Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Berkaca dari Sukses Tiongkok, PT Garam Upayakan Kesinambungan Pasokan
Oleh : CR-1
Kamis | 19-09-2019 | 14:16 WIB
BUDI-sasongko2.jpg Honda-Batam
Direktur Utama PT Garam, Budi Sasongko. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - PT Garam (Persero) mengupayakan pasokan produk secara berkesinambungan, terlepas mekanisme pasar yang mengalami inefisiensi.

Kondisi permintaan dan penawaran garam baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri tidak seimbang. Kegiatan produksi garam dan derivatnya, serta garam olahan berkualitas sudah mengacu pada standard desain lahan.

"PT Garam punya bozem (sungai buatan untuk kebutuhan PT Garam) dengan sistem evaporasi, kristalisasi. Tapi hal ini belum cukup. Kemauan politik untuk mencapai swasembada garam harus ada. Lahan garam rakyat harus terintegrasi seperti yang terjadi di Tiongkok, India," ujar Direktur Utama PT Garam, Budi Sasongko.

Sebagaimana lahan tanah sebagai sumber kehidupan di Indonesia dengan fungsi seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri. Selain lahan tanah juga dipergunakan sebagai tempat permukiman.

Selain lahan tanah dikuasai dengan status hak milik, juga yang secara hukum memiliki kedudukan kuat.

"Hal yang sangat prinsip, bahwa lahan tanah walaupun hanya selebar jidat di Indonesia, itu merupakan harga diri. Tapi di Tiongkok, hal tersebut tidak berlaku. Kondisi di India juga hampir sama dengan di Tiongkok. Tiongkok menganut sistem central state (pemerintahan sentralistik). Sehingga kegiatan produksi garam di Tiongkok tidak terbentur dengan status kepemilikan lahan. Produksi garam Tiongkok terbesar di dunia, (yakni) 70 juta metrik ton per tahun," papar Budi Sasongko.

Hal lain, lanjut Budi Sasongko, kegiatan produksi garam Indonesia terbentur dengan birokrasi berbelit-belit. Penanganan garam dengan lima pintu. Sektor hulu ditangani KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), hilirasi ditangani Kemenperin (Kementerian Perindustrian). Di tengah (KKP dan Kemenperin) ada Kementerian Perdagangan, Kantor Menko Kemaritiman.

Sementara itu, PT Garam berada di bawah Kementerian BUMN. "Pada waktu zaman pak Harto, pintunya hanya satu, (yakni) Menperindag. Sehingga ada stok nasional garam. KKP tangani lahan garam terintegrasi, sementara Kemenperin lebih pada hilirisasi, (perbedaan penanganan) tidak connect. Pahadal PT Garam melakukan itu (hilirisasi, produksi),” tegas Budi Sasongko.

Kondisi sekarang, produksi PT Garam saat ini baru sekitar 143 ribu ton per tahun. Keseluruhan luas lahan garam di Indonesia hanya 25.834 hektar. Idealnya, penambahan lahan harus mencapai 10-15 ribu hektar lagi untuk bisa mencapai bisa memenuhi kebutuhan.

"Terlepas dari itu (inefisiensi pasar), kegiatan produksi garam on farm di Tiongkok, Korea dengan desain water engineering (rekayasa pengairan) milik PT Garam (Persero). Saya sudah survey langsung ke provinsi Tianjin China, desainnya pada kami,” tegas Budi Sasongko.

Alur sistem produksi PT Garam sudah efektif, yakni 10-20 persen dengan Bozem (sungai buatan untuk kebutuhan PT Garam), 60 - 70 persen (evaporasi), 10 - 20 persen (kristalisasi).
Sehingga, kalau PT Garam mempunyai luas lahan untuk budidaya sekitar 1000 hektar, sehingga 100 - 200 hektar digunakan untuk kristalisasi.

"Tapi kualitas garam rakyat masih dianggap kurang bagus. Karena memang, petani garam mengandalkan pasang surut air laut. Tapi desain water engineering untuk produksi garam di Tiongkok, Korea milik PT Garam," tutup Budi Sasongko.

Editor: Dardani