Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dorong Pengesahan Ranperda RZWP3K

GKNI Gelar Seminar Reklamasi Pascatambang dan Potensi Pasir Laut untuk PAD Kepri
Oleh : CR-3
Jumat | 21-02-2020 | 16:52 WIB
seminar-reklamasi.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ahli Pertambangan Ir Budi Santoso (dua dari kanan) saat memaparkan materi seminar di Gedung LAM, Batam Center, Jumat (21/2/2020). (Foto: Paschall RH)

BATAMTODAY.COM, Batam - Guna mendorong percepatan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepri, Gerakan Kewirausahaan Nasional Indonesia (GKNI) menggelar seminar di Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Batam Center, Kota Batam, Jumat (21/2/2020).

Sekeretaris GKNI, Asrajuddin, menyampaikan, seminar yang mengusung tema 'Reklamasi dan Pasca Tambang Serta Potensi Pasir Laut untuk PAD Kepri' bertujuan mempertegas kepastian hukum untuk reklamasi dan pasca tambang yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

"Kita sengaja mengangkat tema ini agar kepastian hukum terkait reklamasi dan pasca tambang segera disahkan DPRD dan pemerintah daerah," kata Asrajuddin.

Seminar yang juga membahas potensi pasir laut untuk PAD Lepri itu dihadiri beberapa pemateri, di antaranya, H. Abdul Wahid (anggota Komisi VII DPR RI), Ahli Pertambangan Ir Budi Santoso serta beberapa pemateri lainnya.

Mendapat kesempatan pertama menyampaikan materi seminar, Anggota Komisi VII DPR RI, H Abdul Wahid mengatakan, pengawasan terhadap kegiatan reklamasi dan pertambangan di daerah adalah kewenangan pusat.

Namun, kata Abdul, apabila reklamasi dan pertambangan yang berkaitan dengan suatu wilayah provinsi, maka kewenangan pemberian perizinan berada di Pemerintah Provinsi.

"Pengawasan kegiatan reklamasi dan tambang yang berkaitan dengan suatu wilayah provinsi, maka kewenangannya berada di pemerintah provinsi. Kecuali, daerah-daerah perbatasan antar negara, maka dikelola pusat," kata Abdul Wahid.

Sementara untuk perizinan tambang pasir laut, kata Abdul, sedikit terkendala soal pemberitaan, kesiapan masyarakat serta ketahanan negara. Maka, pengkajian pemberian izin ekspor sangat rumit dan mendalam karena berkaitan dengan negara.

"Namun masih ada kesempatan, tinggal keseriusan pemerintah provinsi memaparkan kira-kira potensinya di mana, sebesar apa? Serta dampak dari kegiatan penambangan pasir laut sehingga kami dari Komisi VII DPR RI tinggal memberikan support," terangnya.

Sementara yang paling penting, lanjutnya, adalah soal isu lingkungan. Lingkungkan itu harus dibahas dan ditata sehingga tidak menimbulkan masalah ke depannya.

Di tempat yang sama, Ahli Pertambangan Ir Budi Santoso mengatakan, saat ini sejumlah praktisi di bidang pertambangan tengah menyoroti pasal-pasal dalam Rancangan Undang-undangan Mineral Dan Batubara (RUU Minerba).

"Revisi aturan yang kini sedang dibahas di DPR RI itu, diduga sarat isi titipan dari pengusaha tambang," kata Ir Budi Santoso, saat menyampaikan materi seminar.

Budi menjelaskan, dalam kurun waktu lima tahun mendatang, perusahaan swasta pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama, yang akan habis masa kontrak. Seluruh PKP2B itu memiliki luas lahan lebih dari 15.000 hektare.

Disebutkan dalam pasal 169 A (2b), lanjutnya, pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba, perusahaan tambang diperkenankan melanjutkan operasi produksi dengan luas wilayah sebagaimana yang sudah disetujui. Tanpa dijelaskan batasan maksimalnya.

"UU Minerba memberikan peluang bagi pemerintah untuk mengakhiri kontrak PKP2B. Lalu melalui prosedur lelang, bekas lahan itu diprioritaskan untuk dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," terangnya.

Pasal ini, kata Budi, memperlihatkan kalau pemerintah berpihak kepada swasta dari pada BUMN. "Terkesan pemerintah ditekan oleh pemilik PKP2B dalam merevisi undang-undang untuk kepentingan pengusaha," pungkasnya.

Editor: Gokli