Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Forhati Minta DPR agar Tak Buru-buru Sahkan RUU PKS
Oleh : Irawan
Selasa | 02-04-2019 | 13:43 WIB
Forhati_hanifa.jpg Honda-Batam
Hanifa Husein, Koordinator Majelis Nasional Forhati

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Presidium Majelis Nasional Forum Alumni HMI-wati (FORHATI), dan organisasi Islam lainnya minta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jangan terburu-buru mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Ssksual (RUU PKS) yang saat ini masih dalam pembahasan.

"RUU itu secara tersirat, berdampak dahsyat dalam perilaku seksual. Oleh karena perlu disempurnakan lagi," kata Hanifa Husein, Koordinator Majelis Nasional Forhati di Jakarta, Selasa (2/4/2019).

Menurut Hanifa, isi dari RUU PKS yang sekarang sedang dibahas secara akademis bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar dari segala hukum yang ada di Indonesia.

Lebih jauh Hanifa Husein mengatakan, semua sudah sepakat perlunya UU kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Namun tidak semua sepakat terhadap adanya kebebasan seksual dan perilaku seksual yang menyimpang.

Apalagi, katanya, perangkat hukum yang ada belum memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual. Terlebih lagi RUU PKS masih banyak membuka celah terjadinya hubungan sejenis, dan hanya dihukum bila melakukan kekerasan dan pelecehan seksual.

Hanifa mengingatkan, Pancasila sebagai sumber hukum, melalui Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, mengisyaratkan, semua undang-undang yang berlaku di negara ini harus sesuai dengan ajaran agama bagi setiap pemeluk agama di Indonesia.

Secara tersirat, masih terdapat pasal-pasal dalam RUU PKS, yang secara implisit membuka celah terjadinya hubungan sejenis, dan hanya dihukum bila melakukan kekerasan dan pelecehan seksual. Padahal, di dalam Islam hubungan sesama jenis adalah perbuatan yang dilarang.

Di sisi lain terdapat celah, perbuatan zina tidak dapat dihukum. Menurut Hanifa, berbagai hal terkait kekerasan seksual yang terdapat dalam RUU PKS, sebenarnya bisa diusulkan dalam penyempurnaan undang-undang yang sudah ada seperti Undang-Undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Undang-Undang Perdagangan Manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak, atau RUU KUHP yang sampai dengan sekarang belum disahkan. Atau bisa diakomodir dengan diusulkannya RUU Kejahatan Seksual.

"Mudah-mudahan DPR yang akan datang bisa lebih smart mencermati kepentingan masyarakat tentang kekerasan seksual. Yang penting tidak tumpang tindih dengan undang-undang yang sudah ada dan harus sesuai dengan Pancasila," katanya.

Editor: Surya