Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Skenario Natuna, Efek Luar Negeri dan Demam di Negeri Sendiri
Oleh : Opini
Minggu | 05-01-2020 | 20:00 WIB
001_kapal-cina-curi-ikan01.gif Honda-Batam
Kapal nelayan China yang dikawal kapal Coast Guard saat memasuki wilayah laut Natuna. (Foto: Ist)

Oleh TW Deora

AKHIR-AKHIR ini, hubungan antara Indonesia dengan Tiongkok ada kecenderungan memanas. Pemicunya, setelah beberapa kali dilaporkan bahwa kapal kapal nelayan Tiongkok dikawal kapal perang mereka mencuri ikan dan sumber daya alam lainnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE Indonesia di Natuna Utara, Kepulauan Riau, yang diakui kovenan internasional UNCLOS 1982.

Dicatat dalam sejarah internasional, bahwa arogansi Tiongkok juga terlihat dalam sejarah konflik laut Tiongkok Selatan dengan sejumlah negara ASEAN, seperti Filipina, Vietnam, dan juga Taiwan.

Sikap Tiongkok merefleksikan kerakusannya untuk menguasai beberapa zona laut strategis, termasuk Natuna yang sebelumnya diklaim Tiongkok melalui nine dash line yang mereka buat atas peta kuno miliknya yang jelas belum 'disertifikasi' masyarakat internasional melalui UNCLOS 1982.

Merespons manuver congkak dan arogan Tiongkok di Natuna Utara, Indonesia telah mengirimkan kapal perang dan pesawat tempur ke wilayah Natuna untuk mengusir kapal nelayan Tiongkok yang sedang mencuri ikan. Bahkan kapal perang dan pesawat tempur Indonesia juga dilaporkan siap konfrontasi senjata. Namun tampaknya 'grit' yang dilakukan Indonesia dipandang remeh oleh Tiongkok.

Jika permasalahan Natuna tidak dapat diselesaikan, jelas akan mengganggu hubungan bilateral kedua negara. Dan hal ini akan 'digoreng dan direbus' oleh kelompok anti pemerintah untuk memojokkan penerintahan Jokowi, dan jelas akan menjadi fenomena ngeri/eerie phenomenon.

Sebelumnya dan sejelasnya, hubungan Indonesia-Tiongkok diwarnai dengan sejumlah isu sensitif, seperti membanjirkan TKA berketrampilan rendah dari Tiongkok. Penangkapan sejumlah warga Tiongkok yang melakukan aktifitas ekonomi ilegal, termasuk prostitusi. Isu kekejaman Tiongkok terhadap minoritas muslim Tiongkok di Uighur, Provinsi Xinjiang provinces dan sejumlah isu sensitif lainnya.

Sebagai catatan, Tiongkok adalah negara kuat bidang ekonomi dan militer kedua di bawah Amerika Serikat. Tiongkok juga memiliki hubungan erat dengan beberapa negara, khususnya Rusia, Korea Utara dan Iran, serta negara negara yang kerjasama dengan Tiongkok dalam proyek global 'One Belt One Road/OBOR'.

Tiongkok juga memiliki kapabilitas untuk membuat kegoncangan global melalui proxy war actors dan antek-antek mereka/foreign stooge yang tersebar di mana-mana, termasuk di negara yang bergolak seperti Hongkong, Rwanda dan Afghanistan. Di negara yang tidak mau diatur Tiongkok, yaitu Taiwan, termasuk musuh utama Tiongkok yaitu Eropa dan Amerika Serikat.

Menurut Stockholm International Peace Research Institute/SIPRI, belanja militer Indonesia selama tahun 2018 sebesar Rp 107, 8 triliun, kalah dengan Singapura untuk kawasan ASEAN. Sementara belanja militer Tiongkok selama tahun 2018 sebesar Rp 3.500 triliun, hanya kalah dengan AS di level dunia.

Bisa dibayangkan bahwa tidak mungkin terjadi perang terbuka antara Indonesia vs Tiongkok gara-gara Natuna, karena tidak berimbang bagaikan 'David vs Goliath'. Tiongkok juga sudah mengukur ESTOM pejabat utama negara dalam merespons isu Natuna yang sepertinya tidak seirama.

Jika 10 tahun yang lalu, Tiongkok belum seberani sekarang karena militernya masih lembek. Saat ini, militer Tiongkok berani 'head to head' dengan AS di Laut Tiongkok Selatan. Jepang dan Korsel dibuat ngeper/takut dengan Tiongkok.

Jadi skenario bagi Indonesia terkait Natuna adalah 'kesabaran vs arogansi', yaitu Indonesia perlu menegaskan Natuna adalah wilayah Indonesia sesuai UNCLOS 1982. Karena berkonfrontasi dengan Tiongkok merugikan Indonesia yang sudah terjerat utang.

Melalui diplomasi dan penggalangan diplomatik terhadap negara sahabat kita, termasuk dengan negara-negara yang dimusuhi Tiongkok, Indonesia bisa melakukan perlawanan diplomatik. Dan paling banter menggugat Tiongkok di arbitrase internasional seperti yang dilakukan Filipina, walaupun dengan arogansinya Tiongkok berani mengacuhkan kemenangan Filipina di arbritrase internasional terkait Laut Tiongkok Selatan.

Skenario berikutnya, yang mungkin terjadi adalah 'demam di negeri sendiri'. Skenario ini terjadi jika arogansi Tiongkok di Natuna berlanjut terus.

Jika semua usaha Indonesia tidak digubris Tiongkok, kemudian situasi ini 'direbus' kelompok oposisi menjadi isu politik menarik yaitu, 'Indonesia takut dengan Tiongkok' dan desakan putuskan hubungan diplomatik.

Dampaknya, proyek infrastruktur yang dibiayai Tiongkok tertunda, debt trap menganga dan lebih tragis isu ganyang Tiongkok dan Uighur dikemas jadi satu oleh kelompok oposan sejati. Jadilah 'demam di negeri sendiri'.

Jadi efek luar negeri yaitu Indonesia's national pride yang digoda --kalau tidak mau disebut dilecehkan-- Tiongkok terkait Natuna. Dan efek dalam negeri dalam bentuk 'political fever'. Di mana keduanya perlu diantisipasi dengan kebijakan yang 'world class solutions'. Semoga.*

Penulis adalah pemerhati masalah strategis