Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Memperjuangkan Tegaknya Toleransi dengan Cara Intoleran

Meiliana dan 55 Kultwit Investigasi Rusuh Tanjung Balai
Oleh : Redaksi
Selasa | 28-08-2018 | 17:52 WIB
twitter2.jpg Honda-Batam
Ilustrasi Twitter. (Foto: Ist)

Oleh DR Iswandi Syahputra, Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Seperti mendadak--kasus Meiliana yangnjadi viral. Telisik singkat menunj divonis 1,5 tahun oleh PN Medan karena diputuskan melakukan penistaan terhadap agama (Islam)--tiba-tiba meukkan viralitas tersebut berasal dari satu cluster netizen.

Saya kemudian diminta banyak pihak untuk menyampaikan pandangan soal itu karena, seminggu setelah kerusuhan pembakaran delapan vihara di Tanjung Balai karena tersulut oleh sikap Meiliana, saya langsung terjun ke lokasi untuk riset lapangan. Hasilnya berupa artikel, Insya Allah minggu depan publish di jurnal terakreditasi nasional.

Mengingat cepat dan liarnya laju isu Meiliana ini, kemarin (25/8) saya membuat kuliah twitter (kultwit) untuk menyampaikan apa yang saya lakukan dan temukan dalam riset lapangan tersebut. Semoga berkenan membacanya:

1) Bismillahirrohmanirrohim: Banyak pihak yang japri dan mention saya di media sosial. Mereka bertanya soal bagaimana sebenarnya kasus Meiliana dalam kerusuhan di Tanjung Balai? Mereka ingin tau hasil riset yang saya lakukan terkait kerusuhan tersebut #TanjungBalai #Meiliana

2) Saya memang melakukan riset lapangan terkait kerusuhan yang terjadi tanggal 29 Juli 2016 tersebut. Seminggu setelah kerusuhan, saya tiba di Tanjung Balai, Sumatera Utara untuk melakukan riset lapangan. #TanjungBalai #Meiliana

3). Sebagai peneliti media dengan minat Media Sosial dan Gerakan Sosial, saya tertarik meneliti kerusuhan tersebut karena Kapolri @DivHumas_Polri Bpk. Tito langsung turun ke lapangan dan menyatakan kerusuhan dipicu oleh media sosial. Lihat https://t.co/fsBLY3L4dI

#TanjungBalai

4). Sebelum terjun ke lapangan untuk meneliti, saya lakukan tahap pra-riset dengan mencari calon narasumber yang kompeten dan mendisain rumusan awal masalah yang akan diteliti sbb: Bagaimana penggunaan medsos dapat memicu kerusuhan rasial di Tanjung Balai? lihat: #Meiliana

5). Untuk menyegarkan ingatan, sedikit dan ringkas saya review kerusuhan di Tanjung Balai tersebut:

a. Meiliana keberatan dengan suara azan di mesjid depan rumahnya.
b.Takmir mesjid meminta klarifikasi.
c. Aparat memediasi.
d. Warga berkerumun
e. Mediasi buntu.
f. Warga marah.
g. Rusuh.

6). Saya termasuk yang tidak mudah percaya hanya karena #Meiliana keberatan dengan suara azan kemudian ratusan atau ribuan warga berkerumun marah dan meluapkan kemarahannya dengan membakar 8 vihara di #TanjungBalai Apa yang sebenarnya sedang terjadi hingga warga mudah tersulut?

7). Seminggu setelah kerusuhan di #TanjungBalai saya tiba di lokasi dan mencari akses untuk dapat mewawancarai #Meiliana Tapi gagal karena menurut informan saya di kepolisian, selain masih shock, Meiliana sementara diamankan di tempat yang dirahasiakan.

8). Di lapangan, data penelitian saya peroleh dengan wawancara mendalam terhadap sejumlah narasumber yang memiliki kompetensi. Di antarnya adalah Kapolres #TanjungBalai saat itu Bpk. AKBP Ayep Wahyu G https://t.co/uFTVEpobvo

9). Selain Kapolres #TanjungBalai saya juga melakukan wawancara dengan Ketua MUI Tanjung Balai, aktivis, pemuda, seniman, dosen, politisi dan penggiat media sosial di Tanjung Balai. Secara umum informasi yang saya peroleh dari informan tersebut sangat mengagetkan. ADA KONFLIK LATEN.

10). Karena wawancara terpisah, satu informasi dari informan akan saya konfrontir dengan informan lain. Itu dimaksudkan untuk mendapatkan data lapangan yang otentik. Data otentik kembali saya cek silang dengan sejumlah literatur terkait. Misalnya, seorang informan menyebut #TanjungBalai

11). TanjungBalai sebagai kota religius. Saya cek data BPS 2015 terdapat 54 mesjid, 98 musholla, 26 gereja & 9 vihara di Tanjung Balai. Berbagai literatur yang saya rujuk juga menjelaskan posisi #TanjungBalai sebagai kota Kesultanan Melayu, Asahan yang sejak lama dikelola dengan nuansa religi.

12). Dari semua proses tersebut saya menemukan benang merah sebagai petunjuk awal untuk dianalisis, kerusuhan terkait dengan:

a. Politik Pilkada karena keberpihakan kekuasaan pada kelompok etnik tertentu.
b. Kontroversi penggunaan lahan kompleks vihara hasil reklamasi sungai.

13). c. Keberadaan patung Buddha di atas vihara, secara imajiner segaris dengan arah kiblat. Ada perasaan warga muslim saat sholat seperti menyembah patung.

d. Sikap arogansi #Meiliana saat dikonfirmasi soal keberatanya terhadap suara azan.
e. Ada dukungan moril karena sebelumnya Wapres @Pak_JK

14). .... pernah keberatan dengan suara dari speaker mesjid

https://t.co/91W2fCgFbT

e. Sebagai etnis Tionghoa, #Meiliana dinilai warga bersikap arogan karena adanya pengaruh Ahok @basuki_btp yang saat itu sudah mulai menjadi kontroversi.

15). Dari informasi sebagai petunjuk awal tersebut, sejak awal saya menduga 'ada sesuatu' dibalik kasus #Meiliana yang menimbulkan kerusuhan di #TanjungBalai Sementara aktivitas di media sosial hanya medium untuk mencurahkan 'sesuatu' tersebut.

16). Saya akan ulas sedikit beberapa hal laten yang saya sebut sebagai 'sesuatu'. Informasi saya olah dari informan saya.

Pertama, terkait lahan komplek vihara tempat patung Buddha berdiri. Lahan tersebut hasil reklamasi sungai Asahan yang awalnya untuk tempat wisata. Tapi...

17). .... dijadikan kompleks ibadah. Padahal tidak jauh dari situ ada situs 'Balai' semacam rumah panggung besar sebagai titik kumpul warga saat Sultan sejumlah Kerajaan Melayu melintasi sungai pada masa lalu. Ada nilai historis, religi dan budaya di titik tsb.

18). Warga #TanjungBalai menilai pembangunan kompleks vihara tersebut bermasalah tapi dapat berjalan karena mendapat dukungan dari incumbent yang akan maju dan terpilih kembali sebagai Walikota.

19). Namun demikian, awalnya warga #TanjungBalai juga tidak perduli dengan pembangunana vihara tersebut hingga berdiri patung Buddha yang secara imajiner segaris dengan arah kiblat. Posisi patung ini meresahkan karena dianggap mengganggu ibadah warga muslim.

20). Menurut riset Irwansyah (2013) yang saya rujuk, sedikitnya ada 12 kali masyarakat berkirim surat pada Pemda yang meminta agar patung Buddha tersebut diubah posisinya (bukan diturunkan apalagi dirobohkan). Pada sisi lain baik Pemda atau pemuka agama Buddha mungkin...

21). .... kurang dapat menjelaskan atau tidak dapat menjelaskan mengapa patung Buddha tersebut berada pada posisi tersebut. Sikap ini menjadi masalah laten bagi warga yang seharusnya tidak terjadi jika dari awal antar umat beragama diajak kordinasi oleh pemerintah setempat.

22). Demikian seterusnya kekecewaan warga tersimpan jauh di dalam dasar perasaan terdalam, semua diam. Hingga beberapa tahun kemudian muncul kasus #Meiliana yang keberatan dengan suara #azan dari mesjid yang berada di depan rumahnya @lukmansaifuddin

23). Semua informan saya dalam riset ini menjelaskan hal yang sama tentang sikap arogan #Meiliana saat Takmir Mesjid mendatangi baik-baik rumahnya untuk meminta penjelasan mengapa dirinya keberatan dengan suara azan. Langkah itu dilakukan karema Takmir Mesjid memahami dengan... https://t.co/vmHj5u8ErM

24). .... dengan baik suasana kebatinan umat muslim di #TanjungBalai sebagai umat mayoritas yang dalam kasus pembangunan vihara dan patung Buddha memilih banyak diam saat berhadapan dengan #Meiliana yang dinilai dari kelompok minoritas tapi arogan.

25). Bagaimana bentuk sikap arogan #Meiliana tersebut? Dari sejumlah informan yang saya wawancarai menjelaskan mulai bahasa tubuh hingga lisan yang tidak mungkin saya sampaikan disini. Suami Meiliana termasuk yang ikut meredakan sikap arogan isterinya.

26). Saat itu saya sempat terlintas fikiran, apakah #Meiliana lagi stress, depresi atau mengalami gangguan jiwa/psikis lainnya hingga berani sekali melakukan hal itu di depan kerumunan massa? Hingga saat ini saya tidak dapat mengkonfirmasi dugaan tersebut karena....

27). ..... saya tidak diberi akses oleh aparat untuk mewawancarainya. Padahal saat itu saya sudah meyakinkan aparat bahwa saya peneliti. Hasil penelitian kasus ini akan sangat membantu @Kemenag_RI @lukmansaifuddin dalam mendisain hubungan antar umat beragama yang harmonis/toleran.

28). Karena itu saya perlu perspektif dari #Meiliana Sebab pada posisi berbeda, saya pribadi juga merasa terganggu dengan suara keras apa saja di ruang publik di luar aturan. Seperti suara:

1. Orkes tunggal
2. Knalpot bising
3. Mercon
4. Sirine pengawal
5. Mercon
6. Pentas musik
dll

29). Mengapa #Meiliana keberatan dengan suara #Azan dari pengeras suara mesjid? Bagaimana aturan pengeras suara saat azan di sejumlah negara? Inilah yang saya sebut sebagai antropologi azan, cultural sound, acoustic artefact, atau soundscape.

30). Bagaimana menjelaskan antropologi azan tersebut? Simak kulwit saya selanjutnya siang jelang sore nanti. Saya harus berhenti dulu mau pergi kondangan mantenan anak almarhum maha guru saya Prof. Kuntowijoyo di Prambanan, Yogya. @muhammadiyah

31). Saya lanjutkan kultwit tenyang Azan dan #Meiliana dalam kerusuhan #TanjungBalai Saat itu, beberapa temuan awal tersebut tidak sabar ingin saya ungkap agar publik memahami apa yang sebenarnya terjadi. Saya tulis artikel tentang kerusuhan itu dan dimuat oleh @MNCkoranSINDO https://t.co/3vtxbO62dZ

32). Dari perspektif penggunaan media sosial, harusnya kasus kerusuhan #TanjungBalai menjadi pelajaran betapa mudahnya netizen saling menstimulasi untuk aksi dan berbuat anarki karena simptum religius dan rasa kehormatan mereka sebagai warga asli terusik.

33). Dari perspektif ini, semua pihak terutama pemerintah harus tunduk pada hukum umum toleransi: "Mayoritas melindungi minoritas. Minoritas menghormati mayoritas." Jangan bermain politik pada isu toleransi. Dalam kasus #TanjungBalai saya melihatnya seperti itu.

34). Dengan alasan toleransi, menjelang Pilkada ijin mendirikan kompleks vihara mengabaikan aspirasi umat muslim mayoritas di #TanjungBalai Beberapa aksi masyarakat tentang legalitas lahan dan agar patung Buddha dipindah, diabaikan Pemda. Ini berlangsung cukup lama...

35). Dalam suasana kebatinan sosial demikian, muncul protes #Meiliana terhadap suara azan yang sudah berabad lamanya berkumandang di #TanjungBalai Sebagai masyarakat pesisir, warga #TanjungBalai sebenarnya sangat terbuka dan toleran terhadap semua etnis pendatang.

36). Informan saya menyebutkan, bukan soal menolak suara azan tetapi faktor cara #Meiliana melakukan protes terhadap suara azan itu yang menyakiti batin umat muslim #TanjungBalai Tanpa jawaban lisan, saya merasakan sendiri kegeraman mereka juga dipengaruhi oleh...

37). ... berbagai kondisi umat muslim Indonesia yang agak terpojok terutama di media sosial oleh narasi yang dimainkan netizen misalnya:

- Narasi tentang bulan Ramadan orang yang berpuasa hormati yang tidak berpuasa.
- Larangan takbir keliling.
- Tekanan larangan berpoltik di mesjid.
- dll

38). Narasi itu tersimpan dalam memori dan kognisi sosial masyarakat di #TanjungBalai Berkat media sosial, mereka juga tidak terlalu sulit memahami siapa aktor atau pada siapa atau pada etnis apa arah narasi tersebut dapat dipersonifikasi. Sampai sini persoalan semakin pelik.

39). Jadi mohon jangan disimplifikasi atau disederhanakan ini hanya persoalan linier: Ada azan--ada minoritas yang protes--mayoritas marah--minoritas dihukum=Tegakkan Toleransi.

Akar masalahnya bukan soal toleransi tapi praktik politik kepentingan yang menyimpang.

22). Demikian seterusnya kekecewaan warga tersimpan jauh di dalam dasar perasaan terdalam, semua diam. Hingga beberapa tahun kemudian muncul kasus #Meiliana yang keberatan dengan suara #azan dari mesjid yang berada di depan rumahnya @lukmansaifuddin

23). Semua informan saya dalam riset ini menjelaskan hal yang sama tentang sikap arogan #Meiliana saat Takmir Mesjid mendatangi baik-baik rumahnya untuk meminta penjelasan mengapa dirinya keberatan dengan suara azan. Langkah itu dilakukan karema Takmir Mesjid memahami dengan... https://t.co/vmHj5u8ErM

24). .... dengan baik suasana kebatinan umat muslim di #TanjungBalai sebagai umat mayoritas yang dalam kasus pembangunan vihara dan patung Buddha memilih banyak diam saat berhadapan dengan #Meiliana yang dinilai dari kelompok minoritas tapi arogan.

25). Bagaimana bentuk sikap arogan #Meiliana tersebut? Dari sejumlah informan yang saya wawancarai menjelaskan mulai bahasa tubuh hingga lisan yang tidak mungkin saya sampaikan disini. Suami Meiliana termasuk yang ikut meredakan sikap arogan isterinya.

26). Saat itu saya sempat terlintas fikiran, apakah #Meiliana lagi stress, depresi atau mengalami gangguan jiwa/psikis lainnya hingga berani sekali melakukan hal itu di depan kerumunan massa? Hingga saat ini saya tidak dapat mengkonfirmasi dugaan tersebut karena....

27). ..... saya tidak diberi akses oleh aparat untuk mewawancarainya. Padahal saat itu saya sudah meyakinkan aparat bahwa saya peneliti. Hasil penelitian kasus ini akan sangat membantu @Kemenag_RI @lukmansaifuddin dalam mendisain hubungan antar umat beragama yang harmonis/toleran.

28). Karena itu saya perlu perspektif dari #Meiliana Sebab pada posisi berbeda, saya pribadi juga merasa terganggu dengan suara keras apa saja di ruang publik di luar aturan. Seperti suara:

1. Orkes tunggal
2. Knalpot bising
3. Mercon
4. Sirine pengawal
5. Mercon
6. Pentas musik
dll

29). Mengapa #Meiliana keberatan dengan suara #Azan dari pengeras suara mesjid? Bagaimana aturan pengeras suara saat azan di sejumlah negara? Inilah yang saya sebut sebagai antropologi azan, cultural sound, acoustic artefact, atau soundscape.

30). Bagaimana menjelaskan antropologi azan tersebut? Simak kulwit saya selanjutnya siang jelang sore nanti. Saya harus berhenti dulu mau pergi kondangan mantenan anak almarhum maha guru saya Prof. Kuntowijoyo di Prambanan, Yogya. @muhammadiyah

31). Saya lanjutkan kultwit tenyang Azan dan #Meiliana dalam kerusuhan #TanjungBalai Saat itu, beberapa temuan awal tersebut tidak sabar ingin saya ungkap agar publik memahami apa yang sebenarnya terjadi. Saya tulis artikel tentang kerusuhan itu dan dimuat oleh @MNCkoranSINDO https://t.co/3vtxbO62dZ

32). Dari perspektif penggunaan media sosial, harusnya kasus kerusuhan #TanjungBalai menjadi pelajaran betapa mudahnya netizen saling menstimulasi untuk aksi dan berbuat anarki karena simptum religius dan rasa kehormatan mereka sebagai warga asli terusik.

33). Dari perspektif ini, semua pihak terutama pemerintah harus tunduk pada hukum umum toleransi: "Mayoritas melindungi minoritas. Minoritas menghormati mayoritas." Jangan bermain politik pada isu toleransi. Dalam kasus #TanjungBalai saya melihatnya seperti itu.

34). Dengan alasan toleransi, menjelang Pilkada ijin mendirikan kompleks vihara mengabaikan aspirasi umat muslim mayoritas di #TanjungBalai Beberapa aksi masyarakat tentang legalitas lahan dan agar patung Buddha dipindah, diabaikan Pemda. Ini berlangsung cukup lama...

35). Dalam suasana kebatinan sosial demikian, muncul protes #Meiliana terhadap suara azan yang sudah berabad lamanya berkumandang di #TanjungBalai Sebagai masyarakat pesisir, warga #TanjungBalai sebenarnya sangat terbuka dan toleran terhadap semua etnis pendatang.

36). Informan saya menyebutkan, bukan soal menolak suara azan tetapi faktor cara #Meiliana melakukan protes terhadap suara azan itu yang menyakiti batin umat muslim #TanjungBalai Tanpa jawaban lisan, saya merasakan sendiri kegeraman mereka juga dipengaruhi oleh...

37). ... berbagai kondisi umat muslim Indonesia yang agak terpojok terutama di media sosial oleh narasi yang dimainkan netizen misalnya:

- Narasi tentang bulan Ramadan orang yang berpuasa hormati yang tidak berpuasa.
- Larangan takbir keliling.
- Tekanan larangan berpoltik di mesjid.
- dll

38). Narasi itu tersimpan dalam memori dan kognisi sosial masyarakat di #TanjungBalai Berkat media sosial, mereka juga tidak terlalu sulit memahami siapa aktor atau pada siapa atau pada etnis apa arah narasi tersebut dapat dipersonifikasi. Sampai sini persoalan semakin pelik.

39). Jadi mohon jangan disimplifikasi atau disederhanakan ini hanya persoalan linier: Ada azan--ada minoritas yang protes--mayoritas marah--minoritas dihukum=Tegakkan Toleransi.

Akar masalahnya bukan soal toleransi tapi praktik politik kepentingan yang menyimpang.

Sumber: Republika
Editor: Dardani