Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ketika KPK di Bawah Kuasa Presiden
Oleh : Opini
Rabu | 06-11-2019 | 14:16 WIB
gedung-kpk22.jpg Honda-Batam
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. (Foto: Ist)

Oleh Idul Rishan

JIKA mencermati Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019), arah politik hukumnya jelas: mengubah simpul kelembagaan KPK, dari lembaga independen menjadi lembaga pemerintah.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Tegasnya, pasal itulah "jantung" dari undang-undang tersebut. Melalui ketentuan tersebut, KPK tak ubahnya sebagai mandataris presiden.

Konsekuensinya, KPK berwarna eksekutif. Manajemen kepegawaiannya pun wajib bercorak eksekutif, dari status penyidik sampai promosi dan mutasi yang tunduk pada regulasi aparat sipil negara.

Pasal 3 juga menginisiasi lahirnya pasal-pasal lain yang menyangkut Dewan Pengawas. Perangkat ini mempunyai kewenangan yang superior, bahkan dibekali kuasa pro justitia. Meskipun dalam pasal itu KPK diberi "irah-irah" independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kenyataannya sulit dibenarkan. Relasi kuasa yang bersifat vertikal dengan presiden cenderung membuat KPK berayun menjadi "dependen".

Studi Oce Madril (2018) menunjukkan bahwa tak ada lembaga di bawah kuasa presiden yang kinerja dan prestasinya baik dalam memberantas korupsi, seperti Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara di bawah Sukarno dan Operasi Tertib di bawah Soeharto.

Undang-Undang KPK baru menjadi simbol dekadensi dalam praktik demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, pembentukan KPK merupakan kritik atas lemahnya independensi kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Mengingat kepolisian dan kejaksaan secara hierarki berada di bawah kuasa eksekutif, KPK hadir sebagai lembaga independen.

Susan Baer (1988) menulis bahwa kehadiran lembaga independen muncul sebagai pemicu atas cara kerja lembaga konvensional yang dinilai tak lagi efektif. Tesis Baer ini diperkuat oleh Ackerman (2000), yang menyatakan lembaga independen merupakan gejala autokritik terhadap pemisahan kekuasaan secara konvensional antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Demikian halnya selepas transisi politik bergulir di Indonesia. Zainal Mochtar (2016) mencatat ketidakpercayaan publik kepada lembaga negara yang telah ada mendorong lahirnya lembaga independen untuk melaksanakan tugas dan diidealkan memberikan kinerja baru yang lebih tepercaya.

Penempatan KPK di bawah kuasa presiden justru menjadi sangat kontraproduktif terhadap respons percepatan kebutuhan demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di sektor eksekutif menjadi agenda yang tak luput dari kinerja KPK selama ini.

Suap di pelbagai sektor kementerian hingga korupsi kepala daerah seolah-olah sebagai penanda bahwa kekuasaan eksekutif menjadi anasir yang terus memberikan ancaman dari perilaku elite politik. Bisa dibayangkan, sebagai institusi yang berada di bawah kuasa presiden, KPK bisa terjebak dalam konflik kepentingan.

Dalam beberapa jajak pendapat media cetak dan elektronik, pembentuk undang-undang mengklaim bahwa politik hukum Pasal 3 itu merupakan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017.

Sebenarnya ada empat Putusan MK lain yang juga memberikan penafsiran atas kedudukan dan independensi kelembagaan KPK, seperti putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, Nomor 5/PUU-IX/2011, dan Nomor 49/PUU-XI/2013.

Empat putusan itu berada pada satu napas yang sama bahwa KPK merupakan lembaga independen dan mempunyai sifat penting dalam struktur kekuasaan negara. Membaca kondisi demikian, lantas putusan mana yang harus diikuti? Menurut saya, Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan pembenaran pembentukan Pasal 3.

Ada dua alasannya. Pertama, perkara ini tidak menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang KPK terhadap Undang-Undang Dasar, melainkan menguji Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Ihwal pengajuan perkara ini semata-semata untuk memperluas kewenangan DPR guna melaksanakan fungsi pengawasan melalui hak angket, bukan dalam konteks perubahan format kelembagaan KPK. Mengingat KPK melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, hak angket dapat digulirkan sepanjang tidak mendistorsi fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Kedua, dalam teori interpretasi konstitusi, David A. Strauss (2011) mempopulerkan penafsiran "konstitusi yang hidup". Menurut dia, dalam konteks penemuan hukum, majelis hakim dimungkinkan mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya sepanjang menyebutkan alasan perubahan dalam amar putusannya.

Dalam Putusan No. 36/PUU-XV/2017, tak ada satu alasan pun di dalam amar putusan yang menegaskan bahwa majelis hakim mengubah pendiriannya atas empat putusan terdahulu. Dengan demikian, Pasal 3 Undang-Undang KPK baru menjadi materi yang layak diujikan di MK.

Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia

Sumber: Tempo.co