Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Masyarakat Millenial Wajib Kembali ke Fundamental Negara
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 08-03-2019 | 08:16 WIB
pancasila1.JPG Honda-Batam
Ilustrasi Pancasila di dana pemuda Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh Meilinda Anggraini

PESTA rakyat yang digelar serentak se-Indonesia pada 17 april nanti bukan hanya tradisi setiap 5 tahun sekali, namun penentuan tentang bagaimana Indonesia kedepan. Seperti apa capaian visi misi, perubahan serta kemajuan yang akan dibawa oleh pemipin Indonesia terpilih.

Masyarakat merupakan pemegang kekuasaan penuh atas pilihan mereka. Dibalik hak yang dimiliki tiap individu, ternyata ada standar tertentu yang menjadi sebuah referensi untuk menentukan sebuah pilihan.

Informasi yang diperoleh dari berita cetak dan media online yang kini sangat berkembang dapat memberikan gambaran background calon pemimpin yang mereka inginkan. Oleh karena itu, semarak pesta rakyat di zaman millenial ini memiliki banyak tantangan dan tanggung jawab agar dapat berjalan lancar dan tercapainya Indonesia yang lebih baik.

Sejatinya kita harus paham, perjuangan seperti apa yag telah dilakukan bangsa kita atas kemerdekaan yang telah berlangsung selama 74 tahun. Bukan hal awam bagi setiap kelompok masyarakat, elite politik, bahkan individu yang katanya termasuk anak millenial untuk memahami bagaimana sejarah berdirinya kedaulatan negara Indonesia yang telah diikrarkan pada 17 agustus 1945.
Bahkan sebelum kemerdekaan, fase tersebutlah yang menjadikan negara Indonesia terbentuk menjadi negara yang lebih baik dan kuat dari segi sosial, ekonomi, hak asasi dan kebebasan.

Pancasila merupakan dasar negara yang terbentuk dengan beberapa perubahan atas dasar mufakat para pendiri bangsa. Adapun isi poin pada dasar negara yaitu mencakup nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Kelima poin tersebut sangat tepat untuk dijadikan dasar ideologi negara Indonesia yang merepresentasikan keberagaman agama, suku, adat istiadat di sekitar 17 ribu pulau yang termasuk dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengingat kembali di zaman perjuangan, tentu tidak asing mengenai PKI. Merupakan salah satu partai komunis di Indonesia pada tahun 1924 yang dilatarbelakangi oleh kaum sosialis Belanda bernama Henk Sneevliet.

Pada awalnya bertujuan untuk menentang kekuasaan kolonial dan singkat cerita, terjadi ketidakseimbangan akibat adanya tujuan tertentu dalam pemahaman tersebut dan menyebabkan terbentuknya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebelumnya bernama Partai Komunis Hindia (PKH) oleh Tan Malaka dan Semaun.

Komunisme merupakan dasar pemikiran yang bertujuan untuk memperjuangkan hak semua kelas sosial dengan adanya apresiasi terhadap buruh namun dengan meniadakan agama. Pandangan ini mungkin dibeberapa hal sejalan pada zaman sebelum kemerdekaan seperti kondisi pribumi yang pada waktu tersebut merupakan buruh-buruh yang dipekerjakan oleh penjajah dengan tanpa memikirkan hak-hak asasi manusia.

Sehingga perjuangan tersebut di salurkan melalui ideologi ini, namun sayang paham ini memiliki lebih banyak sisi negatif yang tidak cocok diterapkan di Indonesia sebagai negara majemuk dan merdeka seperti sekarang. Sehingga demokrasi Pancasila yang sangat tepat sebagai ideologi bangsa.

Di era 2000-an kini, masyarakat tidak asing dengan kata millenial yang sering di dengar di sosial media, televisi, radio, seminar maupun media cetak. Millenial adalah generasi yang berbeda. Berbeda disini dalam banyak hal seperti generasi yang lebih efisien dengan adanya banyak pilihan informasi, multitasking terhadap teknologi dan kemajuan zaman, semakin terbuka dan berani mengemukaan pendapat, beralihnya sosok panutan, dan semakin terhubung dengan mudah ke dunia namun lebih apatis, anti sosial serta kurang peduli sesama.

Karena generasi millenial yang jumlahnya hampir 50% dari penduduk Indonesia, peduli terhadap dunia maya demi menunjukkan eksistensi. Padahal, yang tampak di dunia maya a.k.a sosial media tidak dapat dipertanggung jawabkan secara penuh keabsahannya.

Banyak sekali media sosial hanya bertujuan untuk memprovokasi keadaan tanpa ilmu dan etika berpendapat. Sehingga, kita yang hidup di zaman teknologi ini harus sadar dan tanggap terhadap informasi yang diperoleh dengan cara me-review kembali dengan data akurat lain yang dengan mudah dapat diperoleh diberbagai sumber.

Sudah selayaknya, kita yang katanya bangga dengan julukan generasi millenial atau generasi Z harus berpikir maju bukan hanya mengikuti perkembangan zaman, namun mengembangkan akal pikiran menjadi masyarakat atau individu yang berwawasan luas, terbuka, empati sesama dan bersikap dewasa pada suatu masalah. Sering kali kita temui semua orang membahas hal yang menjadi isu hangat atau topik yang sedang terjadi seperti pemilihan umum.

Adanya 2 pilihan mengharuskan kita untuk menentukan pilihan, namun sayang akibat pilihan tersebut terkadang masyarakat buta dan menutup diri tentang calon pasangan yang bukan menjadi pilihannya. Sangat disayangkan, yang katanya generasi berbeda namun berbeda dalam hal yang lebih negatif.

Sosial media sudah menjadi rahasia umum sebagai tempat adu argumen yang tidak sehat. Banyak berita hoax tersebar demi tujuan politik masing-masing pihak. Penyampaian keresahan kerap dilakukan para komikus atau influencer dengan mengedepankan emosi dan perbedaan khususnya tentang agama yang sangat sensitif dan mudah memancing kerusuhan tiap kelompok tertentu.

Perbedaan yang menjadi jurang pemisah dan pemicu adanya konflik untuk menjadi negara yang lebih baik, nyatanya semakin dipakai sebagai alat kampanye partai politik dalam menaikkan kredibilitas dan elektabilitas masing-masing paslon dibandingkan mengedepankan visi dan misi.

Lebih miris lagi dilakukan oleh pendukung yang minim informasi dan terlalu mengagungkan pilihannya, dengan menutup logika dan rasional bahwa manusia sebagai makhluk berilmu dan paling tinggi derajatnya di antara makhluk ciptaan Allah.

Mengapa perbedaan tersebut tidak menjadi ide gagasan bertukar pikiran terhadap informasi yang diperoleh guna kebaikan sebaik-baiknya keperluan dan kemajuan bangsa sesuai dengan fundamental Bangsa Indonesia 'Bhineka Tunggal Ika' dengan sistem demokrasi yang menerapkan 5 nilai Pancasila.

Dengan keberagaman yang dimiliki tentu Indonesia bukan merupakan negara muslim seutuhnya, melainkan negara mayoritas muslim yang memiliki bagian minoritas lain seperti agama dan etnis. Dengan begitu, setiap manusia sadar bahwa mereka tidak seutuhnya sama. Tidak juga dibenarkan adanya sikap playing victim oleh kelompok minoritas.

Dengan memahami hal tersebut, sikap empati terhadap perbedaan dapat diperkuat dengan menjunjung hak asasi manusia. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk berbuat kerusakan dan menimbulkan perpecahan, begitu juga dengan agama lain.

Mengedepankan keadilan dengan mengambil keputusan secara bijaksana atas kekeliruan yang terjadi, tidak main hakim sendiri, mengeluarkan kata-kata kasar, bersikap anarkis, mengadu domba dan menutup mata terhadap kebenaran. Karena memanusiakan manusia merupakan salah satu nilai menuju peratuan bangsa.*

Penulis adalah mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta