Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Paslon Perseorangan dan Krisis Legitimasi Parpol
Oleh : Opini
Selasa | 31-03-2020 | 13:52 WIB
ilustrasi-calon-independen.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi calon independen. (Foto:Ist)

Oleh Dr. Ade Reza Hariyadi

PILKADA serentak tahun 2018 yang digelar di 171 daerah, tercatat diikuti oleh 512 kandidat, 78 kandidat diantaranya maju melalui jalur perseorangan atau independen. Naiknya animo masyarakat ikut Pilkada lewat jalur perseorangan juga terjadi di Pilkada tahun 2020.

Secara serentak 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) akan menggelar Pilkada. Data sementara yang dirilis KPU, ada 149 bakal paslon dari jalur perseorangan dengan rincian 147 bakal paslon perseorangan untuk pilkada kabupaten/kota dan 2 bakal paslon perseorangan untuk pilkada propinsi.

Verifikasi tahap awal ada 54 bakal paslon perseorangan tidak memenuhi syarat administrasi sehingga tidak bisa mengikuti tahap verifikasi faktual dan rekapitulasi dukungan lebih lanjut.

Fenomena peningkatan paslon dari jalur perseorangan cukup anomali jika dikaitkan dengan sulitnya syarat yang harus dipenuhi. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan PKPU No. 3 Tahun 2017 Pencalonan Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wali Kota, Wakil Wali Kota, mengatur syarat minimal dukungan calon perseorangan dihitung dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) tiap wilayah.

Untuk paslon perseorangan di Pilkada kab/kota harus mengumpulkan dukungan 10% bagi DPT hingga 250 ribu, 8,5% untuk DPT 250 ribu-500 ribu, 7,5% untuk DPT 500 ribu-1 juta, dan 6,5% untuk DPT di atas 1 juta.

Semakin sulit ketika juga diatur syarat sebaran dukungan dilebih dari 50% jumlah kecamatan di kab/kota yang bersangkutan. Sedangkan untuk Pilgub, paslon perseorangan harus mengumpulkan dukungan minimal 10% untuk DPT 2 juta, 8,5% untuk DPT 2 juta-6 juta, 7,5% untuk DPT 6 juta-12 juta, dan 6,5% untuk jumlah DPT lebih dari 12 juta.

Syarat ini lebih tinggi 3,5% dibandingkan yang diatur dalam Perppu No. Tahun 2014 tentang Pilkada, dan dipandang lebih sulit dibandingkan lewat dukungan partai politik yang hanya perlu dukungan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara parpol.

Meski demikian, syarat berat ini tidak menyurutkan minat menempuh jalur perseorangan. Situasi anomali ini sangat mungkin terkait dengan problem dalam kepartaian di tingkat lokal di Indonesia.

Masalah Kepartaian

Diadopsinya mekanisme bagi calon jalur perseorangan semestinya menjadi kesempatan bagi parpol untuk merefleksikan sejauhmana peran strategisnya selama ini. Kewenangan monopolistik untuk menominasikan calon kepala daerah kini tidak lagi berada di tangan parpol, dan parpol tidak lagi satu-satunya aktor dalam demokrasi di tingkat lokal.

Mekanisme jalur perseorangan berangkat dengan asumsi untuk mendorong proses demokrasi lokal yang makin partisipatif, akomodatif dan kompetitif. Hal ini dikarenakan selama ini proses dalam parpol di tingkat lokal dianggap tidak mampu merespon partisipasi masyarakat, kurang akomodatif dan miskin kompetisi internal yang sehat.

Problem patologis dari parpol di tingkat lokal ini membebani upaya mewujudkan demokrasi lokal yang berkualitas.

Masalah yang muncul disebabkan antara lain :

Pertama, oligarki. Di tingkat lokal muncul orang kuat lokal (local strongmen) yang bertindak seperti oligarki yang menguasai dan mengendalikan parpol. Mereka acapkali menghalangi akses publik untuk berpartisipasi dalam partai politik dan merusak demokrasu internal parpol.

Fenomena ini marak terjadi di Indonesia dan familiar di masyarakat sebagai dinasti politik dan mengakibatkan sirkulasi kekuasaan lokal hanya berlangsung dalam ranah hubungan kekerabatan mereka saja.

Kedua, politik biaya tinggi. Pencalonan kandidat melalui jalur parpol dianggap tidak efisien dan biaya politik yang tinggi.

Sebagai ilustrasi sederhana, jika suatu daerah memiliki 50 anggota DPRD, maka syarat 20% kursi setara dengan 10 kursi DPRD, dan jika 1 kursi dikenakan biaya kontribusi (disebut dengan beragam istilah) Rp. 500jt maka setidaknya kandidat harus mengeluarkan biaya rekomendasi Rp. 5 M, hal ini belum menghitung biaya-biaya informal politik maupun biaya pemenangan yang besarannya bisa mencapai puluhan miliar rupiah.

Ketiga, lemahnya kaderisasi parpol. Fenomena parpol semata sebagai kendaraan politik yang transaksional dalam Pilkada bukan hal baru lagi. Sistem kaderisasi yang lemah membuat parpol sulit menominasikan kader sendiri dan kehilangan posisi tawar atas kepentingan kandidat dari luar parpol.

Dalam sejumlah kasus, parpol sering mengabaikan kader internalnya karena dianggap kalah elektabilitasnya dan tidak punya logistik memadai dibandingkan figur-figur dari luar. Hal ini membuat hubungan antar parpol dan kandidat dalam Pilkada seringkali bersifat temporer, pragmatis dan transaksional.

Jalur Perseorangan sebagai Alternatif

Masalah kepartaian di tingkat lokal telah mendorong meningkatnya pilihan jalur perseorangan dalam Pilkada. Masyarakat yang semakin kritis mulai melihat bahwa institusi strategis dalam mobilisasi pemilih tidak hanya dimonopoli oleh parpol.

Selain itu, kalkulasi ekonomi politik Pilkada juga mendorong jalur perseorangan sebagai alternatif yang dianggap lebih efisien dan memungkinkan partisipasi publik lebih luas.

Meski demikian, jalur perseorangan juga bukanlah tanpa potensi masalah politik. Kemampuan membangun konsensus dan kerjasama dengan DPRD biasanya menjadi masalah diawal pemerintahan.

Jika masalah ini tidak dipecahkan, potensi terburuknya adalah divided government (pemerintahan yang terbelah) dimana eksekutif dan legislatif berada dalam relasi konflik diametral. Hal ini dapat membuat kebijakan pemerintah menjadi tidak efektif dan lambat eksekusinya.

Dalam sejumlah kasus calon perseorangan yang terpilih memang dapat cepat membangun konsensus. Biasanya melalui power sharing pemerintahan berupa politik saling akomodasi kebijakan dan formasi kekuasaan eksekutif lokal (semisal pengisian formasi kepala dinas dan program pembangunan), namun ini justru dapat menjadi boomerang bagi upaya memujudkan pemerintahan yang kredibel dan sejalan dengan prinsip good governance.

Selain itu, modus lain juga dilakukan oleh calon perseorangan yang terpilih biasanya mengambilalih atau merebut posisi sebagai pimpinan atau ketua parpol di tingkat lokal.

Dengan sumber daya politik baru yang dimenangkannya, calon terpilih ini memiliki posisi tawar yang kuat dan biasanya diperebutkan oleh parpol di tingkat lokal untuk memberikan padanya posisi pucuk pimpinan.

Hal ini juga berpotensi menghambat demokrasi internal dan upaya membangun kaderisasi parpol yang lebih sehat.

Situasi dilema inilah yang kini menjadi wajah politik di tingkat lokal yang tentu merupakan tantangan bagi demokratisasi lokal di Indonesia melalui Pilkada.*

Penulis adalah doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) Jakarta dan seorang dosen