Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Arah Positif Indonesia Menurunkan Defisit Neraca Perdagangan
Oleh : Opini
Kamis | 09-01-2020 | 13:19 WIB
ilustrasi-defisit-perdagangan1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi defisit neraca perdagangan. (Foto: Ist)

Oleh Franky Luhulima

SEKTOR perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit pada tahun 2019 dengan nilai sebesar US$3,1 Miliar. Hal ini merupakan tren buruk yang terjadi selama dua tahun berturut-turut, meskipun bukan yang terburuk.

Karena tahun 2018 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan yang disebut-sebut sebagai defisit terdalam sepanjang sejarah yaitu dengan nilai US$ 8,7 Miliar. Pada periode 2018 tersebut, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 180,01 Miliar sedangkan nilai impor mencapai US$ 188,7 Miliar.

Sementara itu pada tahun 2019 nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 153,1 Miliar, sedangkan total impor mencapai US$ 156,2 Miliar. Meskipun mengalami penurunan nilai ekspor maupun impor.

Namun Pemerintah berhasil memperkecil selisih defisit neraca perdagangan dari US$ 8,7 Miliar pada tahun 2018 menjadi US$ 3,1 Miliar pada tahun 2019. Hal ini menandakan bahwa Pemerintah sudah bekerja maksimal untuk memperbaiki sektor perdagangan Indonesia.

Namun membicarakan mengenai defisit neraca perdagangan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan melemahnya perekonomian global sebagai dampak perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok.

Perang dagang tersebut amat berpengaruh pada sisi ekspor Indonesia, dimana permintaan ekspor Indonesia dari negara mitra menjadi berkurang sedangkan impor tetap dilakukan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Selain faktor perang dagang, permasalahan lainnya yang menjadi penyebab masih terjadinya defisit neraca perdagangan menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto adalah besarnya impor Migas saat ini. Saat ini Indonesia masih harus mengimpor Migas dikarenakan produksi Migas domestik sudah tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri.

Untuk menyelesaikan permasalahan impor Migas yang mempengaruhi defisit neraca perdagangan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa Pemerintah akan mengambil sejumlah langkah penting kedepan yaitu meningkatkan lifting Migas, menjalankan program Biodiesel, dan membangun pabrik Petrokimia.

Selain itu, pada tahun 2020 akan ada implementasi B30 atau Biodiesel 30% yang merupakan bahan bakar ramah lingkungan karena campuran dari 70% solar dan 30% FAME (Fatty Acid Methyl Ester) yang berasal dari kelapa sawit. Hal ini adalah salah satu upaya Pemerintah mengurangi kebutuhan BBM di masyarakat.

Pada tahun 2020 mendatang, Pemerintah juga berencana memproduksi B100 yaitu Bahan Bakar Nabati (BBN/biofuel) untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa FAME yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan biomassa lainnya yang diproses secara esterifikasi.

Dengan memproduksi B100, Indonesia sepenuhnya menggunakan BBN dan tidak lagi menggunakan komponen dari minyak fosil. Selain berkontribusi terhadap pengurangan impor Migas, upaya ini juga sekaligus menjadi komitmen Indonesia menjaga ketahanan lingkungan dunia.

Adapun untuk mengurangi impor Petrokimia, pada tahun 2020 mendatang Indonesia akan menyelesaikan pembangunan Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI). Kilang TPPI merupakan salah satu kilang terbesar di Indonesia yang dapat menghasilkan produk aromatik dan juga penghasil BBM, premium, pertamax, elpiji, solar, dan kerosene.
Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa jika kilang TPPI telah beroperasi secara penuh, maka potensi devisa yang dapat dihemat negara mencapai US$ 4,9 Miliar atau sekitar Rp56 Triliun.

Dalam kerangka menurunkan defisit neraca perdagangan tersebut, tidak hanya kebijakan Pemerintah yang memiliki peran penting, melainkan juga partisipasi masyarakat Indonesia.

Hal ini seperti penggunaan kendaraan umum dibandingkan kendaraan pribadi yang berpotensi besar menghemat penggunaan BBM.

Selain itu, masyarakat juga harus menyadari bahwa BBM jenis Premium adalah bahan bakar bersubsidi yang penggunaannya hanya ditujukan kepada kalangan tidak mampu, sehingga masyarakat kelas menengah Indonesia harus mulai secara sadar beralih menggunakan BBM jenis Pertamax atau Pertamax Plus.

Dengan mulai melakukan langkah penghematan BBM serta beralih pada kendaraan umum, serta secara sadar tidak menggunakan BBM bersubsidi, masyarakat telah membantu mensukseskan program Pemerintah sekaligus menjaga kesejahteraan kita bersama.*

Penulis adalah pengamat perekonomian