Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tahun Politik, Tahun Saling Menghargai Bukan Caci Maki
Oleh : Redaksi
Rabu | 23-01-2019 | 18:29 WIB
tahun-politik.png Honda-Batam
Ilustrasi tahun politik. (Foto: Ist)

Oleh Dodik Prasetyo

DEMOKRASI merupakan roh dari terwujudnya NKRI, merusak demokrasi sama saja ia tidak setia pada tanah kelahirannya sendiri. Awal Januari 2019 ironi akan pemilu kembali menyeruak di permukaan, dimana ada 2 makam yang sudah dimakamkan puluhan tahun yang lalu, dipindahkan hanya karena perbedaan pandangan politik.

 

Hal ironi tersebut terjadi di Gorontalo, dua kuburan tersebut harus dipindahkan hanya karena keluarga jenazah berbeda pilihan Caleg dengan pemilik tanah yang masih mempunyai hubungan keluarga. Kasus ini tentu menambah daftar kehebohan pesta demokrasi di Indonesia.

Dari peristiwa tersebutm tentu jelas terlihat bahwa politik masih dipahami sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga segala upaya dihalalkan untuk memenangkan kontes politik.

Penghalalan segala cara juga tidak hanya terjadi dalam perebutan kursi legislatif seperti kisah pemindahan jenazah, namun terjadi juga dalam pilpres, dimana hoax bertebaran, fake news disebarkan dan politisasi agama digencarkan.

Semestinya politik tidak mempengaruhi hubungan antar sesama manusia. Apalagi jika hal tersebut sampai berdampak pada orang yang sudah meninggal, yang mana tidak memiliki hak politis.

Perbedaan politik memang mengancam terputusnya suatu hubungan, ada sebuah fenomena unik yang terjadi dalam kontes pemilihan legislatif, dimana Bacaleg asal Sumatera Barat Febri Wahyuni mengaku bahwa dirinya putus dari kekasihnya karena berbeda pilihan partai politik.

Febri juga menuturkan bahwa alasan dirinya berpisah dari kekasihnya adalah, karena Indonesia harus lebih dulu diperjuangkan.
Kita mungkin sudah sangat paham dengan peribahasa ‘bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’. Tetapi akan menjadi sesuatu yang sangat ironis jika hanya karena perbedaan pilihan politik, keutuhan dan kesatuan anak bangsa menjadi terkoyak, hingga pada akhirnya hal ini akan rawan ditunggangi oleh orang – orang yang berkepentingan.

Seribu kawan kurang, 1 musuh terlalu banyak, namun kalimat tersebut seakan tak diindahkan menjelang kontestasi politik 2019, mungkin pada saat ini masih banyak orang yang rela menggadaikan pertemanannya demi mendapatkan kekuasaan politis. Inilah jahatnya politik terutama bagi para pendamba kekuasaan yang menafsirkan demokrasi secara sempit.

Pertentangan dalam dunia politik memang cenderung mengarah pada kondisi yang tidak sehat, hal ini dikarenakan masing – masing pihak merasa bahwa pihaknya atau partainya yang paling benar dan berupaya menafikan yang lain. Belum tampak adanya sikap kearifan dalam menyikapi perbedaan.

Kebenaran itu laksana emas yang tetap disebut emas walaupun ia berkubang di dasar lumpur yang kotor, atau bahkan saat berada di tengah genangan air najis.

Oleh karena itu nasihat dari Ali Bin Abi Thalib tentu bisa kita jadikan teladan, bahwasanya kita diminta untuk melihat apa yang dikatakan, dan tidak melihat siapa yang mengatakan. Kebencian kita pada seseorang atau golongan tertentu, tidak harus membuat kita sama sekali tidak percaya dengan kemungkinan kebenaran dari ucapan – ucapan dan tindakannya.

Dalam menjalin pertemanan tentu lumrah jika muncul perbedaan. Tapi menemukan ‘kesamaan’ itulah yang lebih utama. Biarpun berbeda namun tetap menjaga yang sama, inilah esensi dari menjaga hubungan pertemanan di era politik.

Kita tentu memiliki hak untuk berjalan di jalannya masing – masing. Tetapi yang harus kita ingat bahwa jalan yang benar bukan hanya jalan milik kita. Mungkin hanya soal selera, minat, bakat dan hobi yang membuat jalan yang dilalui terasa lebih baik dan lebih indah dari jalan orang lain.

Dalam berpolitik tentu dibutuhkan kearifan demi terwujudnya pemilu yang damai dan terbebas dari segala bentuk cacian maupun ujaran destruktif baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Langkah konkrit yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan pemilu yang damai adalah dengan banyak belajar dan membaca teori – teori dan strategi politik baik yang diajarkan para filsuf maupun yang pernah dipraktikkan oleh tokoh – tokoh yang sukses dalam dunia politik.

Dengan banyak mempelajari teori tersebut tentu kita akan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kelebihan dan kekurangan yang ada pada setiap teori dan strategi politik. Yang terpenting adalah kita akan tahu bahwa setiap teori dan strategi itu tidak berada di ruang hampa yang statis. Artinya segala macam perbedaan mengenai teori politik akan kita maklumi sebagai bentuk ideologi yang sebenarnya tak perlu ditentang dengan sikap merasa paling benar.

Selain itu menjalin dan memperluas pergaulan dan mengikis keengganan menjalin hubungan pertemanan bahkan dengan orang yang berbeda pandangan politik sekalipun. Dengan cara inilah kita bisa lebih memahami mengapa ada atau mungkin banyak orang yang berbeda arus politiknya dengan diri kita.

Dengan cara ini bukan tidak mungkin lawan politikpun akan menghargai pandangan politik kita, bahkan bukan tidak mungkin bahwa kelak mereka akan sejalan dengan kita, sehingga perbedaan bukan dimaknai sebagai garis pembatas, namun perbedaan juga bisa menjadi alasan untuk berkolaborasi menuju tujuan yang sama, ibarat mendirikan sebuah rumah tentu dibutuhkan material seperti semen, bata, pasir, air dan berbagai elemen yang lainnya.

Di sisi lain sekolah maupun institusi pendidikan juga harus mengambil peran dalam merespons kondisi masyarakat saat ini. Selain memberikan pendidikan skill dan pelajaran, penting kiranya bagi sekolah untuk memberikan wawasan nasionalisme kepada siswa / mahasiswa. Mereka para pemilih muda juga harus diberikan pemahaman akan keragaman yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.
Kontestasi politik merupakan sebuah semangat berdemokrasi yang harus dijunjung dengan sikap yang adil, sudah saatnya kita menahan jempol untuk tidak membagikan informasi yang cenderung destruktif dengan menyudutkan salah satu kandidat.*

Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)