Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sertifikat Tumpang Tindih, PT TPD Gugat Pengacara dan Isterinya
Oleh : Charles/Dodo
Rabu | 28-03-2012 | 17:52 WIB

TANJUNGPINANG, batamtoday - Diduga sertifikat kepemilikan lahan tumpang tindih, PT Terira Pratiwi Development (TPD) mengugat pengaacara Edi Rustandi SH dan isterinya Ika Yulia, atas kepemilikan 40 ribu meter persegi lahan hak milik yang diklaim tergugat hak miliknya, di kawasan Dompak Darat Kecamatan Bukit Bestari, Tanjungpinang.

Selain pasangan suami isteri tersebut, PT TPD juga menggugat Sarif sebagai turut tergugat I bersama Aisah tergugat III, atas kepemilikan dan penyewaan lahan seluas 40 ribu meter persegi, yang disewakan tergugat I dan II kepada PT Aneka Tambang Tbk sejak 2007-2010 dan kepada PT Antam Resourcindo sejak 2010 hingga 2012 di kawasan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari.

Gugatan dibacakan kuasa hukum PT TPD, Hendi Davitra SH dalam sidang perdana gugatan melawan hukum kasus perdata di PN Tanjungpinang, Rabu (28/3/2012).

Dalam gugatannya, PT TPD melalui kuasa hukumnya mengatakan, tanah yang diklaim dan disewakan para tergugat, sejak 2007 hingga 2012 itu, adalah merupakan lahan milik PT TPD yang dibuktikan dengan surat tanah Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 00872 tertanggal 8 Mei 1995 dan gambar situasi Nomor 03/PGSK/95 tertanggal 19 Januari 1995 dengan luas 3.974.330 meter persegi.

Sementara sertifikat hak milik Edi Rustandi nomor: 3172 dan sertifikat atas nama hak milik isterinya Nomor 3173, berdasarkan data yang dimiliki, baru dikeluarkan BPN Tanjungpinang, tanggal 3 Januari 2007 lalu.

“Kami mengajukan gugatan melawan hukum ini, karena sertifikat yang diterbitkan BPN Kota Tanjungpinang (tergugat III) tersebut berada dalam HGB Nomor 00872 PT TPD, dan selama ini PT TPD belum pernah melakukan pelepasan hak pada tergugat I dan II,” ujar Hendie Devitra kepada wartawan usai melaksanakan sidang perdana di PN Tanjungpinang.
 
Pihak PT TPD juga mengklaim, kalau pihaknya memperoleh hak atas tanah HGB tersebut setelah sesuai dengan pelepasan hak melalui proses ganti rugi. Namun pada 2007, BPN Tanjungpinang kembali menerbitkan sertifikat hak milik masing-masing tergugat.   

Dalam gugatannya Hendi juga menjelaskan, kalau masing-masing tergugat melakukan pebuatan hukum tertentu dengan membuat akta dari pejabat pembuat akta tanah (PPAT), sebagai bukti yang menjadi dasar bagi pendaftaran tanah milik tergugat I dan tergugat II dan oleh tergugat III.

"Dengan melalui proses peralihan atau pemecahan hak atas tanah dari pengungat adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak pengungat sebagai pemilik tanah sengketa," kata Hendi

Selain itu, berdasarkan bukti fisik, dalam sertifikat hak milik tergugat I dan II, batas-batas tanah yang ditunjuk tergugat di lokasi HGB penggugat, juga sangat berbeda dengan batas-batas tanah, sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang masih berada didalam lokasi tanah HGB penggungat.
 
Sedangkan letak tanah milik turut tergugat lainya, yang dilepaskan oleh tergugat II tidak sesuai dengan batas-batas yang dikatakan, sehingga penggungat berpendapat, perbuatan para tergugat tidak mmiliki itikad baik serta cacat yuridis, akibat tidak dilakukan sesuai denga nhukum yang berlaku, yakni tanpa adanya proses peralihan hak baik pemcehan atau perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah HGB penggungat.

“Sedangkan keterlibatan tergugat III dalam hal ini BPN, adalah menerbitkan sertifikat tegugat I dan II, yang kai anggap juga merupakan perbuatan melawan hukum karena tanpa prosedur yang benar,” kata Hendie.

Dalam gugatanya, pengungat juga meminta ganti kerugian untuk memperbaiki lahan yang sudah digunakan untuk pencucian bauksit dan kolam limbah atas sewa yang diterima tergugat I dan II sebesar Rp950 juta dari PT Antam dan PT Antam Resourcindo.

“Dalam Provisi (putusan pendahuluan) kita juga meminta majelis hakim memutuskan tanah sengketa ditetapkan dalam keadaan status quo dan melarang masing-masing pihak agar tidak melakukan kegiatan atau aktivitas apapun dan dari siapapun di atas tanah sengketa tersebut,” kata Hendie.

Selain itu, penggugat juga menuntut uang paksa per harinya, jika sudah memiliki keputusan tetap sebesar Rp 5 juta, dan meminta agar Pengadilan Negeri Tanjungpinang, membatalkan sertifikat milik tergugat I dan II serta membebankan biaya perkara kepada tergugat I, II dan III.

Sidang kembali ditunda karena dan akan dilanjutkan pada Rabu (4/4/2012) mendatang, karena pihak tergugat I, Ika Yulia dan turut tergugat I Sarif serta tergugat II Aisyah tidak hadir dan majelis hakim kembali memerintahkan Panitera Pengadilan untuk memanggil para pihak dalam sidang mendatang.