Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Antara ASN dan Jejak Media Sosial
Oleh : Opini
Rabu | 04-12-2019 | 20:16 WIB
cpns-batu1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi ASN Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh Amanda

MENJADI aparatur sipil negara (ASN) adalah merupakan kebanggaan tersendiri, karena sebagai ujung tombak untuk menjalankan roda birokrasi pemerintahan, agar birokrasi dapat mengakselerasi jalannya pembangunan dan tercapainya tujuan nasional.

Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan dan kemutlakan jika ASN harus memiliki loyalitas tunggal kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan jelas terhadap pemerintahan.

Presiden Jokowi melalui kementerian dan lembaga memiliki atensi untuk memperbaiki dan memprofesionalkan jajaran birokrasi atau ASN ini mulai dari rencana untuk memangkas eselon III dan IV, mewacanakan ASN bekerja di rumah (flexy working space) sampai 11 menteri dan kepala lembaga negara menerbitkan SKB radikalisme.

Diterbitkannya SKB ini dinilai Kontras sebagai upaya kembali ke rezim orde baru, dimana jelas pendapat Kontras ini tidak benar. Karena tidak mungkin membangkitkan cara cara Orba di tengah-tengah era media sosial bahkan iklim berdemokrasi di Indonesia yang semakin membaik.

Wajar jika kemudian Menko polhukam, Mahfud MD juga membantah penilaian Kontras atas keluarnya SKB 11 Menteri tersebut.

Penulis melihat dan menyakini bahwa dikeluarkannya SKB tersebut dalam rangka pembinaan dan mengingatkan kalangan ASN atau PNS untuk menjaga loyalitas, soliditas dan kepatuhan mereka terhadap pemerintahan.

Karena memang ASN digaji oleh negara, sehingga benar pendapat Arif Wibowo, anggota DPR RI dari FPDIP menyatakan, jika ASN mau hidup secara bebas, ya menjadi warga biasa saja.

Sekarang ini banyak circuumstances yang apabila tidak diantisipasi secara dini akan membahayakan pemerintahan dan pada akhirnya dapat membahayakan negara, sekaligus eksistensi ideologi Pancasila.

Dalam sirkulasi informasi, berita, hoax dan lain lain di media sosial sangat intens yang dapat mempengaruhi loyalitas ASN dan jika loyalitas ASN terganggu, maka birokrasi akan pecah, sehingga akan menguntungkan anasir anasir anti NKRI.

Dibanyak sumber berita dan informasi, kita dapat mengakses informasi jika sedikitnya 800.000 aparatur negara terpapar radikalisme. Disamping itu, walaupun HTI sudah dibubarkan.

Namun, simpatisannya terus berkonsolidasi dan "mengganggu" pemerintahan dengan penyebaran khilafah melalui medsos yang tidak menutup kemungkinan menyasar ASN, anggota TNI dan Polri.

Selain eks HTI, kelompok sel teror juga menggunakan medsos untuk menilai pemerintah sebagai "thogut" yang boleh dilawan.

Sekali lagi, berbagai aturan yang diterbitkan terkait ASN/PNS bukan sebagai pembungkaman, namun upaya pembinaan untuk ASN berhati hati dan dewasa dalam bermedia sosial.

Jangan menyebarkan hoax, ujaran kebencian dan bigotry di media sosial. Akan lebih baik jika ASN dalam bermedia sosial mendukung partisipasi rakyat menyukseskan seluruh program pemerintah, dan turut mendiseminasi atau menyebarluaskan capaian capaian pembangunan.*

Penulis adalah pemerhati masalah birokrasi