Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ormas Islam Terbesar Tegas Tolak Konsep Khilafah
Oleh : Opini
Selasa | 05-11-2019 | 14:28 WIB
tolak-khilafah.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi menolak khilafah. (Foto: Ist)

Oleh Alfisyah Kumalasari

KHILAFAH kini tengah menjadi sorotan. Sebab, penerapannya dianggap menuai kontroversi. Bahkan khilafah dinilai bukan sistem pemerintahan dalam Islam, sehingga wajar kalau Ormas Islam terbesar, yaitu NU dan Muhammadiyah menolak tegas konsep khilafah.

Dilihat dari ajaran paham Khilafah ini memang tak ada yang salah maupun menyimpang. Hanya saja, dalam pelaksanaannya menuai banyak kontroversi. Mengingat, paham ini adalah mengerucutkan pada satu agama saja, yakni Islam.

Padahal di NKRI, seperti yang kita tahu, warga negaranya tak hanya memeluk agama tersebut. Terlebih, ada banyak keragaman yang harus di tolerir. Sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sehingga, ajaran ini memang dirasa kurang pas jika diterapkan ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Dua Ormas besar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Mereka telah sepakat dengan berlakunya konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sebagai ideologi negara. Baik NU maupun Muhammadiyah satu langkah untuk menolak paham yang dapat mengintervensi NKRI khususnya khilafah ini.

Berkali-kali keputusan tersebut ditegaskan sejak mencuatnya isu khilafah yang digulirkan oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Salah satunya ialah saat konferensi pers NU dan Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah beberapa waktu lalu. Kedua pembesar ormas menyebutkan bahwa NKRI merupakan warisan dari para leluhur bangsa Indonesia yang sama sekali tak bertentangan dengan ajaran Islam.

Kiai Said Aqil Siraj selaku Ketum PBNU mengajak seluruh elemen guna menjaga agar tak terjadi peristiwa disintegrasi dan perang antarsaudara. Dan sudah selayaknya dua ormas terbesar di Indonesia ini mengawal ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, beserta ukhuwah insaniyah.

Selain itu pihaknya juga menyatakan bermufakat untuk menjaga konstitusi empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, Sistem Bhineka Tunggal Ika dan juga NKRI.

Sejalan dengan pendapat Ketum PBNU, ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir juga mengungkapkan pihaknya bersinergi dengan NU untuk selalu mengajak seluruh elemen bangsa dalam membangun komunikasi dan kerjasama sebagai perwujudan ukhuwah keumatan dan kebangsaan.

Meski ormas HTI sudah bubar, para pengusungnya hingga kini masih terus getol mengkampanyekan paham khilafah. Bahkan, di media sosial kian ramai dengan tagar #KhilafahWillBeBack dan menjadi trending topik.

Menyusul dilaksanakannya parade Ukhwah di salah satu kota Di Jawa Tengah. Menurut laporan, Bendera Tauhid Khas HTI dikibarkan pada momentum parade sebagai bahan untuk memprovokasi masyarakat.

Yang dikhawatirkan ialah pihak-pihak yang masih awam dan baru belajar agama pun bisa tertipu dengan kepentingan politik HTI ini. Kemungkinan, mereka yang terkena pengaruh HTI ini adalah para pemuda yang memiliki ikatan dengan Muhammadiyah dan NU.

Jika hal tersebut benar adanya, maka para kiai tokoh NU dan Muhammadiyah berharap mereka akan kembali ke jalan yang benar, sebab pembesar kedua ormas tersebut masih memegang teguh prinsip NKRI. Tugas kita ialah menjaganya bersama-sama.

Sementara itu, Robi Sugara selaku Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC). Merincikan empat alasan mengapa khilafah ditolak dan tidak mungkin untuk diterapkan. Pertama, paham khilafah ditolak di negara-negara berpenduduk dengan mayoritas Muslim. Bahkan, organisasi yang mengusung paham ini, Hizbut Tahrir tak diterima di dua puluh negara lebih, termasuk di Indonesia sendiri.

Alasan Kedua ialah, berkenaan dengan manakah sistem khilafah yang dijadikan rujukan. Disebutkan, pada zaman khulafaur rasyidin, pergantian khalifah menerapkan sistem yang tidak sama. Sebagian ada yang menggunakan musyawarah melalui ahlul halli wal aqdi, ada pula yang ditunjuk khalifah sebelumnya, dan ada yang dipilih oleh khalayak ramai (masyarakat). Sementara, khalifah pada zaman Umayyah, Abbasiyah, hingga khalifah Usmaniyah, mereka diangkat berdasarkan garis keturunan.

Sebab Ketiga, siapakah yang akan dijadikan khilafah? Mengingat, jumlah mayoritas umat muslim hampir mencapai 1,8 milliar di seluruh dunia. Tentunya, perkara memilih khalifah akan menimbulkan masalah yang cukup rumit. Tak hanya itu, umat islam sendiri juga berasal dari suku dan bangsa yang berbeda.

Sebab terakhir ialah, sistem khilafah tidak sesuai dengan era sekarang. Jika para pengusung paham khilafah merujuk sistem pada era Umayyah, Abbasiyah, maupun Usmaniyah, maka sistem khilafah yang bersifat otoritarianisme seperti itu tidak tepat untuk diaplikasikan seperti zaman sekarang ini. Tak menampik jika khilafah merupakan bagian dari sejarah umat Islam dan tak mungkin untuk menghapusnya.

Berdasarkan literatur diatas, kemungkinan paham khilafah ini untuk diterima sangatlah kecil. Sebab, memang tak bersesuaian dengan NKRI yang berideologi Pancasila dan berprinsip ke-Bhinekaan. Sehingga wajar saja jika ajaran ini akan mengalami penolakan.*

Penulis adalah pengamat sosial politik