Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Arah Keberpihakan Pansus Papua DPD RI
Oleh : Opini
Minggu | 01-12-2019 | 11:32 WIB
dpr-ri3.jpg Honda-Batam
Plang DPD RI. (Foto; Ist)

Oleh Surya Syahputra

RAPAT Dengar Pendapat (RDP) Pansus Papua DPD RI dengan Dewan Adat Papua, pegiat Hak Asasi Manusia, tokoh politik dan tokoh agama pada 27 November 2019 di Jayapura, Papua, menghasilkan sejumlah kesimpulan yang sangat mengejutkan.

Salah satu kesimpulan mengejutkan tersebut yaitu Pansus Papua DPD RI mendukung upaya peninjauan kembali agenda dan program-progam Badan Intelijen Negara (BIN) yang dilaksanakan di Papua, khususnya program dan kebijakan BIN yang menimbulkan perpecahan di masyarakat Papua. Mengapa disebut mengejutkan?

Pasalnya, jika kita mau lebih fair dalam menilai kinerja sebuah lembaga pemerintah, apa yang dilakukan BIN justru bertolak belakang dengan hasil kesimpulan rapat tersebut.

Pertama, pertemuan sebanyak 61 tokoh Papua dan Papua Barat dengan Presiden Jokowi di Istana Negara pada 10 September 2019 lalu. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan tokoh Papua dan Papua Barat yaitu Abisai Rollo yang menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Jayapura, memberikan sejumlah tuntutan masyarakat Papua dan Papua Barat kepada Presiden Jokowi.

Pertemuan ini adalah momen dialogis penting antara pemerintah dengan masyarakat Papua untuk saling mendengarkan mengenai aspirasi masyarakat Papua serta respon pemerintah terhadap aspirasi tersebut.

Ini merupakan langkah awal yang amat penting dalam menyelesaikan permasalahan Papua tanpa menggunakan pendekatan keamanan atau dapat disebut sebagai pendekatan kemanusiaan. Pertemuan ini hanya dapat terjadi dengan upaya dan kinerja yang dilakukan BIN.

Kedua, pencanangan pembangunan startup Papuan Youth Creative Hub di Jayapura, sebagai tindak lanjut pertemuan Presiden Jokowi bersama pemuda dan pemudi Papua di Istana Negara pada 11 September 2019 lalu.

Startup tersebut akan dikelola perusahaan yang didirikan pemuda dan pemudi asli Papua dari tujuh wilayah adat, dengan nama PT Papua Muda Inspiratif, dengan tujuan menciptakan kesejahteraan yang merata di Papua dan Indonesia, melalui inovasi, kreativitas dan teknologi, dengan didorong kalangan muda. Adapun startup tersebut sejak awal didukung dan difasilitasi BIN.

Ketiga, pembangunan Wisma Asrama Nusantara. Wisma ini akan dibangun di sejumlah daerah di Indonesia dengan tujuan menciptakan iklim pergaulan yang inklusif antara sesama mahasiswa di Indonesia.

Dengan membangun Wisma Asrama Nusantara, pemerintah berharap tingkat toleransi antar suku bangsa dan antar agama semakin baik, sekaligus menumbuhkan nilai-nilai ke-Indonesia-an di antara sesama mahasiswa.

Keberadaan Wisma Asrama Nusantara akan menihilkan asrama-asrama mahasiswa lainnya yang berdasarkan etnis atau kedaerahan. Berjalannya program ini merupakan hasil dari efektifnya deteksi dini yang dilakukan BIN dalam membaca fenomena terkait mahasiswa di masyarakat.

Keempat, pembangunan Istana Kepresidenan Papua yang akan digunakan Presiden untuk bekerja di Papua. Hal ini adalah upaya mengikis pendekatan Jakarta-sentris, yaitu bahwa segala pekerjaan penting hanya dapat dilakukan dari Jakarta, sekaligus menunjukkan betapa tingginya perhatian, antusiasme, dan apresiasi Presiden Jokowi terhadap masyarakat Papua. Program ini juga diinisiasi oleh BIN.

Melihat sejumlah program yang dilakukan BIN tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa BIN tidak melakukan program yang memecah belah masyarakat Papua.

Apa yang dilakukan BIN justru bertujuan untuk membuka dan memfasilitasi ruang dialog antara Pemerintah dengan para tokoh Papua dan Papua Barat dalam rangka menyelesaikan permasalahan Papua, mengembangkan SDM Papua melalui pembentukan Papuan Youth Creative Hub dan mengintesifkan toleransi antar sesama mahasiswa.

Termasuk, mahasiswa Papua di dalamnya, demi upaya penguatan kebangsaan yang lebih baik melalui pembangunan Wisma Asrama Nusantara, dan mendekatkan masyarakat Papua dengan Presiden serta mengikis stigma bahwa Indonesia adalah Jakarta-sentris melalui pembangunan Istana Kepresidenan di Papua.

Pada titik ini, kita justru semestinya mempertanyakan kesimpulan sumir dari RDP Pansus Papua DPD RI tersebut. Kepada siapakah Pansus tersebut berpihak? Rakyat Indonesia atau segelintir elit politik Papua yang mengatasnamakan Dewan Adat Papua, pegiat Hak Asasi Manusia, tokoh politik dan tokoh agama?*

Penulis adalah Alumni FISIP Unair Surabaya