Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kemerdekaan dan Pernak-perniknya
Oleh : Opini
Sabtu | 17-08-2019 | 11:52 WIB
lis-DARMANSYAH.jpg Honda-Batam
H. Lis Darmansyah, SH. (Foto: Batamtoday.com)

Oleh H. Lis Darmansyah, SH

74 TAHUN telah berlalu, pasca dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Sang Proklamator Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Momentum tersebut merupakan sejarah terpenting dari perjalanan bangsa Indonesia, yang selama 350 tahun lebih dalam belenggu penjajahan asing.

Perjalanan bangsa ini menuju proklamasi kemerdekaan tersebut, sungguh sangat berat. Berbagai peristiwa dalam rangkaian waktu yang begitu panjang, melintasi generasi ke generasi dengan diiringi letupan senapang, hunusan pedang bahkan bom dan meriam yang meluluh lantakkan setiap yang ada. Bahkan nyawa begitu mudahnya lepas dari raga, darah hanya seperti keringat dimusim panas, tangispun bahkan tidak mampu lagi mengeluarkan air mata.

Selama berabad-abad lamanya, perlawanan demi perlawanan terus dikobarkan diseluruh pelosok nusantara. Para pejuang kemerdekaan, tidak tinggal diam menyaksikan kekejaman pejajah. Mereka angkat senjata untuk melawan, berontak sekuat tenaga walaupun hanya dengan persenjataan yang seadanya, yang jelas tidak sebanding dengan tank tank dan pesawat tempur milik penjajah.

Namun para pahlawan pahlawan bangsa ini, terus merakit dan menjahit keberanian, bahu membahu tanpa mengenal strata sosial, tidak mengenal batas usia bahkan lelaki ataupun perempuan. Mereka terus menebarkan virus virus kemerdekaan dengan satu tekad dan tujuan utama yaitu kata MERDEKA.

Spirit perlawanan yang tak pernah putus dari waktu ke waktu terus bergelora, tak kenal dimana saja dan oleh siapa saja anak anak bangsa. Setiap hela nafas mereka ada harapan, setiap nyawa yang lepas dari raga ada doa, setiap darah yang mengalir menjadi api yang justru semakin membakar semangat.

Doa dan harapan yang pada akhirnya memuncak dimana pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta berdiri mewakili bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Pasca proklamasi 17 Agustus 1945 adalah masa pembentukan pilar-pilar pemerintahan revolusioner yang kemudian dikenal sebagai Orde Lama. Masa orde lama merupakan masa revolusioner, dibawah komando Bung Karno telah mengikrarkan suatu wilayah dari Sabang sampai Merauke dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dimasa Orde Lama dibawah kepemimpinan Bung Karno, nilai nilai dan semangat kemerdekaan masih sangat kental terasa. Kemerdekaan fisik pada saat itu memang belum secara utuh, sebab masih menyisakan perlawanan perlawanan terhadap penjajah. Penjajah yang masih mencoba mempertahankan wilayah jajahannya, sebelum Indonesia benar benar merdeka secara total dari penjajahan asing.

Di era tersebut, nilai nilai dan semangat kemerdekaan sungguh masih merupakan sesuatu yang begitu sakral. Rakyat tidak perlu harus menunggu diinstruksikan untuk mengibarkan bendera, tetapi rasa nasionalis yang mengakar dijiwa mereka yang secara spontan melakukannya. Mungkin karena mereka merasakan, bagaimana pahit dan getirnya perjuangan pra kemerdekaan. Sehingga begitu sakralnya arti sebuah bendera yang bernama Sang Saka Merah Putih

Pasca terbitnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang masih sangat kontroversi sejarahnya, telah mengakhiri kepemimpinan Bung Karno di Republik yang pernah diproklamirkannya. Lembaran Orde Lama ditutup, dan dimulai dengan lembaran Orde Baru dibawah kekuasaan pemerintahan Soeharto.

Nilai nilai dan semangat nasionalisme perlahan mulai terkikis. Mungkin karena paradigma dan doktrinisasi yang dibangun pada rezim Orde Baru terhadap Orde Lama pada saat itu. Namun seiring perjalanan sejarah, rezim Orde Baru pun tumbang dan digantikan dengan era reformasi hingga saat ini.

Peringatan HUT RI ke 74 ini hendaknya tidak hanya sebatas seremonial semata, tetapi sebagai momentum renungan kita bersama terhadap nilai nilai kemerdekaan itu sendiri. Perjuangan kita sebagai anak bangsa, sesungguhnya masih belum selesai. Kita harus terus melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah gugur mendahului kita.

Semangat keberanian menyongsong masa depan, kebersamaan dan gotong royong demi satu tujuan, tidak cengeng dalam menghadapi permasalahan merupakan cerminan bagaimana perjuangan para pendahulu bangsa ini.

“Jangankan hanya keringat, darahpun mereka curahkan. Jangankan hanya harta, nyawapun dipertaruhkan. Jangankan hanya berjalan 8, 17 dan 45 KM, tiarap berhari hari didalam hutanpun mereka lakukan”.

Di Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1957, Bung Karno pernah mencanangkan Gerakan Revolusi Mental. Bung Karno berkata “…Gerakan Revolusi Mental adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia ini menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala….”

Kata kata Bung Karno 62 tahun silam tersebut, hendaknya menjadi cambuk bagi kita saat ini. Seberapa kuat mental dan tekad kita didalam mengisi nilai nilai kemerdekaan yang sesungguhnya.

Bahkan mungkin kita saat ini, untuk upacara bendera saja terkadang tidak tahan akan terik panas matahari. Mari kita renungkan bagaimana para pahlawan bangsa dalam mengibarkan sang saka merah putih, bukan hanya panas matahari yang dihadapi tetapi peluru peluru panas bahkan bom bom yang menghancurkan.

Bagaimana mungkin kita ingin memperjuangkan nilai nilai kemerdekaan yang sesungguhnya, jika memaknai semangat juang saja kita tidak mampu. Bung Karno pernah mengingatkan kita bahwa, sekalipun kita suka makan tempe namun kita bukanlah bangsa "Tempe". Kita adalah bangsa yang besar dan kuat, bukan bangsa yang manja dan cengeng terhadap situasi apapun.

Perjuangan kita untuk mencapai Indonesia yang benar benar merdeka, memang masih cukup panjang. Semangat Revolusi Mental harus kembali digelorakan, karena mental anak anak bangsa saat ini tanpa kita sadari sudah mulai rapuh.

Tanpa kita sadari bahwa, secara langsung maupun tidak langsung para pendahulu kita sesungguhnya telah menanamkan bibit bibit semangat atas nilai nilai kemerdekaan. Hal ini tercermin pada setiap perayaan HUT Kemerdekaan 17 Agustus an. Walaupun secara kasat mata, yang kita saksikan hanyalah berupa permainan rakyat tetapi sesungguhnya kaya akan nilai nilai filosofi

Gerak Jalan Lomba Tri Juang (8, 17 dan 45 KM), Panjat Pinang, Tarik Tambang, Balap Karung dan lain sebagainya. Merupakan aneka permainan rakyat yang identik dengan 17 Agustus an, yang bukan saja mengundang keriuhan pesta HUT Kemerdekaan tetapi tetapi juga memiliki pesan moral dan nilai nilai filosofi.

Satu waktu penulis duduk disalah satu kedai kopi di sudut Kota Tanjungpinang, dan kebetulan melintas barisan anak anak muda yang sedang latihan gerak jalan 17 Agustus an. Salah satu teman ngopi yang sudah agak paruh baya mengatakan bahwa, "Lis kamu tahu gak, kalau lomba tri juang gerak jalan 8, 17 dan 45 KM ini sudah ada sejak awal tahun 1970 an bahkan dulu startnya dari Trikora".

Apa sesungguhnya nilai nilai yang terkandung dari gerak jalan 8 KM, 17 KM bahkan sampai 45 KM, atau biasa dikenal dengan istilah Lomba Tri Juang ini. Secara umum tentunya mudah kita simpulkan bahwa HUT RI bertepatan dengan tanggal 17 bulan 8 dan tahun 1945 atau 45.

Namun lebih daripada itu, ada pesan moral bahwa bangsa ini merdeka dari rangkaian perjalanan panjang. Perjalanan yang harus seiring seirama dalam satu barisan, saling menjaga kekompakan dan kebersamaan dalam situasi apapun serta semangat yang sama untuk mencapai tujuan yaitu garis finish sebagai wujud kemerdekaan.

Begitu juga dengan makna filosofi dari Panjat Pinang. Sebagian kita saat ini mungkin justru hanya melihat dari satu sisi manfaatnya apa. Hanya mengotori badan demi hadiah yang tidak seberapa. Apalagi harus di injak ataupun menginjak rekan rekan lainnya. Tetapi sesungguhnya ada pesan moral dan nilai nilai filosofi kemerdekaan juga yang terkandung didalam permainan tersebut.

Bagaimana semangat gotong royong, bahu membahu, bahkan pengorbanan agar mencapai puncak yaitu kemerdekaan itu sendiri. Ketika sampai di puncak maka pertama yang dilakukan adalah merebut bendera dan mengibarkannya, sebagai tanda Kemerdekaan telah diraih.

Di puncak batang pinang juga tersedia berbagai hadiah yang memiliki nilai filosofi sebagai sumber daya alam yang tersedia. Hal ini mengandung makna bahwa, setelah kemerdekaan di raih maka kita memiliki hak untuk memanfaatkan dan mengelola semua sumber daya alam yang tersedia.

Era digitalisasi perlahan mulai melunturkan nilai nilai tersebut, dan justru menciptakan sifat sifat individualisme. Karakter bangsa kita adalah bangsa yang mengedepankan semangat kebersamaan dan gotong royong.

Semangat ini yang tidak boleh hilang, karena inilah kekuatan bangsa yang sesungguhnya yang telah mengantarkan kepada kemerdekaan. Bahkan modal utama ini juga, yang bisa mengantarkan bangsa Indonesia kepada Kemerdekaan yang benar benar merdeka.

Merdeka Merdeka Merdeka !!

Penulis adalah mantan Walikota Tanjungpinang