Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemko Batam Diharapkan Lebih Cerdas Lagi dalam Penganggaran Faslitas Kesehatan
Oleh : Irawan
Selasa | 29-01-2019 | 14:52 WIB
nabil_pilar_jan_(1).jpg Honda-Batam
uhammad Nabil, Senator asal Provinsi Kepulauan Riau

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Permasalahan BPJS menjadi perbincangan yang sangat viral beberapa waktu lalu, sampai-sampai disampaikan oleh Presiden di Pembukaan Kongres Rumah Sakit. Sebenarnya PB IDI sudah menyurati BPJS, organisasi profesi sudah surati BPJS, bahkan Persatuan Rumah Sakit juga sudah menyurati BPJS, tapi diacuhkan.

"Kita berharap lewat media apapun masyarakat tahu kalau mereka ini dirugikan, dengan diberikan pelayanan jaminan yang di bawah standar," kata Muhammad Nabil, Senator asal Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (29/1/2019).

Nabil mengatakan, ada beberapa permasalan peraturan baru terkait BPJS yang merugikan masyarakat. Salah satunya adalah penanganan katarak yang berubah dari Extracapsular Cataract Extraction (ECCE) ke fakoemulsifikasi. ECCE merupakan tindakan yang dilakukan ketika penglihatan seseorang sudah sangat buruk, yakni 6/60.

Artinya, jarak pandang yang harusnya terlihat jelas dari jarak 60 meter kini hanya bisa terlihat dari jarak 6 meter. Di sisi lain, fakoemulsifikasi dilakukan ketika kondisi penglihatan sudah 6/18, di mana jarak penglihatan normal 18 meter baru terlihat jelas di jarak 6 meter.

Dalam aturan terbaru BPJS, tindakan fakoemulsifikasi kini sudah tak lagi dijamin JKN. Kalau 6/18 saja mata sudah kabur, sudah tentu mengganggu produktivitas seseorang. Tapi sekarang tunggu 6/60 dulu matanya, hampir buta, baru bisa operasi katarak yang dijamin BPJS.

"Perubahan peraturan ini tak hanya merugikan masyarakat tapi juga dokter dan rumah sakit. Jadi BPJS merubah aturan penjaminan, tapi tidak disosialisasikan ke masyarakat," kata Anggota Komite III DPD RI ini.

Menuurtnya, dibalik kelemahan dan segala carut marut yang terjadi di BPJS Kesehatan, ada hal-hal positif juga yang telah dan coba dilakukan oleh BPJS dalam pemenuhan pelayanan Kesehatan bagi masyarakat, yaitu sistem rujukan dalam jaringan (daring) atau online mulai diterapkan di fasilitas kesehatan Kota Batam yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

"Inovasi layanan dari BPJS Kesehatan ini diakui telah memangkas waktu antrean di bagian pendaftaran rumah sakit dan memberi kemudahan baik untuk pasien maupun petugas di fasilitas kesehatan," katanya.

Selain persoalan BPJS, ketersediaan puskesmas di Kepri juga masih menjadi permasalahan. Data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Batam, sebenarnya rasio ideal itu satu puskesmas maksimal menangani 30 ribu warga.

Namun untuk di Batam bahkan ada satu puskesmas seperti di Sagulung maupun Batuaji harus menampung atau menangani sebanyak 170 ribu warga. Jumlah itu sudah diluar rasio. Untuk di Batam, jumlah puskesmas yang ada hanya 19 untuk menangani lebih dari satu juga lebih warga Batam.

"Jumlah itu sangat jauh dari mencukupi yang seharusnya minimal ada 40 puskesmas di Batam. Tahun 2018 ini, ada dua puskesmas yang sedianya akan dibangun, namun dibatalkan karena defisit anggaran Kota Batam," katanya.

Sebaiknya Pemko Batam harus sangat serius, agar jangan anggaran yang sudah dianggarkan yang langsung menyentuh pelayanan publik yang bisa dirasakan langsung masyarakat seperti keberadaan puskesmas atau pembangunan puskesmas itu diganggu.

"Pemko Batam juga agar lebih cerdas dalam memangkas anggaran. Harus dilihat dahulu anggaran tersebut digunakan untuk hal yang lebih menyentuh dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.," katanya.

Sementara terkait pemberian vaksin MR ke masyarakat masih terdapat kendala karena stigma halal-haram beberapa waktu lalu. Banyak masyarakat yang menolak anaknya diberi vaksin karena stigma tersebut.

"Tak hanya di Batam, di kabupaten/kota lainnya di Kepri pun banyak masyarakat yang enggan membawa anaknya ke klinik atau puskesmas untuk di vaksin MR. Sehingga pemberian vaksi MR yang diprogramkan pemerintah pusat di Kepri juga belum bisa mencapai target," katanya.

Editor: Surya