Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Diatur di UU Pemerintahan Daerah, Desa Tak Bisa Lagi Dinomorduakan
Oleh : Irawan
Kamis | 29-11-2018 | 18:16 WIB
muqowam_dpd.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Workshop Pemerintah Desa se-Indonesia di Gedung ICE BSD, Tangerang

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPD RI yang juga Dewan Pembina Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) Akhmad Muqowam mengatakan, lahirnya Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa bermakna strategis dan eksistensialis dalam memberikan pengakuan dan kejelasan atas status desa, memberikan kewenangan berskala skala desa, serta membuka ruang demokratisasi dari tingkat basis kemasyarakatan, yaitu desa.

"Dulu desa diatur oleh UU Pemda, sehingga desa adalah bagian dari hal tentang Pemerintahan Daerah. Dulu posisinya desa, secara mudah dinomor duakan, bukan prioritas," terang Muqowam yang juga sebagai Ketua Pansus lahirnya UU Desa, dalam sambutannya di acara Workshop Pemerintah Desa se-Indonesia di Gedung ICE BSD, Tangerang (29/11/2018).

Dalam acara yang dihadiri oleh Ketua DPD RI Oesman Sapta, Ketua Komite I Benny Rhamdani, Anggota DPR Akbar Faisal dan ratusan peserta workshop APDESI, Muqowam menjelaskan bahwa ruh, idealita dan norma yang ada dalam UU Desa tersebut sangatlah memberikan pengakuan yaitu Pengakuan Negara atas desa.

Namun demikian, setelah UU Desa dilaksanakan, mengalami berbagai kontradiksi dan paradoks. Paling tidak terdapat 3 paradoks, Pertama yaitu Kontradiksi Kelembagaan, tidak hanya antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, urusan desa menjadi kewenangan banyak kementerian.

Muqowam khawatir, UU Desa yang mengatur desa sebagai sentral pembangunan akan terdistorsi dengan masuknya pembangunan sektoral yang tidak terkoordinasi dan akan kembali ke masa Orde Baru.

Kedua, yaitu kontradiksi regulasi, dari berbagai kementerian yang tidak menyatu. "Ketika berbagai lembaga tersebut, khususnya Kemendagri dan Kemendes tersebut membuat peraturan menteri sendiri-sendiri, akan membuat bingung Kepala Desa. Disini pintu masuk utama untuk publik mendistorsi desa," jelasnya.

Ketiga yaitu masalah pembinaan yang masih kurang dilakukan oleh Pemerintah, yaitu Kementerian Desa. Kehadiran Polri, Kejaksaan dan Satgas Dana Desa terlibat dalam pengawasan hampir pasti menambah kerumitan dan ketakutan, serta berimplikasi minimalisasi substansi dan fungsi pembinaan.
"Jadi ada satgas desa, melaksanakan fungsi pengawasan terus tapi kurang pembinaannya," ungkap Muqowam.

Hal tersebut juga diamini oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Sokhiatulo Laoli. Ia mengatakan selama ini dana desa sangat bermanfaat dan dipergunakan sesuai perundang-undangan. Akan tetapi, sumber daya manusia masih menjadi persoalan.

"SDM banyak yanga tidak memahami, bagaimana bisa kita diawasi tapi pembinaannya tidak jelas," ujar Sokhiatulo.

Sementara itu, di kesempatan yang sama Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) Lukman Said mengatakan bahwa harus ada kejelasan mengenai lembaga yang benar-benar mengurusi desa, apakah Kemendagri atau Kemendes. Lukman menambahkan pentingnya pembinaan kepala desa.

"Seharusnya yang diperkuat sekarang ini adalah pembinaan kepada kepala desa oleh kemendes jangan merekrut pendamping-pendamping dari luar, kasih kewenangan orang di daerah untuk mengawasi itu," ungkap Lukman Said.

Editor: Surya