Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Waspadai Radikalisme dan Intoleransi di Lembaga Pendidikan
Oleh : Opini
Jumat | 31-01-2020 | 14:21 WIB
intoleransi-radikalisme.jpg Honda-Batam
Ilustrasi intoleransi radikalisme. (Foto: Ist)

Oleh Ismail

RADIKALISME dan intoleransi masih menjadi ancaman nyata bangsa Indonesia. Penyebarannya paham anti Pancasila tersebut dianggap sudah masuk ke lingkungan Pendidikan sehingga mengancam tumbuh kembang generasi muda.

 

Indonesia merupakan negeri penuh keberagaman. Namun kekayaan bangsa tersebut banyak diusik oleh oknum-oknum yang menginginkan Indonesia hancur atau terbatas pada keinginan mengganti sistem Pemerintahan Pancasila.

Ajaran intoleran dan radikalisme terus digaungkan lambat namun pasti, sudah mulai menjangkiti generasi muda yang masih bersekolah. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat sekolah merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya mampu membentuk karakter manusia Indonesia yang moderat dan mampu menghargai perbedaan.

Salah satu contoh kasus radikalisme dan intoleransi di sekolah terjadi di Gunung Kidul, Yogyakarta. Seorang pembina Pramuka dari Gunung Kidul yang menjadi peserta Kursus Mahir Lanjut (KML) Gerakan Pramuka, dalam praktiknya mengajarkan kepada anak-anak yel-yel dan tepukan rasis dengan menyebut kata kafir. Aksi itu terjadi di salah satu Sekolah Dasar di Kota Yogyakarta.

Tidak berselang Lama, peristiwa tersebut kemudian viral di media sosial. Peristiwa tersebut kemudian berakhir damai dan permintaan maaf.

Berbeda dengan peristiwa di SD Yogyakarta, di Sragen juga terjadi peristiwa seorang siswa berinisial Z mendapat perlakuan tidak mengenakan dari oknum pengurus Rohis di sekolah tersebut karena tidak berhijab.

Siswi tersebut mendapat intimidasi atau teror melalui pesan WA yang disampaikan langsung ke nomor telepon genggam Z. Pelaku yang diketahui adalah pengurus rohis terus menerus mengirim pesan supaya Z menjalankan syariat Islam dengan memakai jilbab. Hampir setiap hari pesan itu masuk ke nomor ponsel Z sehingga yang bersangkutan merasa terganggu.

Di Solo-Jawa Tengah, terdapat seorang siswa Sekolah Menengah Pertama yang dikeluarkan karena mengucapkan selamat ulang tahun kepada temannya. Pihak sekolah mengungkapkan, siswa berinisial AN tersebut dikeluarkan karena banyak melakukan pelanggaran di sekolah yang akhirnya keputusan itu diambil.

Kepala sekolah SMP tersebut mengatakan telah melakukan penindakan sesuai dengan prosedur melalui pendampingan sebelum mengeluarkan siswi kelas VIII itu.

Sementara itu, di salah satu SMK di Sragen Jawa Tengah, bendera mirip dengan HTI dikibarkan oleh pengurus Rohis. Pembentangan bendera mirip lambang HTI di halaman sekolah tersebut terjadi pada hari Minggu 6 Oktober 2019.

Banyaknya kasus tersebut menunjukkan bahwa paham radikal dan intoleran telah menyusup melalui intansi pendidikan. Situasi ini cukup mengkhawatirkan karena dalam lembaga pendidikan, narasi-narasi radikal untuk mendorong perilaku intoleran dengan cepat diterima oleh anak-anak. Selanjutnya anak-anak tersebut akan menganggap intoleran dan radikalisme sebagai sebuah kewajaran.

Adanya kasus radikalisme dan intoleransi di lembaga pendidikan tidak hanya menjadi tugas Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, namun juga masyarakat luas. Dalam hal ini, Pemerintah harus tegas menyikapi hal tersebut.

Anak-anak dan remaja yang masih rentan menjadi target dari propaganda narasi radikal, yang sering kali dikemas sebagai ajaran agama. Sementara itu, masyarakat perlu untuk lebih intensif dalam mewaspadai penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan.

Pemerintah harus kembali melakukan evalusi secara menyeluruh guna menyumbat virus radikalisme dan intoleransi di lembaga Pendidikan. Materi-materi pendidikan termasuk ajaran agama harus dipastikan tidak menimbulkan perpecahan atau bertentangan dengan ideologi Pancasila dan prinsip kebhinnekaan.

Dalam dunia pendidikan, termasuk kegiatan ekstrakurikuler, setiap pihak baik sekolah hingga komite sekolah harus mampu memastikan bahwa ilmu yang ditransfer, telah sesuai dengan nilai nilai Pancasila.

Melihat beberapa kasus intoleran yang terjadi di Jawa Tengah, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo membuat sebuah keputusan dengan memberi sanksi pemecatan bagi siapapun yang mencoba memasukkan paham radikal di lembaga pendidikan di wilayah Jateng sebagai bentuk pencegahan dan juga peringatan bagi oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.

Ketegasan Gubernur Jateng perlu dicontoh untuk menutup celah bagi masuknya paham radikal dan sikap intoleran. Tentu saja sikap ini juga diharapkan dapat dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Menteri Agama.

Tanpa sikap tegas dalam mencegah radikalisme dan sikap intoleran, maka ruang doktrinasi paham tersebut akan semakin luas dengan kemungkinan terburuk beberapa tahun ke depan banyak muncul aksi terorisme yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja.*

Penulis adalah pengamat sosial politik