Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Harry Ashar Sebut OSO Membuat Opini Yang Narsis!
Oleh : Harjo
Kamis | 26-12-2019 | 14:03 WIB
harry.jpg Honda-Batam
Harry Ashar (kanan). (Harjo)

BATAMTODAY.COM, Bintan - Ada yang menarik untuk dicermati ketika Oso dengan gagah menyampaikan ke publik bahwa dia dipaksa Wiranto untuk jadi Ketua Umum Hanura pada akhir Desember 2016 lalu. Karena, sepak terjang Oso selama ini jauh dari watak bisa dipaksa.

Demikian disampaikan Harry Ashar, fungsionaris Partai Hanura kepada BATAMTODAY.COM, secara terpisah, Kamis (26/12/2019). Dia mencontohkan yang sangat gamblang supaya publik tidak mudah dibohongi dengan memutar balikkan fakta.

"Apakah Oso bisa dipaksa untuk mundur dari pertikaian perebutan pimpinan DPD RI dengan Ratu Hemas beberapa waktu yang lalu, dan ketika dia berhasil duduk sebagai Ketua DPD RI. Apakah yang melepas jabatan Wakil Ketua MPR, meskipun tidak ada aturan melarangnya, tapi secara etis, dan juga sesuai harapan publik," ungkapnya.

Pada tujuannya jelas, supaya yang bersangkutan konsentrasi pemimpin DPD RI, ternyata tetap keukeh tidak bersedia mundur dari Jabatan Wakil Ketua MPR RI. Artinya yang bersangkutan tidak mudah dipaksa.

Salelanjutnya, saat Oso sebagai ketua umum Partai Hanura ngotot tetap ingin mendaftar sebagai caleg DPD RI, bukan mendaftar sebagai Caleg DPR RI. Semua orang yang waras jadi tercengang, kenapa Oso tidak berjuang ke Senayan bersama atau mengawal Hanura dengan menjadi Caleg DPD RI bukan DPR RI.

"Itulah Oso, ngotot sampai mengerahkan orang-orang dengan pakaian Hanura mendemo KPU RI, untuk menekan supaya Oso tetap bisa diloloskan menjadi Caleg DPD RI," katanya.

Dalam situasi seperti itu, publik setuju dengan langkah-langkah KPU untuk tidak meloloskan Oso sebagai Caleg DPD RI. Namun, Oso sampai titik terakhir tetap ngotot, padahal seharusnya yang bersangkutan legowo mundur dari pencalonan.

"Untungnya KPU RI tidak mempan ditekan Oso!. Apakah Oso mudah menurut dan bisa dipaksa dengan menggunakan pendekatan logika sehat? Putusan MK yang berkekuatan tetap, final, ingin ditabraknya karena tidak sesuai dengan keinginannya. Jelas Oso tidak mudah dipaksa, kecuali kalau dia mengakali agar terlihat seperti dipaksa," imbuhnya.

Bisakah seseorang dipaksa sebagai ketua umum partai yang saat itu menjadi bagian dari parpol yang lolos ke Senayan. Yang benar adalah orang akan rela berkoban waktu, tenaga, materi dan lain-lain, untuk bisa terpilih dan dipilih menjadi Ketum Parpol yang sudah eksis di kancah politik nasional. Oso membangun opini bahwa dia dipaksa Wiranto untuk mau menjadi Ketum Hanura.

Opini yang absurd, yang benar adalah karena Wiranto tahu dia sangat ingin menjadi ketum parpol yang bisa lolos ke Senayan. Ada momentum yang berpihak ke Oso karena Wiranto sedang menjabat Menkopolhukam. Sebagai pembantu Presiden yang tentu sangat sibuk menjalankan kewajibannya sebagai pengendali tertinggi bidang politik, hukum dan keamanan, sulit membagi waktunya secara bersamaan memimpin Hanura.

"Tidak serta merta Oso bisa melenggang menjadi Ketum Hanura, meskipun dapat restu dari Wiranto. Karena ada syarat internal yang harus dipenuhi Oso jika dia mau maju jadi Ketum. Karena dia bukan kader Hanura dan tidak pernah menjadi pengurus Hanura selama minimal 3 tahun berturut-turut. Harus resmi mengantongi persetujuan Ketua Umum Hanura Wiranto untuk bisa dicalonkan sebagai calon Ketua Umum dalam munaslub Hanura," paparnya.

Wiranto bersedia memberikan persetujuan asal Oso wajib mundur, jika tidak memenuhi harapan Wiranto yang dituangkan dalam suatu Pakta Integritas. Jadi Pakta Integritas itu adalah suatu persyaratan organisasi agar Oso bisa maju jadi calon Ketum. Jika Prasyarat itu tidak ada, maka dengan sendirinya Oso tidak bisa maju menjadi calon Ketum. Jadi jangankan jadi Ketum, jadi calon Ketum pun tidak bisa jika dia tidak menandatangani Pakta Integritas. Jadi adalah hal yang berbeda antara pengertian dipaksa jadi Ketum, dengan untuk menjadi Ketum, seseorang harus memenuhi syarat menjadi calon Ketum.

"Jadi bagaimana pula mekanismenya OSO dipaksa jadi Ketum Hanura," canda Harry Ashar.

Editor: Dardani