai Covid-19 di media sosial.

Dari puluhan kasus itu, tercatat Polda Jawa Timur dan Polda Metro Jaya masing-masing menangani 11 kasus. Kemudian Polda Jawa Barat, Polda Lampung dan Bareskrim Polri yang menangani masing-masing lima kasus.

Atas perbuatan menyebar hoaks Covid-19, para tersangka dijerat pasal 45 dan pasal 45 A UU ITE dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1/1946 dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.

Selain menegakkan hukum, polisi juga berupaya mengedukasi masyarakat berupa imbauan dan kontra narasi melalui media sosial resmi Kepolisian Indonesia. Agar tidak terjerat dalam ranah pidana, masyarakat untuk terlebih dahulu mengecek kebenaran informasi yang diterima di media sosial sebelum menyebarkannya kepada orang lain.

Patut Didukung

Menurut penulis, penegakkan hukum terhadap pelaku penyebaran hoaks tidak hanya terkait dengan masalah Covid-19, namun juga menyebarkan hoaks lainnya seharusnya ditindaklanjuti tanpa pandang bulu.

Pemerintah juga perlu terus menerus melakukan konter opini dan kontra narasi terkait hoaks-hoaks ini agar tidak menjadi framing besar yang negatif dan menyudutkan pemerintah yang sudah bekerja secara maksimal.

Terkait dengan itu, tuntutan segelintir elemen masyarakat yang menuntut pembebasan Ali Baharsyah yang ditangkap karena tindakan penyebaran kebencian di Medsos dan kasus pornografi, dimana yang diikuti oleh pendukung Ali Baharsyah dengan menyebarkan propaganda lanjutan di Medsos. Jadi, sebaiknya dikenakan langkah hukum yang tegas terhadap mereka.*

Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik Indonesia