Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ini Kronologis Penganiayaan Wartawan oleh Aparat Saat Liput Demo Mahasiswa
Oleh : Redaksi
Rabu | 25-09-2019 | 14:28 WIB
wartawan-antara-korban.jpg Honda-Batam
Darwin Fatir, wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang menjadi korban kekerasan aparat. (Foto: Antara)

BATAMTODAY.COM, Makassar - Darwin Fatir, wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, menjadi korban penganiayaan dan pengeroyokan aparat saat sedang meliput unjuk rasa mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/9/2019).

Aksi yang bertujuan untuk menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan dan beberapa RUU lainnya yang dianggap kontroversial itu, berujung ricuh ketika polisi menembakkan gas air mata dan water canon ke arah pendemo.

Dihubungi ceknricek.com, Rabu (25/9/2019), Darwin menceritakan kronologi pengeroyokan dan penganiayaan yang ia alami ketika sedang meliput peristiwa tersebut.

Menurut Darwin, sebelum bentrokan kedua pecah, sejumlah mahasiswa dari berbagai elemen berhasil tembus ke kantor DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel). Di awal berlangsung kondusif, namun setelah peserta aksi merengsek ke pintu masuk gerbang utama, terjadi ketegangan karena mahasiswa berusaha merubuhkan gerbang pagar kantor dewan setempat.

Entah siapa terpancing emosi duluan. Sejumlah polisi langsung menembakkan gas air mata ke arah demonstran, disambung water canon. Mahasiswa peserta pendemo pun berhamburan. Kondisi ini dimanfaatkan aparat membubarkan mahasiswa dengan cara represif.

Beberapa oknum aparat bahkan melemparkan batu ke arah mahasiswa yang berlarian ke arah showroom mobil dan rumah warga berdekatan dengan lokasi bentrokan.

Banyak di antara mahasiswa yang masih bertahan, hingga mencoba kabur dengan memanjati pagar tembok rumah warga setempat karena sudah tersudut. Beberapa oknum polisi lantas berlarian mengejar dan menangkapi mereka. Aparat terlihat sangat emosional. Mereka memukulinya secara brutal, bahkan banyak mahasiswa yang berdarah-darah.

"Padahal mereka belum tentu pelaku kriminal apalagi melakukan aksi anarkis tapi dipukuli kaya pencuri. Entah apa yang ada di pikiran penegak hukum kita saat itu," kata Darwin.

Meliput Fakta

Didorong oleh perasaan iba, Darwin berusaha mengingatkan aparat untuk tidak memperlakukan mahasiswa dengan cara seperti itu. Ia bahkan mengatakan, perlakuan mereka diliput media yang imbasnya bisa berakibat pada kredibilitas kepolisian di mata publik. Sebagai seorang jurnalis, ia menegaskan berhak meliput fakta tersebut sesuai UU Pers.

Namun beberapa oknum kepolisian malah melarang meliput. Mereka mencoba menghalang-halangi upaya pengambilan gambar, bahkan ada yang menghardik Darwin dengan kata-kata menantang. Di luar dugaan, mereka lantas mengerumuni dan ramai-ramai memukulinya seperti mahasiwa tadi.

Darwin beserta rekan-rekan media lain sudah menjelaskan bahwa mereka wartawan, tapi tetap saja disikat. "Kepala saya kena pentungan, sampai bocor, tangan lebam hingga perut dan dada masih sesak sebab dihadiahi tendangan sepatu lars dari petugas yang masih berbekas di baju putih yang saya kenakan," katanya.

Dalam kondisi itu, beruntung ada Kapolrestabes Makasar yang menyelamatkan, hingga Darwin berhasil keluar dari zona tempat aparat melampiaskan kemarahannya kepada mahasiswa.

Darwin kemudian dilarikan ke rumah sakit Awal Bros Makassar. Di sana ia melihat puluhan mahasiswa tergeletak. Saking banyaknya, rumah sakit menjadikan ruang pelayanan sebagai unit gawat darurat, karena ruang IGD sudah penuh.

Reaksi Polisi

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulsel Kombes Dicky Sondani semula membantah peristiwa pengeroyokan yang dialami Darwin. Dia mengaku sudah meminta awak media menggunakan rompi atau tanda pengenal sebagai wartawan saat meliput.

"Tidak ada pengeroyokan. Rekan-rekan wartawan kalau liput unjuk rasa anarkis harus gunakan simbol wartawan. Bisa pakai rompi pers, kalau situasi chaos jangan terlalu dekat dengan pelaku unjuk rasa," ujarnya kepada cnn.com.

"Polisi mana tahu wartawan atau bukan. Yang kenal wartawan hanya Kapolres atau Kabid Humas. Anggota tidak ada yang kenal. Mohon maaf apabila terjadi insiden tadi."

Namun berdasarkan foto yang beredar, Darwin justru sudah menggunakan identitas pengenal atau ID pers sebagai wartawan Antara yang tampak jelas dikalungkan di lehernya.

Saat foto itu ditunjukkan, Dicky mengatakan pihaknya akan melakukan penyelidikan terkait tindakan penganiayaan tersebut.

"Nanti kita cek siapa yang melakukannya. Kalau terbukti bersalah akan kita proses. Kalau disimpan mana kelihatan, seperti wartawan luar negeri, mereka pakai rompi tulisan Press," katanya.

Kombes Dicky memang boleh berdalih. Yang pasti, Darwin merasa perlakuan aparat terhadap mahasiswa dan dirinya sangat tidak manusiawi. Gerakan mahasiswa itu murni, bukan bayar-bayaran yang biasanya diduga dilakukan oknum yang tidak bertanggungjawab untuk kepentingan kelompok dan golongannya. Para mahasiswa itu mengetahui, mana yang benar dan mana yang salah.

"Saya memaksakan menceritakan ini untuk meluruskan dan menyampaikan duduk persoalan sebenarnya, apakah perlakuan aparat harus sebrutal itu, apakah selama mereka dididik diajarkan bisa memukuli saudaranya sendiri?," tanya Darwin.

Sumber: CeknRicek.com
Editor: Dardani