Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menumbuhkan Spirit Intelektualisme Perguruan Tinggi
Oleh : Redaksi
Kamis | 16-02-2012 | 14:20 WIB

Oleh: R. Dachroni*

SEJAK diterbitkannya Surat edaran Dirjen Dikti bernomor 152/E/T/2012 terkait publikasi karya ilmiah calon sarjana S1, S2 dan S3, suka atau tidak calon mahasiswa sarjana atau program pasca sarjana wajib mempublikasikan karya ilmiah di sebuah jurnal ilmiah yang biasanya terdapat di setiap PTS atau PTN. Hal ini menimbulkan polemik pendapat, ada yang setuju dan tidak. Namun, mengapa sebegitu risau PT merespon masalah ini. Padahal, tradisi menulis khusunya menulis karya ilmiah sudah menjadi hal yang biasa dalam dunia perguruan tinggi. Mengapa harus ada penolakan?

Niat baik dari Dirjen Dikti sebenarnya harus direspon positif khususnya Perguruan Tinggi (PT) karena memang ini untuk menumbuhkan semangat intelektualisme di PT yang tentunya ditunjukkan dengan bukti-bukti dan aktivitas menulis karya tulis di jurnal. Hal ini seperti yang diungkapkan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud), Djoko Santoso yang dilansir situs berita Kompas, http://edukasi.kompas.com/ menjelaskan mengapa seluruh mahasiswa (S-1, S-2, S-3) diwajibkan membuat dan memublikasikan tulisan karya ilmiahnya sebagai salah satu penentu kelulusan yakni Pertama,  sebagai ahli, seorang sarjana harus memiliki kemampuan menulis secara ilmiah. Termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik. Setiap mahasiswa, lanjut Djoko, dapat menulis karya ilmiah baik dari rangkuman tugas, penelitian kecil, mau pun ringkasan dari skripsi yang dibuatnya.

Sarjana harus punya kemampuan menulis secara ilmiah. Apa saja yang ia pelajari selama kuliah, termasuk bisa juga ringkasan skripsi Alasan kedua,  agar tidak kesulitan untuk naik ke jenjang berikutnya. Seorang sarjana sudah seharusna telah mahir menulis ilmiah, ke depannya diharapkan tidak akan kesulitan ketika membuat karya ilmiah di jenjang selanjutnya. Djoko berharap, aturan ini dapat menciptakan kuantitas dan kualitas karya ilmiah yang dihasilkan oleh Indonesia.

Alasan ketiga, aturan ini sengaja dibuat untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam hal membuat karya ilmiah. Berdasarkan data Kemdikbud, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan perguruan tinggi Indonesia saat ini masih rendah, hanya sepertujuh jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia.

Sementara itu, Berdasarkan data dari LIPI jumlah jurnal yang terdaftar sekitar 7.000 buah. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih aktif, dan yang terakreditasi LIPI sekitar 400 jurnal ilmiah. Artinya tidak sampai 15 persen. Jelaslah bahwa tujuan dari keluarnya surat edaran ini adalah upaya untuk menumbuhkan spirit intelektualisme PT kita yang relatif sudah memulai memudar. 

Menurut sahabat penulis, Jusman Dalle, seorang analis ekonom dari salah satu perguruan tinggi di Makasar yang mengutip dari dari Edison Munaf (2011) pada 2010 total publikasi internasional Indonesia 1.925 artikel. Terpaut jauh dibanding Singapura (13.419 artikel), Thailand (13.109 artikel), Malaysia (8.822 artikel), bahkan Pakistan (6.843).

Publikasi ilmiah yang dihasilkan para peneliti kita juga sangat rendah. Hanya mencapai 7,9 artikel per 1 juta penduduk. Dibadingkan dengan Singapura menghasilkan 2.581 artikel, diikuti oleh Malaysia (300),Thailand (201), Pakistan (39),Vietnam (20,9),Bangladesh (10,7),serta Filipina (9,2). Padahal jumlah mahasiswa baik pada tingkat S1, S2 maupun S3 kian tahun kian signifikan. 4,8 juta menurut Mendikbud Muhammad Nuh. 

Mazhab Gelar Instant 

Masih menurut pendapat kawan penulis, Jusman Dalle, diakui atau tidak, gelar akademik yang sangat suci dan sakral kini menjadi komoditas. Baik oleh pegawai yang ingin naik jabatan kemudian secepat kilat mengejar gelar, maupun oleh politisi. Peraturan di instansi (pemerintah maupun swasta) seringkali mensyaratkan gelar untuk posisi tertentu. Hal ini membuka celah pelacuran intelektual, membeli gelar.

Pun kini banyak politisi yang tiba-tiba memiliki jejeran gelar yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Biasanya mereka “membeli” gelar untuk kepentingan politik. Misalnya jelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Sekadar untuk gagah-gagahan agar terkesan intelek dan layak jual dalam pasar politik yang kian kompetitif dan kompleks.  Gelar dieksploitasi dan dihinakan. Padahal sejatinya, gelar itu sakral dan tinggi. Harus ada karya sebagai pembuktian layaknya tidaknya seseorang peroleh gelar.

Gelar instan tersebut tentu tetap melalui prosedur. Tapi  prosedur yang telah dilicinkan dengan fulus. Jika begini, akhirnya lembaga pendidikan menjadi sarang mafia gelar. Menjadi industri yang akhirnya melahirkan sarjana, magister atau doktor yang tidak memiliki integritas intelektual. Gelar tanpa ruh yang hambar.

Berbeda misalnya ketika diwajibkan menerbitkan karya tulis ilmiah, maka konsekuensi atas pertanggungajwaban integritas gelar sebagai output menempuh pendidikan tidak hanya dipikul oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Akan tetapi juga menjadi tanggungjawab banyak pihak. Baik Dikti atau LIPI sebagai lembaga yang mengakreditasi suatu jurnal, lembaga pengelola jurnal yang menerbitkan karya sang penulis dan juga perguruan tinggi tempat yang bersangkutan memperoleh gelar. Maka pada akhirnya, kebijakan tersebut berdampak positif bagi kita semua.

Selain dagang gelar, persoalan lain yang kita saksikan selama ini adalah kurangnya kontribusi para penyandang gelar Sarjana, Magister ataupun Doktor kepada dunia akademik dan masyarakat secara umum. Gelar seperti cukup ditaruh sebagai pengungkit prestise, hingga menjadi penanda akhir dari karya akademik seseorang. Sejatinya, gelar tersebut justru menjadi titik tolak untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Menghasilkan formula-formula baru yang bermanfaat bagi kepentingan bersama.

Namun kita harus tetap objektif, jika tidak semua universitas memiliki infrastruktur yang mendukung untuk memberlakukan edaran Dikti tersebut. Tidak semua universitas memiliki jurnal ilmiah cetak. Maka salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah pemberlakuan secara bertahap dan fleksibel. Misalnya membolehkan diterbitkan secara online, atau diterbitkan di media lain seperti majalah, namun tetap relevan dengan karya tersebut. Aturan fleksibel mengenai bentuk jurnal ini, sekaligus menjawab keresahan akan terbatasnya jurnal cetak yang ada. Dengan demikian, sudah saatnya kita menyambut hal ini sebagai hal yang positif dalam rangka menumbuhkembangkan spirit intelektualisme civitas akademika sebuah perguruan tinggi.

*Penulis adalah Pengajar  STISIPOL Raja Haji dan Sekretaris Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Hinterland (LPEMH) Kepulauan Riau.