Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Media Sosial
Oleh : Opini
Jum\'at | 15-11-2019 | 14:28 WIB
radikal21.jpg Honda-Batam
Ilustrasi radikalisme di dunia maya. (Foto: Ist)

Oleh Ahmad Kurniawan

PESATNYA penggunaan media sosial telah dimanfaatkan oleh kelompok teror untuk menyebarkan radikalisme. Media sosial dianggap efektif dalam menyebarkan ideologi anti Pancasila tersebut karena menjangkau langsung penggunanya tanpa perantara.

 

Ancaman radikalisasi melalui media sosial perlu segera diantisipasi seiring meningkatnya jumlah pengguna media sosial di Indonesia.

Pergerakan Paham radikalisme kini dinilai makin mudah menjalari dengan beragam metode, termasuk penggunaan media sosial. Hal ini juga disebabkan karena adanya pergeseran fungsi medsos ini telah banyak berubah.

Yang awalnya hanya seputar berkabar dan eksis bersama orang-orang yang dikenal. Kini esksistensi medsos seringkali digunakan sebagai media terselubung. Sebab, pengguna potensialnya begitu banyak dan kemungkinan masih labil untuk disusupi aneka persepsi menyimpang.

Terlebih, pada jiwa muda yang sedang aayik-asyiknya berselancar didunia maya. Seolah apa yang ia alami patut untuk ditunjukkan serta menambah pamor pemilik akun. Bukan hanya satu dua kasus, terkait paparan radikalisme ini. Mulai anak-anak hingga dewasa, dari masyarakat sipil hingga aparat keamanan tak mampu menjamin paparan keras garis radikal ini.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius gencar memberikan pemahaman kepada berbagai elemen mengenai ancaman dan bahaya paham radikalisme dan juga terorisme. Tak hanya di kalangan akademisi, dirinya juga memberikan pembekalan kepada para anggota perbankan.

Pihaknya mengimbau mereka untuk tidak memandang sebelah mata penggunaan dunia maya di lingkungan sekitar. Hal ini tercermin dengan maraknya konten-konten berpaham kekerasan seperti radikal terorisme yang berkembang begitu pesat melalui jejaring sosial. Kelompok garis keras ini menggunakan jaringan internet untuk bermacam hal, seperti provokasi guna menguarkan rasa takut hingga upaya rekrutmen.

Dirinya tak menampik, jika nilai-nilai nasionalisme mulai terkikis seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi. Sebab, generasi mudanya banyak yang terkena paparan paham radikalisme ini.

Di satu sisi, teknologi membawa kemajuan dan juga berbagai kemudahan. Namun, di sisi lain ujaran kebencian hingga konten berbau radikal marak menjadi sorotan. Seolah bebas tayang dan siapapun bisa mengaksesnya.

Paham Radikalisme ini dinilai tak pandang bulu juga tak pandang tempat. Siapa pun, dimanapun, dalam kondisi apapun bisa saja terjangkit paham menyimpang seperti ini. Sehingga peningkatan kewaspadaan sangat perlu untuk digencarkan.

Tak hanya di kalangan pejabat maupun pegawai perbankan, mantan Kepala Divisi Humas Polri ini menyarankan agar kita mampu keluar dari zona nyaman guna menggeber kreatifitas serta inovasi dalam bekerja. Yang nantinya akan berguna bagi kebaikan serta kemajuan bangsa.

Di lain hal, penanganan paham radikalisme ini bisa kita cegah dengan membentengi diri sendiri. Menumbuhkan nilai toleransi umat beragama. Serta menanamkan 4 pilar kebangsaan, yakni ; Pancasila, UUD 1945, NKRI, juga Bhineka Tunggal Ika.

Jika pendidikan dasar bernegara telah dipahami dan disematkan dalam sanubari, bukan tak mungkin kita akan mampu menekan hingga memusnahkan pergerakkan radikalisme ini.
Selain itu hal-hal remeh temeh berupa saling menghormati di lingkungan masyarakat agaknya juga penting.

Mengingat, manusia bukanlah individualis, namun memiliki keterkaitan dengan manusia lainnya. Sehingga kita tak mungkin berjalan sendiri. Hal lain yang bisa menghalau paham radikalisme ini ialah kesatuan dan persatuan Bangsa. Terbukti dengan kuatnya idealis suatu bangsa yang tanpa kompromi membangun persatuan dan kesatuan mampu memusnahkan paham ini.

Lingkungan keluarga-pun berperan penting dalam hal ini. Komunikasi yang terjalin baik diantara anggota keluarga akan makin memudahkan kita mengontrol seluruh perkembangan didalamnya.

Apalagi kecenderungan terpaparnya seseorang dengan paham ini adalah bisa berangkat dari keadaan keluarga yang kurang komunikatif. Bertoleransi rendah, hingga latar belakang pendidikan juga kemungkinan bisa berpengaruh.

Dari sejumlah bukti, eks pelaku terorisme kebanyakan merasa jika akan lebih baik saat masuk ke dalam lingkaran setan ini. Pelaku merasa memiliki satu kelompok yang mendukungnya serta mengakui eksistensinya.

Tentunya hal ini akan menambah daftar pekerjaan rumah bagi pemerintah. Padahal segala upaya telah getol dilancarkan guna menanggulangi paham radikalisme.

Namun, tetap saja mengalami kecolongan akan hal ini. Bukan tidak mungkin dunia maya yang begitu digandrungi masyarakat secara luas ini malah akan menjadi buah simalakama bagi kita sendiri, jika tidak berhati-hati.

Pada akhirnya segala sesuatu kembali kepada diri sendiri. Membangun fondasi utama untuk memperkokoh keyakinan, akan mampu membantu pemerintahan guna meminimalisir penyebaran paham radikalisme untuk berekspansi.*

Penulis adalah pengamat sosial politik