Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Saatnya Katagorikan OPM Sebagai Teroris Internasional
Oleh : Opini
Senin | 30-12-2019 | 17:00 WIB
hut-opem2.jpg Honda-Batam
Penampakan kegiatan OPM di Papua. (Foto: Ist)

Oleh Sabby Kosay

ORGANISASI Papua Merdeka (OPM) ternyata tidak hanya mengklaim memperjuangkan referendum, tapi juga menebarkan teror hingga tak segan memberikan perlawanan terhadap aparat keamanan dan warga sipil.

Bahkan mereka aktif bersuara di luar negeri guna memutarbalikkan fakta kekejaman mereka. Berkaca pada hal tersebut, maka sudah sepantasnya OPM dikategorikan sebagai teroris internasional.

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M Hendropriyono menyebutkan bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) seharusnya sudah disebut sebagai teroris Internasional, sehingga tidak ada lagi istilah Kelompok Kriminal Bersenjata.

Hendropriyono juga meminta kepada pemerintah untuk bergerak serius dan tidak main-main dalam urusan ini. Apalagi OPM dikenal sebagai kelompok yang keji karena mereka tidak segan membunuh warga yang tidak bersalah, termasuk TNI dan Polri.

Dirinya mengatakan bahwa saat ini kita menganggap mereka adalah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), namun mereka ini pemberontak, sudah semestinya mereka masuk list teroris internasional.

Hendropriyono juga meminta agar pemerintah dan seluruh elemen masyarakat dapat menyadari betapa pentingnya menjaga Papua dari gangguan teroris-teroris tersebut agar Indonesia tetap utuh.

Ia juga menyesalkan akan adanya sejumlah pihak asing yang turut memperkeruh keadaan di Papua. Pihak asing tersebut menggiring opini masyarakat dunia yang pada intinya menyudutkan NKRI.

Memang tak dipungkiri, salah satu negara kecil pasifik yakni Vanuatu juga sangat sering menyuarakan dukungan terhadap OPM (Organisasi Papua Merdeka) secara lantang di forum Internasional.

Tercatat, negara tersebut sejak zaman Orde Baru hingga sekarang, suaranya selalu konsisten mendukung OPM, namun negara-negara lain di Pasifik Selatan seperti Papua Nugini, Australia dan Selandia Baru, secara tegas menolak dan tidak mengakui eksistensi OPM di wilayahnya, mereka tetap berpendirian bahwa Papua merupakan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, sudah semakin terang bahwa pihak asing baik Non Goverment Organization (NGO), perorangan maupun Negara Vanuatu lah yang menggerakkan aksi unjuk rasa anarkhis di Papua dan Papua Barat beberapa waktu lalu.

Mereka menggunakan isu rasis untuk menggoreng dan menggerakkan masyarakat untuk melakukan aksi anarkhis hingga tak segan-segan menunjukkan perlawanan kepada Polisi. Dengan harapan terjadi chaos dan menarik perhatian internasional, kemudian dunia menyerukan diadakannya referendum bagi Papua.

Pada tahun 2018 lalu, Jacob Skrzypkski yang merupakan warga negara Polandia, dituduh bergabung dengan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat. Ia dituduh menawarkan untuk membantu memasok senjata untuk kelompok separatis Papua serta membantu kudeta Papua.

Tak lama pihak berwenang Indonesia berhasil menahan warga negara Polandia tersebut di kota Jayapura. WNA berusia 39 tahun tersebut didakwa telah melakukan pengkhianatan

Beragam aksi barbar yang berujung pada kriminalisme oleh OPM akhirnya mendapatkan sorotan dunia.

Ternyata tidak hanya Indonesia saja yang geram dengan OPM. Palang Merah Internasional atau International Committe of the Red Cross (ICRC) pernah dibuat geram karena misi mulia mereka dirusak oleh segerombolan orang yang katanya ingin lebih menyejahterakan Papua.

Semua itu berawal dari penyanderaan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik kepada Tim Ekspedisi Lorentz '95 di Pegunungan Jayawijaya, sejak 8 Januari - 15 Mei 1995 mendapat sorotan dunia kala itu.

Awalnya sorotan dunia ditujukan kepada pemerintah Indonesia yang dinilai melanggar HAM terkait proses pembebasan sandera.

Namun lambat laun publik dunia telah sadar jika apa yang dilakukan OPM saat itu memang membuat siapapun merasa geram.

Selain itu perlu kita ketahui juga bahwa OPM memiliki kantor di Inggris, hal tersebut dikarenakan adanya NGO di Inggris yang membentu pergerakan OPM. Tindakan NGO tersebut tidak bisa dihambat langsung oleh Inggris karena ada suatu karakter tertentu bagi NGO di Eropa atau di Negara Barat.

Isu yang dikemukakan oleh NGO tersebut adalah seputar state colonialism. Bahkan NGO tersebut menganggap bahwa pemerintah Indonesia tidak terlalu peduli pada nasib rakyat Papua, bahkan mereka menganggap pemerintah Indonesia mencari keuntungan dari sumber daya alam di Papua tersebut.

Sebutan teroris skala internasional tentu pantas ditujukan bagi OPM, dimana pihaknya masih berharap belas kasih NGO internasional untuk membantu mereka terlepas dari Indonesia, serta menggoreng isu kemanusiaan untuk mengiba pada dunia Internasional.*

Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta