Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Berangus OPM dan Sayap Politik Hukumnya Wajib
Oleh : Opini
Senin | 13-01-2020 | 15:04 WIB
kkb_papua11.jpg Honda-Batam
Ilustrasi para OPM. (Foto: Ist)

Oleh Wilnas dan Tony Priyono

KEBERADAAN TPN/OPM dan "sayap politiknya" seperti ULMWP, WPNA, NRFPB, AMP, KNPB dan organisasi organisasi sipil lainnya wajib dilarang di Papua dan Papua Barat.

 

Mengapa wajib dilarang? Jika TPN/OPM melakukan tindakan kriminal dan melanggar HAM seperti membunuh warga sipil seperti pekerja pembuatan jalan tol, tukang ojek, warga pendatang dan lain lain.

Maka, ULMWP dkk terbukti telah melakukan tindakan yang menodai demokrasi seperti menyuarakan self determination dan referendum. Padahal, integrasi Papua sudah final, memperingati hari aneksasi Papua setiap 1 Mei.

Meskipun tanggal tersebut adalah hari integrasi Papua, menyoal New York Agreement padahal hal tersebut sudah sah, membuat KTP sendiri seperti NRFPB dan melakukan ibadah syukur menyuarakan dukungan separatisme dan sebagainya.

Aparat intelijen dan penegak hukum mendeteksi, eksisnya TPN/OPM dan "sayap politik" nya karena adanya penyelewengan penggunaan dana Otsus yang selama ini longgar pengawasannya. Bakan, selalu mendapat predikat "WTP alias Wajar Tanpa Pemeriksaan".

Kondisi tersebut diperparah dengan oknum birokrasi pemerintahan yang pro terhadap OPM dan sekutunya, bahkan jika akan diperiksa, "langsung kabur" keluar negeri tanpa izin.

Beberapa oknum mahasiswa asal Papua terutama yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua atau AMP yang eksis di beberapa provinsi dan kota/kabupaten juga pro separatis.

Terbukti, mereka juga sering meneriakkan referendum sebagai solusi final mengatasi masalah Papua, di mana aktifitas mereka sudah terendus oleh aparat negara dan tinggal ditindak secara keras saja.

Apalagi, diduga mereka dibiayai oleh dana Otsus. Sialnya, ternyata masih banyak mahasiswa asal Papua yang memiliki rasa nasionalisme tidak mendapat kucuran dana Otsus. Jadi, wajiblah hukumnya memberangus OPM dan sayap politiknya. *

Penulis adalah pemerhati masalah Papua