Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pengerahan Pasukan TNI-Polri dan Kebutuhan Keamanan Papua
Oleh : Opini
Selasa | 10-03-2020 | 12:41 WIB
ilustrasi-baku-tembak1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi pasukan TNI saat menjalankan pengamanan di Papua. (Foto: Ist)

Oleh Ade Reza Hariyadi

JIKA merujuk pada gelombang kerusuhan yang terjadi di sejumlah wilayah Papua, seperti Sorong, Manokwari, Deiyai dan Jayapura pada akhir Agustus 2019, tampaknya tidak ada alasan yang masuk akal untuk menolak pengerahan pasukan TNI/Polri dari luar Papua guna memperkuat personel keamanan yang telah ada di Papua.

Aksi unjuk rasa tersebut disinyalir kuat disusupi oleh elemen separatis hingga kemudian berkembang menjadi kerusuhan brutal yang menyebabkan korban jiwa dan kerusakan fasilitas publik.

Hal tersebut terlihat dari isu utama protes terhadap dugaan rasisme yang dialami sejumlah mahasiswa Papua di Jawa Timur menjadi tuntutan referendum dan kemerdekaan Papua.

Selain itu, target dan sasaran berupa fasilitas publik dan pemerintahan, serta aksi kekerasan terhadap warga pendatang, semakin memperkuat sinyalemen bahwa aksi tersebut dimanfaatkan kelompok simpatisan OPM untuk mendelegitimasi eksistensi pemerintahan di Papua.

Potensi kerawanan sosial di Papua juga menjadi semakin kompleks ketika hingga kini aksi kekerasan dan penembakan terjadi secara sporadis di sejumlah wilayah.

Sasaran tidak hanya instalasi pemerintahan dan aparatusnya, tetapi telah menyasar instalasi publik, termasuk para pekerja sipil yang sedang membangun infrastruktur Papua.

Pada Desember 2019, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dipimpin oleh Egianus Kogoya menyerang pekerja Trans Papua dan membunuh 31 orang.

Kelompok ini disinyalir berjumlah 50 orang dan memiliki puluhan pucuk senjata organik standar militer dan menjadi kekuatan teror di wilayah Nduga, Papua.

Sesuai Karakteristik Ancaman

Sebagai negara yang berdaulat, pemerintah Indonesia memiliki otoritas sepenuhnya dalam hal penyelenggaraan sistem keamanan dan pertahanan di seluruh wilayah sesuai dengan kondisi objektif, baik potensi keamanan dan pertahanan yang ada maupun karakteristik ancaman yang harus dihadapi.

Di sektor pertahanan, keberadaan Kodam XVIII Kasuari sebagai pemekaran dari Kodam XVII Cendrawasih merupakan bagian dari sistem pertahanan di wilayah Papua dan Papua Barat.

Keberadaan kedua Kodam TNI ini sangat wajar mengingat Papua merupakan wilayah yang strategis dengan potensi perbatasan yang memerlukan kehadiran militer yang efektif untuk mengantisipasi terjadinya ancaman yang berpotensi mengganggu kedaulatan nasional.

Selain itu, masih adanya aspirasi kemerdekaan yang disertai dengan munculnya kelompok-kelompok kombatan yang berniat memisahkan diri dari NKRI tentu memerlukan kesiapsiagaan kekuatan militer guna memberikan dukungan pada aparat Polri dalam kerangka penegakan hukum.

Kelompok kombatan yang kerap disebut dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ini menjadi aktor utama yang menciptakan teror dan gangguan keamanan di Papua.

Dalam sejumlah kasus, seperti yang terjadi di Nduga, KKB tidak hanya menyerang TNI/Polri, tetapi juga menggunakan warga sipil sebagai arena proxy war dan tameng hidup ketika kelompok ini melakukan aksi penyerangan.

Hal ini telah memicu serangkaian peristiwa kekerasan dan menyebabkan pengungsian warga sipil.

Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Papua memiliki karakteristik ancaman baik yang bersifat militer maupun nirmiliter sehingga memerlukan respon terpadu antara TNI dan Polri sebagai aktor utama dalam sistem pertahanan dan sistem keamanan nasional.

Papua juga memiliki sejumlah objek vital yang strategis baik bagi kepentingan masyarakat Papua maupun kepentingan nasional.

Beratnya medan geografis serta tingginya potensi gangguan dari KKB tidak bisa dipandang sebelah mata dan memerlukan sinergi seluruh pemangku kepentingan, terutama apparatus represif negara (TNI/Polri) untuk memastikan keamanan operasi dan keberadaan sejumlah objek vital nasional yang berada di wilayah Papua.

Aturan Pelibatan

Wacana kritis maupun sinyalemen penolakan terhadap pengerahan kekuatan tambahan TNI/Polri ke Papua di satu sisi dapat menjadi sarana kontrol bagi potensi penggunaan kekuatan bersenjata yang eksesif di Papua.

Hal ini dimaklumi mengingat sejarah Papua sebagai bekas Daerah Operasi Militer (DOM) menyisakan masa kelam yang sarat dengan potensi pelanggaran HAM.

Namun, kita tidak boleh set back dan terlalu jauh membayangkan bahwa seolah ada upaya untuk menghadirkan kembali wajah kekerasan di masa lalu dalam memenuhi kebutuhan rasa aman masyarakat Papua.

Kini, aturan perundang-undangan (UU 34/2004 tentang TNI) telah memberikan kerangka yang tegas tentang tugas TNI baik dalam Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Kedua tugas ini tunduk pada otoritas politik sipil dan memiliki dasar rule of engagement yang jelas.

Semisal OMSP dimana pelibatan TNI sebagai unsur pendukung yang di BKO kan untuk membantu Polri baik dalam pengamanan objek vital nasional, mengatasi gerakan bersenjata dan terorisme, penanganan konflik dan huru hara.

Pelaksanaan tugas dari TNI juga tunduk pada prinsip-prinsip humanitarian sebagai bagian dari perlindungan HAM. Instrument tersebut membatasi keterlibatan TNI sebagai kekuatan pendukung dalam OMSP dan mencegah terjadinya penggunaan kekuatan yang berlebihan.

Fakta bahwa ada ancaman bersenjata, serta potensi gangguan keamanan dan kepentingan publik hendaknya menjadi isu utama dalam merespon kebijakan sebagai negara berdaulat dalam melakukan mobilisasi maupun demobilisasi apparatus represifnya dalam kerangka menegakkan hukum dan menjamin keamanan warga negara.

Keterbatasan personel dan kemampuan Polri dalam merespon ancaman bersenjata tentu tidak bisa dibiarkan. Meski demikian, pelibatan TNI sebagai komponen pendukung kepolisian guna to serve and protect tentu perlu diawasi akuntabilitasnya.

Sehingga, lebih urgen isu untuk membangun sistem pengawasan dan akuntabilitas penggunaan kekuatan TNI dalam OMSP dibanding terjebak dengan prejudice yang berlebihan, sementara gangguan keamanan dan gejolak sosial justru berkembang di lapangan tanpa penanganan yang efektif.*

Penulis adalah doktor lulusan Universitas Indonesia