Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jenazah Pianis Jazz Legendaris Bubi Chen Telah Dikremasi
Oleh : Redaksi/RollingStone
Kamis | 23-02-2012 | 13:57 WIB

SURABAYA, batamtoday - Jenazah pianis jazz Bubi Chen telah dikremasi pada Rabu (22/2/2012) kemarin di Surabaya. Kerabat, sejawat, dan beberapa muridnya datang untuk melakukan penghormatan terakhir di pemakaman umum Kembang Kuning, Surabaya. 

Sebetulnya jenazah Bubi Chen telah tiba di Surabaya sejak Sabtu (18/2/2012) sore, namun keluarga memberikan waktu yang lebih panjang untuk disemayamkan di Rumah Duka Adi Jasa. 

"Sambil menunggu adik saya yang tinggal di luar negeri untuk pulang," kata Howie, anak tertua Bubi Chen. Howie adalah orang pertama yang mengabarkan kematian musisi besar ini lewat Twitter. Sejak saat itu barisan retweet dan ungkapan bela sungkawa memenuhi jagat linimasa. 

Saat persemayaman, Howie menyiapkan satu set alat band untuk jam session siapa saja yang melayat. "Kadang musisi kan memberikan penghormatan terakhirnya dengan musik, jadi saya siapkan saja alatnya di sini,” kata Howie. Kebanyakan peserta jam session memang berasal dari murid-murid privat Bubi Chen di Surabaya. Sebagian lagi murid-muridnya yang berasal dari sekolah musik Virtuoso milik Bubi Chen di Semarang. 

Yohanes Gondo, murid dan sahabat Bubi Chen, juga turut menyumbangkan lagu dalam jam session. Lagu-lagu jazz klasik seperti ”Body & Soul,” ”Moon Light In Vermont,” ”Autumn Leaves,” ”Fly Me To The Moon” dan ”Moon Glow” menjadi komposisi yang pas untuk mengenang masa-masa hidup Bubi Chen.Selama proses kremasi, Gondo juga terlihat begitu kehilangan, air matanya jatuh. 

Murid Bubi lainnya yang terlihat pada acara kremasi adalah Bagus Adimas Prasetyo (24) yang berguru pada sang virtuoso selama sembilan tahun. "Om Bubi adalah guru dan inspirasi saya. Saya masih ingat dia sering bilang 'kamu harus bermain musik bukan mainan musik'" kata Bagus.  

Cara mengajar Bubi memang sedikit banyak meninggalkan kesan bagi murid-muridnya. "Orangnya memang keras, disiplin sekali," kata Bagus menambahkan. Kesan keras itu pula yang tertanam dalam benak Dewa Budjana. "Saya dulu dengarnya Om Bubi itu keras, makanya saya malas mau dekat-dekat, apalagi dulu saya punya idealisme sendiri dengan bermain fusion" kata Budjana setengah bercanda.  

"Tapi saat menggarap album Samsara (2003) dan mengajak Om Bubi main ternyata orangnya asyik dan ramah. Proses recordingnya juga cepat," Bujana menambahkan. Bubi Chen bermain dengan lincah pada komposisi berjudul "Souvereign Hill" pada album tersebut. 

Karya klasik Djanger Bali yang digarap Tony Scott and Indonesian All Stars merupakan jembatan yang mengenalkan Budjana pada kualitas bermusik Bubi Chen. "Saya dulu sering mendengar album ini diputar di rumah Om Jack (Lesmana). Itu pertama kali saya tahu Om Bubi," kata Budjana.  

Satu hal yang membuat Budjana kagum adalah konsistensi bermusik Bubi Chen yang tak kenal usia. "Sampai tua dia masih berkarya, kalau diajak jamming juga tidak pernah nolak."  

Meski merupakan musisi yang produktif, tapi Bubi Chen bukanlah orang yang paham arti penting dokumentasi. Setidaknya itulah satu kesan yang ditangkap Agung Perkasa Nugraha, mahasiswa ITS yang pernah menyusun sebuah biografi singkat tentang Bubi Chen. "Karyanya terserak, tapi sebagian besar di Jerman," kata Agung.  

"Dari ratusan album, semua favorit saya. Karena saya mengerjakannya dengan sungguh-sungguh," kata Bubi Chen suatu saat pada Agung. "Bagi beliau musik jazz itu hanya dua; didengarkan dan dimainkan, bukan buat didefinisikan," kata Agung.