Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menanti Sikap Tegas Pemerintah atas Anarkisme di Waropen Papua
Oleh : Opini
Sabtu | 07-03-2020 | 13:16 WIB
tw-dam.jpg Honda-Batam
Penulis TW Deora dengan beground lukisan para presiden RI. (Foto: Ist)

Oleh TW Deora

PULUHAN masyarakat di Kabupaten Waropen, Jumat (6/3/2020) pagi sekitar pukul 5.30 WIT melakukan pengrusakan kantor dan upaya pembakaran Bupati Waropen.

 

Dari Pantauan pers di lokasi, sejumlah gedung kantor seperti, Ruang Bupati, Ruang Wakil Bupati, Kantor Badan keuangan dan aset daerah (BPKAD), Kantor Bappeda, Aula pertemuan di Nonomi, Kantor dinas kesehatan, Kantor dinas pendidikan, dan kantor BPBD rusak diamuk massa.

Beberapa titik api sempat terlihat di Ruang Kanntor BPKAD, dan diruang Kantor Wakil Bupati. polisi yang langsung turun ke TKP memberikan tembakan peringatan dihiraukan massa dan sempat dilakukan pengejaran oleh massa.

Kapolres Waropen APKP Suhadak yang turut dalam pengamanan aksi ini, langsung menengahi dan meminta masa untuk mundur dari lokasi kantor Bupati, setelah itu polisi berhasil memadamkan lima titik api sudah sempat membakar plafon bangunan BPKAD dan Kantor Wakil Bupati.

Aksi tidak terkendali ini, berlanjut di Nonomi dimana sebagian kantor OPD berada didaerah itu yang tidak jauh dari kantor Bupati juga ikut dirusak massa dengan memecahkan kaca-kaca dan pintu bangunan. Pengrusakan oleh sejumlah massa ini diduga atas ketidakterimaan pendukung Yermias Bisai, yang ditetapkkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Papua.

Mengacu kepada Vaclav Havel (1992) yang mengatakan, politik bukanlah cara untuk menipu atau memperkosa hak-hak rakyat. Politik adalah cara untuk mendukung kebahagiaan dan kepentingan umum guna membuat dunia yang lebih baik, maka tindakan anarkis tidak dibenarkan.

Tindak Tegas

Keberanian massa anarkis yang melakukan pembakaran di Waropen disebabkan karena mereka kemungkinan telah dikapitalisasi untuk "membabi buta" menolak proses penegakkan hukum tanpa mereka menyadari bahwa tindakannya salah dan wajib ditindak tegas oleh aparat negara di Papua untuk menunjukkan kehadiran negara di sana.

When States Fail: Causes and Consequences (ed Robert I Rotberg,2003) : negara gagal adalah negara yang tidak mampu memberi kebajikan umum (public good) kepada warga, khususnya keamanan atas harta benda dan jiwa.

Terkait keberanian dan keberingasan massa di Waropen sebenarnya secara akademis sudah dikemukakan berbagai pakar psikologi, komunikasi dan strategi.

Menurut Leon Festinger dalam Human Relations mengatakan, kebersamaan interaktif manusia dalam suatu kelompok massa berpotensi menimbulkan fenomena deindividuasi atau menurunnya “tanggung jawab”masing-masing individu.

Sementara, Theodore Newcombe dalam The Aquitance Process mengatakan, berpadunya "kegairahan" dengan "penurunan" rasa tanggung jawab mudah untuk menyulut massa melupakan norma-norma sosialnya dan melakukan tindakan destruktif.

Sedangkan, Irving Janis dalam Groupthink mengatakan, akan sulit bagi individu-individu di dalamnya untuk tidak larut bersama tindakan kelompok.

Kemudian, Stroms and Thomas dalam Social Psychology mengatakan, kehadiran massa cenderung meningkatkan "bobot" aspirasi yang disuarakan oleh kelompok tersebut sendiri.

E Knowles dalam Journal of Personality mengatakan, semakin besar massa yang bergabung semakin besar pula “gairah” yang berhasil mereka ciptakan untuk menyuarakan aspirasinya.

Menjadi tantangan aparat intelijen, aparat keamanan dan aparat penegak hukum di Kabupaten Waropen untuk mengusut tuntas aksi anarkisme tersebut, karena membakar fasilitas umum milik negara dapat diartikan sebagai melakukan perlawanan terhadap negara.*

Penulis adalah pemerhati masalah nasional