Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sebagai Rumah Besar Kebangsaan

Bamsoet Khawatir Golkar akan Jadi Partai Jadul di 2024
Oleh : Irawan Surya
Sabtu | 21-09-2019 | 08:16 WIB
DISKUSI-PANEL-GOLKAR1.jpg Honda-Batam
Diskusi Publik 'Merawat Golkar sebagai Rumah Besar Kebangsaan', di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (20/9/2019) petang. (Surya)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta semua kader dan simpatisan Partai Golkar memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu bertujuan agar Golkar bisa tetap utuh sebagai rumah besar kebangsaan dan menjadi penyangga keutuhan NKRI.

"Sepanjang sejarah Indonesia, Keluarga Besar Eksponen Ormas Tri Karya Golkar yang terdiri dari SOKSI, KOSGORO 1957 dan MKGR telah membaktikan diri sebagai benteng utama penjaga Pancasila dan UUD 1945," kata Bamsoet saat menjadi Keynote Speaker Diskusi Publik 'Merawat Golkar sebagai Rumah Besar Kebangsaan' di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (20/9/2019) petang.

Karena itu, Bamsoet mengapresiasi sepak terjang eksponen ormas Tri Karya Golkar menjadi aspirasi politik rakyat Indonesia. Yakni SOKSI yang didirikan pada 20 Mei 1960 oleh alm Mayjen (Purn) TNI Suhardiman, KOSGORO 1957 didirikan 10 November 1957 oleh alm Mayjen (Purn) TNI Mas Isman, dan MKGR didirikan alm Mayjen (Purn) TNI R.H. Sugandhi pada 3 Januari 1960.

"Organisasi Tri Karya Golkar didirikan oleh tiga jenderal TNI AD, tetapi sekarang Golkar ditinggallkan oleh purnawirawan TNI. Ini harus menjadi catatan ketum umum kedepan, kenapa mereka meninggalkan Golkar, apakah Golkar sudah tidak nyaman sebagai Rumah Besar Kebangsaan," katanya.

Sehingga dalam menghadapi suksesi kepemimpinan di Golkar, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini mengingatkan Ketua Umum Partai Golkar mendatang haruslah seseorang yang mampu memegang teguh prinsip dan norma PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela). Seorang pemimpin juga tak boleh menutup ruang diskusi, serta harus selalu siap lapang hati menerima kritikan.

"Jika pemimpin partai sudah anti kritik, tak heran jika kader meminta dilakukan konsolidasi menyeluruh guna mengadakan penataan kelembagaan, serta melakukan reformasi internal untuk menyesuaikan diri dengan derap langkah perkembangan jaman. Golkar sekarang dinilai sebagaii partai jadul," ungkap Bamsoet.

Ia memandang sudah waktunya bagi Golkar membuka pintu rumah menyambut hadirnya generasi millenial ke dalam proses distribusi dan alih kepemimpinan. Ini demi menjaga kesinambungan Partai Golkar sebagai Rumah Besar Kebangsaan yang 'tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas'.

"Kalangan millenial jumlahnya mencapai 63 juta jiwa, jika tidak bisa merangkul millenial, Golkar akan tetap partai jadul. Jangan harap di Pemilu 2024 nanti Partai Golkar bisa berada di lima besar nasional," pungkas Bamsoet.

Tak punya tokoh

Sementara itu, Pengamat Politik M Qodari menilai suara Partai Golkar cenderung menurun dari pemilu ke pemilu karena belum memiliki tokoh besar seperti Joko Widodo (Jokowi) atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurutnya pemilih cenderung memilih partai yang memiliki tokoh populer.
"Pertanyaannya kenapa Partai Golkar terus menurun selama beberapa tahun terakhir. Pertama karena tidak ada tokoh yang populer," kata Qodari dalam diskusi berjudul Merawat Golkar Sebagai Rumah Besar Kebangsaan Indonesia, di Hotel Sultan, Jl Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Jumat (20/9/2019). Selain dihadiri Qodari hadir pula pengamat politik Prof Dr Salim Said dan pengamat politik komunikasi Effendi Ghazali .

Dia menilai saat ini Golkar belum memiliki tokoh besar yang mampu mendongkrak suaranya di pemilu. Ia mencontohkan mengapa PDIP menang pada Pilpres 2014 karena ada sosok Jokowi.

Karena identifikasi terhadap partai sangat lemah, identifikasi yang kuat itu pada figur. Itu sebabnya kenapa kemudian Partai Demokrat menang Pemilu 2009 karena SBY, tahun 2014-2019 ada Jokowi makanya PDIP menang," sambungnya.

Kemudian, elite Golkar juga ada yang terkena kasus korupsi sehingga menurunkan kepercayaan publik. Selain itu, di internal Golkar juga terdapat konflik sehingga dinilai menghambat konsolidasi ke bawah.

"Ketika konflik itu enggak sempat konsolidasi, enggak sempat untuk turun ke pemilih. Sibuk ribut dengan sesama mereka sendiri, jadi energinya habis. Yang kedua, kasus-kasus konflik segala macam menurunkan trust dari masyarakat," ujarnya.

Editor: Chandra