Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Antara HUT OPM dan Mobilisasi Massa 212
Oleh : Opini
Senin | 25-11-2019 | 14:52 WIB
kkb_papua1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi OPM. (Foto: Ist)

Oleh Bayu Wauran dan TW Deora

MINGGU depan, ada dua momen yang menarik perhatian masyarakat. Pertama, HUT OPM pada 1 Desember 2019 dan rencana alumni PA 212 pada tanggal 2 Desember 2019.

 

Melalui media sosial dan internal media kedua kelompok ini, baik OPM dan PA 212 menyebarkan dan mengampanyekan apa yang dikatakan oleh mereka mengerakkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan mereka.

Publik memahami bahwa OPM dan rencana reuni 212 sampai saat ini belum terlalu berhasil mempengaruhi masyarakat awam atau "floating mass" untuk mengikuti keinginan mereka (OPM dan 212).

Sebagai contoh, Free West Papua salah satu sayap politik OPM di London, Inggris terus mencoba mempromosikan kegiatan yang disebut mereka "global flag raising (pengibaran bendera bintang Kejora secara global" yang akan dilaksanakan 1 Desember 2019 diseluruh dunia.

Tetapi, sampai saat ini, kita dapat melibat bahwa propaganda Free West Papua tidak diikuti atau tidak diterima dinegara manapun juga, termasuk Inggris.

Fakta itu menunjukkan bahwa eksistensi Free West Papua dan sayap politik OPM lainnya di beberapa negara seperti Inggris, Jerman, Belanda, Australia, PNG, Vanuatu dan negara-negara di Pasifik Selatan lambat laun semakin memudar dan tidak lagi memiliki gertakan apapun.

OPM dan beberapa organisasi pendukung atau simpatisan mereka cenderung dalam perkembangannya dapat disebut sebagai “organisasi orang-orang miring”.

Masyarakat di seluruh dunia dan di negara-negara sahabat Indonesia tetap mempercayai pemerintahan Indonesia dibandingkan OPM. Sejak era Presiden Megawati, pemerintah pusat telah mengucurkan dana Otsus untuk Papua dan Papua Bara sebagai upaya meningkatkan taraf pendidikan, kesehatan, jalannya roda perekonomian rakyat dan pembangunan infrastruktur.

Tetapi sampai sekarang, taraf pendidikan dan kesehatan di Papua masih dibawah standard dan tenaga kerja asal Papua selalu kalah bersaing dengan tenaga kerja dari provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintah Pusat melalui Kemendagri telah membuat semacam evaluasi terkait pelaksanaan dana Otsus Papua, yang dilakukan di tahun 2003, 2008, 2011, 2013 dan 2018.

Beberapa pakar terkait masalah Papua telah memberikan saran dan oponinya terkait Otsus Papua yang dinilainya gagal dimana hal ini menjadi munisi politik bagi oknum elit lokal di Papua yang kurang nasionalis dan oknum pejabat di Papua untuk “mengambil keuntungan” dari masalah ini.

Sementara itu, jika kita membicarakan masalah kelompok separatis OPM, maka perlu dipahami bahwa OPM masih memiliki kemampuan untuk melakukan serangan yang mematikan, dimana hal ini membuat semangat tempur atau moral bertempur OPM tetap terjaga.

Memang diakui atau tidak, OPM dan penduduk Papua sudah ditipu habis oleh Benny Wenda, buronan politik dan jahanam politik yang telah menciptakan permasalahan asimetris di Papua.

Sebenarnya, Benny Wenda tidak memiliki pengikut yang setia di Papua, karena Wenda menggunakan atau "menjual" isu Papua sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan pragmatis ekonomi dan politik.

Sedangkan, apabila kita berdiskusi dan mengevaluasi PA 212 mau tidak mau, kita harus mengatakan bahwa PA 212 adalah organisasi ilegal dan tidak memiliki dasar hukum, disamping itu PA 212 tidak merefleksikan keinginan komunitas Islam di Indonesia karena secara mayoritas sebenarnya umat Islam di Indonesia adalah umat yang moderat.

Bagaimanapun, rencana reuni PA 212 adalah gerakan politik dan mereka juga dikabarkan akan memaksimalkan sejumlah isu untuk menarik perhatian masyarakat agar hadir di acara reuni tersebut, dimana PA 212 akan mengkapitalisasi polemic pernyataan Menteri Agama soal cadar dan cingkrang, blunder Sukmawati yang akan dimanfaatkan sebagai upaya "Meng-Ahokkan Sukmawati".

Namun, hampir sebagian besar masyarakat muslim Indonesia diproyeksi tidak akan menghadiri acara reuni PA 212, termasuk masyarakat Indonesia khususnya yang ada di Papua, Papua Barat, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Maluku.*

Kedua penulis adalah pemerhati isu-isu strategis