Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Fahri Sebut Saut Mundur, karena Jabatan Pimpinan KPK Tinggal Hitungan Hari Lagi
Oleh : Irawan
Jum\'at | 13-09-2019 | 15:28 WIB
ahri_hamah15.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengatakan mundurnya Saut Situmorang dari pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), periode 2015-2019, adalah hak pribadi yang bersangkutan. Apalagi kalau mundurnya Saut karena tidak bisa menyesuaikan dirinya.

"Saya terus terang setuju dengan pandangan Pak Jokowi yang mengatakan itu hak pribadi orang masing-masing, silakan saja mengambil keputusan (mundur). Tetapi kan masalahnya waktu untuk pergantian kepemimpinan dengan tinggal hitungan hari," kata Fahri dalam pesan suaranya yang diterima wartawan, Jumat (13/9/2019).

Dikatakan Fahri, karena pimpinan KPK yang baru sebenarnya memang sudah ada, jadi tidak ada masalah dan waktu akan berjalan dengan lancar. Namun, ia minta kepada teman-teman pegawai KPK untuk menyesuaikan diri dengan pemimpin baru nantinya.

"Biasakan diri pegawai KPK dengan pimpinan, gitu. Meskipun pimpinan mereka orang-orang baru, tetapi wadah pegawai itu kan tidak akan dibubarkan, karena semua sudah jadi anggota Korpri kok semuanya, seperti kata Presiden harus jadi ASN," ujarnya.

Karena itu, inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu meminta kepada pegawai KPK untuk nembiasakan diri, sampai ada undang-undang baru.

"Semua harus menyesuaikan diri, kalau nggak bisa menyesuaikan diri ya repot. Semua orang harus mau diubah, jadi nggak bisa semua-maunya kita aja. di negara ini ada aturannya," katanya.

Komunikasi berjalan
Dalam kesempatan ini, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengatakan, pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara cukup lengkap, sebagai respon atas pengajuan supres (surat presiden), menunjukan agar RUU KPK yang merupakan usul inisiatif DPR itu dilanjutkan pembahasannya.

"Itu artinya komunikasi antara DPR dan presiden telah berjalan cukup baik, terutama alam perspektif perubahan UU KPK ini. Ini pertama yang saya ingin sampaikan," katanya.

Kedua, menurut Fahri tinggal nanti menjadi sikap dari seluruh anggota dari tim pemerintah untuk membawa sikap presiden itu di dalam pembahasan, dan kemudian akan menyisir satu persatu untuk mencari rumusan akhir setelah melalui pembahasan-pembahasan.

"Tapi dari pengamatan saya dan apa yang saya ikuti dari perkembangan di baliknya karena sebagai pimpinan kami mendapat laporan saya merasakan bahwa pandangan presiden tuh akan cukup mudah diterima oleh DPR, oleh Baleg khususnya karena sudah masuk ke dalam poin-poin yang selama ini menjadi konsumennya," ujarnya.

Seperti soal persetujuan presiden tentang pengawas, Fahri berpendapat kalau soal ini tidak ada perbedaan. Karena presiden setuju bahwa penyadapan itu harus izin kepada dewan pengawas supaya lebih independent, maksudnya bukan minta persetujuan kepada hakim.

"Saya kira ini akan cukup melengkapi konsep yang selama ini berkembang, meskipun sebenarnya kalau sistem peradilan pidana kita sudah baik ya. Penyadapan untuk kepentingan apapun sebenarnya harus, kecuali untuk kepentingan presiden dalam undang-undang intelijen. Tapi untuk kepentingan yang lain itu harus diawasi oleh lembaga independen," katanya.

Begitu pula terkait SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), menurut Fahri kalau presiden mengatakan itu terkait LHKPN masih masuk akal. Meskipun dirinya memiliki pendapat yang berbeda dalam dua hal.

Pertama LHKPN, itu tidak boleh menjadi senjata KPK tetapi bukan untuk kepentingan hukum melainkan untuk kepentingan yang lain. Sebab, bisa juga menjadi problem karena rawan untuk disalahgunakan. Kedua, LHKPN bagi politisi sebenarnya di dalam negara demokrasi tidak dikenal LHKPN bagi politisi.

"Kenapa? Karena mereka bukan birokrat, sifat mereka di dalam birokrasi negara atau di dalam jabatan negara itu tidak permanen. Paling lama presiden hanya cuman 5 tahun yang lain ada yang 5 tahun, ada yang 4 tahun yang seperti duta besar itu cuman 4 tahun. Jadi rezim pengelolaan kekayaan pribadinya itu seharusnya itu jatuhnya kepada lembaga etik," kata Fahri.

Sayangnya, masih menurut Fahri lembaga etik ini sebenarnya belum dikenal di Indonesia yaitu peradilan etika di masing-masing lembaga. Kalau semua pengeolaan LHKPN KPK itu nanti orang bisa main di dalam.

"Di sinilah nanti sering muncul perasaan hanya menjadi objek dari KPK sementara KPK nya sendiri tidak memiliki konsepsi kedisiplinan," pungkas Anggota DPR RI dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Editor: Surya