Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ternyata, Aktivis Eks HTI Masih Eksis!
Oleh : Opini
Minggu | 12-04-2020 | 19:04 WIB
hti3.jpg Honda-Batam
Ilustrasi HTI. (Foto: Ist)

Oleh Agung Wahyudin

DITTIPIDSIBER Bareskrim Polri menetapkan Ali Baharsyah sebagai tersangka kasus penghinaan Presiden Joko Widodo. Ali ditangkap pada Jumat (3/4) di kediamannya di Jakarta Timur.

Kasubdit II Dittipidsiber Bareskrim Kombes Pol Himawan Bayu Aji mengatakan, dari hasil pemeriksaan forensik ditemukan file video mengandung pornografi. Ali Baharsyah terancam dijerat UU Pornografi.

"Dan ditemukan beberapa file dari hasil forensik digital juga video mengandung video pornografi. Dan kita kenakan pasal pornografi," kata Bayu di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/4). Bayu menuturkan, Ali Baharsyah ditangkap bersama 3 rekannya berinisial HAF, KH, dan AAP. Mereka ditangkap di lokasi yang sama dengan Ali Baharsyah.

"Rekannya diamankan HAF, KH, AAP, yang ini berada dalam 1 TKP. 3 temannya ini sedang diperiksa secara mendalam. Pemeriksaan barang bukti di laboratorium digital forensik, terhadap barang bukti milik temannya juga," ujar Bayu.

Sebelumnya, Ali Baharsyah ditangkap polisi. Pria yang dikenal di media sosial kerap disebut sebagai pendukung Hizbut Tahrir ini ditangkap Tim Cyber Crime Bareskrim Mabes Polri. Ali dijerat pidana UU ITE karena menghina Jokowi. Ali dilaporkan Muannas Alaidid yang dikenal sebagai pendukung Jokowi.

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono mengatakan, Ali terancam hukuman penjara 10 tahun. Ali sendiri diketahui memposting unggahan terkait Jokowi pada 31 Maret 2020.

"Dijerat pasal 45 dan 45 A Undang-undang ITE dengan ancaman pidana 6 tahun penjara, dan Pasal 14 dan 15 Undang-undang no 1 tahun 1946 dengan ancaman penjara pidana 10 tahun penjara," kata Karo Penmas Mabes Polri dalam keterangannya, Minggu (5/4/2020).

Masih Eksis

Apa yang dilakukan Ali Baharsyah jelas menunjukkan bagaimana canggihnya propaganda dan penggalangan yang dilakukan oleh eks HTI, sehingga memiliki pendukung yang sangat militan tersebut.

Tentunya, eks HTI juga menggunakan teori spoting talent bahkan teori intelijen dalam "mencari mangsa" kelompok yang akan digalang oleh mereka. Oleh karena itu, publik harus percaya walaupun secara organisasi HTI/Hizbut Tahrir Indonesia sudah dibubarkan pemerintah, namun pendukung-pendukungnya masih banyak yang berkeliaran alias bermanuver seperti Ali Baharsyah.

Rumors dan informasi yang berkembang menyebutkan, kalangan pendukung eks HTI atau diduga kolega Ali, semacam sudah intens melakukan propaganda mendesak pembebasan Ali Baharsyah dengan alasan mewabahnya Covid-19, dimana mereka menggunakan atau mempertanyakan dalih kemana equality before the law?

Masyarakat awam saja juga menilai malah tidak ada equality before the law jika ada orang yang menghina kepala negara seenaknya bebas lenggang kangkung tanpa merasakan dinginnya "hotel prodeo", apalagi ternyata ditemukan file video mengandung unsur pornografi.

Tidak mengherankan jika pendukung eks HTI doyan dengan video pornografi, karena sejatinya ajaran yang disebarluaskan mereka, tidak sama dengan ajaran Islam bahkan melemahkan ajaran Islam.

Sudahlah untuk menumbuhkan rasa kebangsaan, nasionalisme dan menghargai manusia lainnya, maka Ali Baharsyah harus menjalani masa hukumannya dengan sabar.

Covid-19 tidak dapat dijadikan alasan membebaskannya, karena Ybs belum pernah merasakan proses hukumnya, karena intisari dari proses hukum bukan sekedar pemidanaan, namun juga pembelajaran agar tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.

Kalangan Rektor dan Dekan di beberapa PTN dan PTS juga harus aware dengan persebaran eks HTI dan perekrutannya dilakukan secara taqiyah alias rahasia, dimana eks HTI biasanya melalui organ kampus yang terafiliasi dengan mereka merekrut mahasiswa baru yang berlatar belakang bukan berasal dari pondok pesantren dan kuliah di kampus eksakta sebagai "basis penggalangan mereka".

Jadi, para rektor jangan cuek dengan fenomena ini, karena berkembangnya eks HTI akan membahayakan eksistensi ideologi Pancasila.*

Penulis adalah pengamat sosial dan kolumnis di beberapa media massa