Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sarjana Pertambangan Indonesia Hadapi Tantangan Kesempatan Kerja
Oleh : CR-1
Sabtu | 02-11-2019 | 14:40 WIB
jasa-tambang-bambang.jpg Honda-Batam
Direktur Esekutif Asosiasi Jasa Pertambangan, Bambang Tjahjono (kanan). (Foto: CR-1)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Para sarjana teknik pertambangan lulusan dari berbagai universitas terbaik di Indonesia, ketika mendapat kesempatan bekerja di perusahaan di luar negeri terutama Australia, dan sepertinya berada di zona nyaman.

 

Para sarjana asal Indonesia yang sudah menjadi profesional pertambangan memilih untuk tidak kembali ke Indonesia. “Alumni (lulusan fakultas teknik pertambangan) bekerja di Australia, mereka yang pintar sejak di bangku kuliah.

Bagi saya, yang penting mereka tetap nasionalis dan menjadi agent of change,” Plt. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) Djoko Widajatno mengatakan kepada Redaksi.

Secara keseluruhan, terdapat 54 fakultas teknik pertambangan dari berbagai universitas negeri dan swasta di Indonesia. Jumlah lulusan mencapai sekitar 2000 an sarjana per tahun. Tetapi daya serap pasar tidak sebanding dengan jumlah lulusan per tahunnya.

"Perusahaan tambang skala besar seperti Adaro, Freeport, KPC, Arutmin, Berau Coal, masing-masing hanya menampung dua sampai tiga (sarjana). Jumlah tersebut sudah maksimal. Tidak semua lulusan fakultas teknik pertambangan bisa mendapat pekerjaan dengan mudah. Itu tantangan juga bagi kita semua," tegas Djoko.

Teknik Pertambangan mempelajari berbagai macam hal yang berhubungan dengan proses penambangan terutama mineral berharga dan batubara. Untuk melakukan proses penambangan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan seperti ilmu tentang mineral yang akan ditambang, misalnya kegunaannya, proses pengolahan dan lain sebagainya.

Teknik pengolahan untuk bisa bermanfaat tentunya harus dengan perhitungan aspek ekonominya. “Kalau sarjana tidak mengerti hal yang esensial (proses penambangan), mereka bekerja di luar sektor pertambangan.

Sebagian memilih bekerja sebagai salesman alat berat, pegawai bank. Kebutuhan pada level CEO (chief executive officer) pada perusahaan besar kurang dari satu persen. Satu perusahaan hanya menyerap 4 – 5 sarjana untuk level supervisor, manager,” kata dosen pada beberapa fakultas teknik pertambangan.

Di tempat yang berbeda, Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO) Bambang Tjahjono mengatakan bahwa banyak persoalan teknis serta tingkat kesulitannya pada setiap proses penambangan. Selain, beberapa perusahaan tambang Indonesia sudah mulai beralih dari metode open pit ke underground (bawah tanah).
Freeport Indonesia sebagai pioneer untuk beralih pada metode tambang bawah tanah.

"Kesulitannya mulai dari drainage (pembuangan massa air) yang sangat ditentukan oleh kapasitas pompa, kedalaman dan lain sebagainya. Iklim di Indonesia juga lembab, dan curah hujan tinggi. Banyak alat berat yang diimpor dari luar negeri termasuk China juga belum tentu cocok untuk kondisi pertambangan di Indonesia," papar Bambang.

Kelistrikan dan peralatannya yang digunakan pada metode bawah tanah juga membutuhkan tenaga operator yang terampil. Ada beberapa alat berat impor dari luar tapi tidak sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia. Terutama pada musim hujan, lubang-lubang terbuka akibat pengeboran terendam air.

"Alat-alat berat dengan kelistrikan sangat rentan dengan air. Kalau ada perusahaan asal China yang menggunakan peralatan sendiri, mereka harus bisa menyesuaikan. Kalau tidak, mereka pasti sangat direpotkan hanya untuk perbaikan alat-alat saja. Di China, tingkat kelembaban dan curah hujan tidak setinggi di Indonesia,” jelas Bambang mengakhiri.

Editor: Dardani