Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengenang Bapak Band Indonesia, Tonny Koeswoyo
Oleh : Redaksi/RollingStone
Rabu | 28-03-2012 | 13:02 WIB

JAKARTA, batamtoday - Kemarin, seperempat abad yang lalu, 27 Maret 1987, Koestono Koeswojo atau lebih dikenal dengan Tonny Koeswojo telah menghembuskan nafas terakhir karena kanker usus. Dan tak berlebihan jika saya menyebut pria tampan dan simpatik ini sebagai sumber inspirasi bagi band-band yang tumbuh kembang di Indonesia sejak paruh dasawarsa 60-an bahkan mungkin hingga saat sekarang ini.

Popularitas Koes Bersaudara hingga Koes Plus yang fenomenal adalah bukti nyata yang tak terbantahkan. Di era 70an bak lokomotif, Koes Plus melaju sendirian tanpa saingan dalam industri musik Indonesia.

Dimata saya sendiri sosok Tonny Koeswoyo tak hanya seorang pemusik yang terampil bermain gitar, main keyboard, bikin lagu dan menyanyi sekalipun, tapi Tonny Koeswoyo pun seorang visioner. Dalam setiap wawancara mengenai musik Indonesia saya selalu menekankan bahwa almarhum Tonny adalah seorang visioner yang sesungguhnya.

Tonny Koeswoyo, saya anggap bagaikan almarhum John Lennon di belahan dunia sana.

Meskipun tak seradikal dan seekstrem John Lennon namun Tonny memiliki konsep kesenian yang jelas terutama seni pop. Dia adalah seniman sejati. Dia betul-betul tulus menggantungkan segenap jiwa raga dan hidup pada musik, musik dan musik. 

Sesuatu yang bagi adiknya sendiri Koesnomo atau Nomo Koeswoyo dianggap sesuatu yang berada diambang ketidakwarasan.

"Bagaimana bisa musik menghidupi?"

Mungkin itu yang terbersit dibenak Nomo saat harus meninggalkan Koes Bersaudara pada akhir dasawarsa 60-an.

Tapi hingga ajal menjemput Tonny ternyata telah membuktikan bahwa musik adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Dan Tonny pun meninggal dunia dan dikenang khalayak sebagai sosok pemusik.

Tonny Koeswoyo dilahirkan di daerah Tuban, Jawa Timur pada 19 Januari 1936, sebagai putera keempat dari sembilan bersauadara anak pasangan Koeswoyo dan Atmini. 

Lima diantaranya lalu bergabung dalam band Koes Bersaudara yaitu Koesjono (John), Koestono (Tonny), Koesnomo (Nomo), Koesyono (Yon), dan Koesroyo (Yok).

Titisan darah musik menurun dari Koeswojo, sang ayah yang terampil memetik gitar dan main musik Hawaiian. Tonny sendiri ketika berusia empat tahun bisa berjam-jam menabuh ember dan baskom dengan menggunkan stik berupa lidi-lidi yang ujungnya ditancapkan bunga jambu yang masih kuncup.

Saat memasuki usia akil balik, Tonny Koeswoyo tak mau lagi menabuh ember. Intuisi musiknya kian menderu-deru tanpa ada yang mampu menghalangi. Tonny lalu memohon minta dibelikan gitar, biola, dan buku-buku musik. Pak Koeswoyo memenuhi permintaan itu dengan pertimbangan sebagai alternatif untuk mengalihkan kegiatan anak-anaknya supaya jangan ikut-ikutan tren berkelahi maupun jadi crossboy.

Saat itu demam nge-gang tengah berlangsung di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung maupun Surabaya. Di sisi lain Tonny pun ternyata cukup rajin mengikuti berbagai kegiatan organisasi mahasiswa seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan berpartisipasi sebagai pemusik. Tonny Koeswoyo juga senantiasa suka hadir di pesta-pesta dan ikut memainkan lagu-lagu yang sedang digandrungi anak-anak muda waktu itu semisal The Beatles dan sejenisnya.

Secara otodidak, Tonny belajar memetik gitar, ukulele, piano, termasuk meniup suling. Kabarnya Tonny pun mahir meniup saxophone. Ketika duduk di bangku SMA, Tonny membentuk band di sekolahnya, Gita Remaja. Lalu bersama pelukis komik Jan Mintaraga -yang sempat ikut Kus Bersaudara- dan Sophan Sophiaan, Tonny malah mendirikan band Teenage’s Voice dan Teruna Ria. Band yang lalu sering tampil diperhelatan remaja di sekolah-sekolah.

Tonny Koeswoyo pun pada akhirnya menjadi bintang pesta karena begitu mahir membawakan lagu-lagu asing (Inggris dan Amerika Serikat) yang sedang populer waktu itu. Namun, Tonny toh tetap berusaha memenuhi harapan kedua orang tuanya untuk meneruskan sekolah hingga sampai ke bangku kuliah Sastra Inggris, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta. Walaupun semangat bermusik tak padam jua.

Dengan memakai nama Kus Bros, sekitar tahun 1958 mereka malang-melintang dalam berbagai acara ulang tahun atau pesta pernikahan hingga sunatan. Honor bagi mereka saat itu urusan yang kesekian. Yang penting bisa tampil di depan publik dan menyantap makanan enak.

Keempat saudaranya mulai dari yang tertua Jon, Nomo, Yon, dan Yok menganggap pikiran Tonny tak waras. Namun Tonny Koeswoyo berprinsip pantang mundur, bahkan Tonny nekad keluar dari tempatnya bekerja di Perkebunan Negara agar memiliki banyak waktu untuk menulis lagu.

Kus Brothers sebagai band sudah sering tampil di berbagai pesta, dan Soejoso Karsono atau kerap dipanggil Mas Yos sang pemilik label Irama juga telah mendengar tentang Kus Brothers. Mas Yos dan supervisor musik Irama Jack Lemmmers atau Jack Lesmana lalu menerima Kus Brothers sebagai grup rekaman yang mereka kontrak pada tahun 1962.

Tonny Koeswoyo memetik perangkat gitar melodi, bersama Jon (bass), Nomo (drums), Jan Mintaraga (gitar) mengiringi duet vokal Yon dan Yok. Baru tiga lagu Jan Mintaraga mengundurkan diri, lebih memilih melanjutkan sekolahnya di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta dan kemudian menjadi komikus. Sementara Jon dijadikan gitaris, dan bas dimainkan Yok.

Mas Yos pun segera menyarankan Kus Brothers yang sekarang anggotanya empat orang itu diganti namanya menjadi Kus Bersaudara karena dianggap kebarat-baratan. Dengan nama baru inilah album pertama Tonny Koeswoyo beserta adik-adiknya diterbitkan pada tahun 1963.

"Kalau seandainya dalam penyajian musik saya Saudara menemukan pengaruh-pengaruh dari penyanyi Barat terkenal Kalin Twin dan Everly Brothers, atau barangkali asosiasi Saudara dalam mendengar musik kami tertuju ke arah mereka, itu tidak kami sangkal dan salahkan karena memang mereka-lah yang mengilhami kami hingga terbentuk orkes kami ini," itu kalimat panjang yang ditulis Tonny sebagai liner notes pada sampul piringan hitam (PH) pertama Kus Bersaudara yang diedarkan Irama Record.

PH yang bernomor register IML 150 berisikan 12 lagu yang diproduksi tepat 40 tahun yang lalu itu adalah “Dara Manisku,” “Jangan Bersedih,” “Hapuskan,” “Dewi Rindu,” “Bis Sekolah,” “Pagi Yang Indah,” “Si Kancil,” “Oh Kau Tahu,” “Telaga Sunyi,” “Angin Laut,” “Senja,” dan “Selamat Tinggal.”

Waktu itu usia Tonny Koeswoyo telah berusia 26 tahun, Nomo (23 tahun ), Yon (19 tahun), dan Yok (17 tahun). Makanya tidak heran lagu-lagu mereka berisikan lirik-lirik tentang harapan, cinta, kebahagiaan, dan kesepian. Romansa memang menjadi bagian tak terpisahkan dari notasi lagu-lagu mereka di saat itu.

Selain itu, yang perlu dicatat lagi bahwa ke-2 lagu Kus Bersaudara itu semuanya merupakan karya cipta Tonny Koeswoyo. Demikian juga dalam beberapa PH single yang berisikan empat lagu: “Dara Berpita,” “Untuk Ibu,” “Di Pantai Bali” (lagu yang diadaptasi dari lagu “Kon Tiki” The Ventures) dan sebuah lagu karya Pak Daldjono bertajuk, “Bintang Kecil.” Piringan hitam single lainnya hanya berisikan dua lagu, “Kuduslah Cintaku” dan “Harapanku.”

Walaupun sudah memiliki lagu-lagu sendiri dalam bentuk rekaman, Kus Bersaudara masih dibayar dengan honor yang seadanya kalau menyanyi di panggung. Lagu-lagu Tonny Koeswoyo boleh saja populer, tetapi kehidupan ekonomi keluarga Koeswoyo tidak banyak berubah.

Yang berubah justru Kus Bersaudara menjadi Koes Bersaudara. Demikian juga musik dan vokal Yon dan Yok, dari gaya Kalin Twin dan Everly Brothers ke The Beatles. Bahkan, mereka sampai merasa perlu berjas tanpa leher seperti yang dikenakan oleh John Lennon, Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr.

Pada tahun 1965 Koes Bersaudara menjadi kelompok musik sohor tanah air dan nyaris tanpa saingan sama sekali. Tapi Koes Bersaudara masih merasa perlu manggung secara berkala di gedung bioskop sebagai selingan pemutaran film atau di International Airport Restaurant Kemayoran dua kali seminggu. Penonton yang berjubel dan tumpang tindih selalu meminta lagu-lagu dari kelompok The Beatles.

Padahal, pemerintah memberlakukan Panpres Nomor 11 Tahun 1965 yang melarang musik "ngak- ngik-ngok" yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat, tetapi Tony sulit mengelak permintaan para penggemarnya.

Bersama Dara Puspita dan Quarta Nada, Koes Bersaudara tanggal 25 Juni 1965 diundang ke sebuah pesta yang diadakan oleh Kolonel Koesno. Ketiga band top itu membawakan lagu-lagu Barat secara bergantian.

Ketika Koes Bersaudara yang tampil terakhir baru saja mulai membawakan nomor The Beatles, “I Saw Her Standing There,” lemparan batu-batu menyasar ke atap rumah Kolonel Koesno yang diikuti teriakan teriakan berbau kekiri-kirian seperti: "Ganyang Nekolim! Ganyang Manikebu! Ganyang Ngak-ngik- ngok!"

Pertunjukan pun terhenti seketika. Koes Bersaudara dipaksa minta maaf dan Tonny dengan tenang segera memenuhi permintaan itu serta dipaksa berjanji tak akan memainkan lagu ngak-ngik-ngok lagi. Setelah nama-nama personel dari band penghibur itu dicatat oleh pengunjuk rasa, semua yang hadir dalam pesta tersebut membubarkan diri.

Tonny, Nomo, Yon, dan Yok pulang dengan perasaan lega. Tetapi, empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 29 Juni 1965, keempat bersaudara Koeswoyo ini ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Glodok. Perintah penangkapan disertai sebuah Surat Perintah Penahanan Sementara Nomor 22/023/K/ SPPS/1965 yang dikeluarkan Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta dan ditandatangani L Aroen SH.

Kurang 100 hari keempat bersaudara itu mendekam di Penjara Glodok yang sekarang telah menjadi pusat perdagangan Glodok yang antara lain menjajakan dengan bebas lagu-lagu Tony yang diproduksi para pembajak. Mereka dibebaskan pada tanggal 29 September 1965, tepat sehari sebelum pecahnya Gerakan 30 September PKI yang dramatis itu.

Pengalaman selama 100 hari itulah yang antara lain dituangkan ke dalam dua album Koes Bersaudara, Jadikan Aku DombaMu dan To The So Called The Guilties yang diterbitkan Dimita Moulding Company dengan label Mesra milik pengusaha berdarah Minang, Dick Tamimi.

Kedua album itu berisi 20 lagu karya Tonny Koeswoyo dan satu ciptaan Yon yaitu, “Untuk Ayah Ibu,” “Lonceng Yang Kecil,” “Rasa Hatiku” (Yon), “Jadikan Aku DombaMu,” “Aku Berjanji,” “Balada Kamar 15,” “Bidadari,” “Bilakah Kamu Tetap Di Sini,” “Mengapa Hari Telah Gelap,” “Untukmu,” “Bunga Rindu,” “Lagu Sendiri,” “Voorman,” “Hari Ini,” “Three Little Words,” “To The So Called The Guilties,” “Apa Saja,” “Di Dalam Bui,” “Poor Clown,” dan “Bintang Mars.” Tony mengakui terus terang, musik dalam album-album ini banyak dipengaruhi The Beatles.

Hingga era Koes Plus, lirik lagu Tonny Koeswoyo dinilai sejumlah kritikus tidak mengalami kemajuan, kecuali beberapa saja seperti "Nusantara." Namun, dalam penyusunan nada dan aransemen, Tonny Koeswoyo diakui banyak kalangan. Mereka bahkan menjadi tambang emas roda industri musik Indonesia sampai saat ini.

Jelas tak banyak pencipta lagu yang bukan hanya menciptakan lagu pop berbahasa Indonesia, namun juga dalam bahasa Jawa, keroncong, kasidahan, Natal, anak-anak, pop Melayu dan bosanova. Koeswoyo Senior yang tadinya menentang, ikut menciptakan lagu dan mendorong Tonny mempopulerkan keroncong bagi anak-anak muda generasinya.

Pergeseran iklim politik dari Orde Lama ke Orde Baru membuka peluang lebih luas bagi Koes Bersaudara untuk berkembang sehingga mereka mendapat panggilan pentas di mana-mana. Tonny Koeswoyo dan adik-adiknya tampil sebagai lambang kebebasan atas penindasan dan kesewenang-wenangan politik.

Pada Agustus 1966, Koes Bersaudara melakukan pertunjukan keliling Jawa dan Bali. Hasilnya, keluarga Koeswoyo bisa pindah rumah yang lebih luas, Jalan Sungai Pawan 21 Blok C masih di Kebayoran. Tetapi, setelah itu kehidupan anggota grup ini tetap dalam kesulitan. Nomo Koeswoyo, misalnya, mulai berinistiatif meninggalkan posisinya sebagai penabuh drum dan memilih berusaha di luar bidang musik untuk menghidupi keluarganya. Nomo tampaknya bersikap lebih pragmatis. Nomo jelas memiliki prinsip yang sangat berbeda dan bertolak belakang dengan Tonny Koeswoyo.

Posisi drummer yang diduduki Nomo Koeswoyo kemudian beralih ke Kasmuri atau dikenal dengan panggilan Murry yang saat itu masih tergabung dalam Patas Band bersama Maxi Mamiri, Edmond Rumapar dan Wempy Tanasale. Tak lama berselang muncullah kelompok Koes Plus pada tahun 1969 lewat debut album Dheg Dheg Plas yang dirilis Dick Tamimi bersama label Dimita/Mesra.

Tapi Koes Plus sebetulnya mulai dikenal dan dielu-elukan khalayak setelah tampil membawakan lagu “Derita” serta “Manis Dan Sayang” dalam acara Jambore Band di Istora Senayan November 1970. Saat itu Koes Plus tampil bersama Panbers dan beberapa band sohor lainnya. Sejak itu popularitas Koes Plus seolah tak terbendung, menggelegak dan merajai industri musik Indonesia terlebih setelah Koes Plus berpindah ke label Remaco yang dipimpin alamrhum Eugene Timothy.

Koes Plus akhirnya menjadi mesin hits yang terus dipacu tiada henti oleh Remaco. Dalam catatan pada tahun 1974 Koes Plus merilis sekitar 24 album. Itu berarti setiap sebulan sekali Koes Plus merilis 2 album.Terbayang betapa kreativitas Koes Plus diperah bagai sapi.

Di tahun 1976-1977 popularitas Koes Plus mulai menukik ke bawah. Banyak yang menduga Koes Plus mengalami paceklik gagasan bermusik. Eugene Timothy mengajukan gagasan untuk menghidupkan kembali Koes Bersaudara. Keempat Koeswoyo bersaudara ini menyetujuinya.

Tonny, Nomo, Yon, dan Yok pada akhirnya memang berkumpul untuk menyelesaikan sejumlah lagu dalam album rekaman Koes Bersaudara bertajuk Kembali pada tahun 1977. Tetapi, usaha itu ternyata tidak mampu juga mengembalikan pamor dan kedigdayaan Koes Bersaudara di masa silam. Di tahun 1978, panji Koes Plus justeru dibangkitkan lagi.

Tonny Koeswoyo kemudian terus melangkah bersama Yon, Yok, dan Murry mengibarkan bendera Koes Plus hingga akhir hayatnya. 

Catatan: Tulisan ini diambil dari catatan Denny Sakrie di RollingStone Indonesia.