Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Inpres Dinilai Tak Sanggup Pulihkan Gempa Lombok
Oleh : Irawan
Senin | 27-08-2018 | 08:16 WIB
fahri-inpres1.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Empat gelombang gempa besar secara beruntun telah mengguncang Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) beberapa watu lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca bencana gempa bumi di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Kota Mataram dan wilayah terdampak lainnya di Provinsi NTB.

Menyikapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dalam keterangannya, Minggu (26/8/2018), berharap regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah akan memadai, juga mesti tercermin dalam politik kebijakan.

"Juga tercermin dalam anggaran pemerintah yang memuat dengan jelas struktur kerja, penanggungjawab penanganan alokasi, besaran dan sumber pembiayaan anggaran, serta kejelasan waktu dan rencana kerja penanganan dampak gempa di Pulau Lombok dan Sumbawa," kata Fahri.

Lanjut Fahri, dalam hampir satu bulan Lombok dan Sumbawa diguncang gempa, semua mata melihat bagaimana sistem kerja penanganan gempa. Bahkan, tanpa mengurangi penghargaan dan apresiasi kepada seluruh pihak baik pemerintah, swasta dan solidaritas masyarakat dari seluruh Indonesia, namun manajemen penanganan masih belum berjalan dengan baik.

"Hal tersebut terlihat dalam tahap tanggap darurat kemaren, adanya protes warga, bantuan yang tak tersebar secara merata, adanya kelompok masyarakat yang merasa belum diperhatikan dan lain sebagainya adalah akibat dari manajemen penanganan yang kurang terkordinir dengan rapi," ucapnya.

Sebab, permasalahan krusial lain yang akan terjadi adalah di masa pemulihan, tanpa manajemen dan sistem kerja yang sistematis dan terorganisir akan sangat berbahaya bagi mental psikologi korban.

Sistem dan manajemen kerja inilah ruang nyata tugas pemerintah, tidak hanya untuk memastikan proses rekonstruksi dan rehabilitasi berjalan dengan baik, tapi juga untuk mengolah solidaritas dan empati masyarakat sebagai modal sosial terbesar yang dimiliki oleh bangsa ini.

Atas Inpres yang telah diterbitkan oleh presiden, Fahri yang juga asal NTB itu, menyebut politik kebijakan presiden tersebut harus digaris bawahi karena hal tersebut menujukkan tingkat keseriusan pemerintah pusat dalam menangani gempa Lombok Sumbawa.

Pertama, status Instruksi Presiden hanyalah dalam rangka memberikan landasan legal kepada kementerian untuk mengelola program regulernya dalam menangani gempa Lombok Sumbawa.

"Tak ada struktur komando tunggal, empat Menko akan bekerja dengan irama dan dan nada birokrasi normal, demikian dengan kementerian akan bekerja dalam garis kordinasi normal. Artinya, Inpres yang baru ditandatangani oleh Presiden Jokowi tersebut hanyalah memuat daftar dan pembagian kerja melalui birokrasi normal, bukan melalui 'birokrasi bencana' yang bisa menembus barier normatif birokratik untuk bisa mengakselerasi proses pemulihan,” katanya.

Padahal, sikap terhadap bencana Lombok, Sumbawa ini berbeda dengan politik kebijakan pemerintah dalam menangani gempa Aceh dan Jogja.

"Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), saat itu mengeluarkan Perppu Nomor 2 tahun 2005 Tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Kepres No. 9 Tahun 2006 Tentang Tim Kordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Jogja,” terangnya.

Sedangkan dasar regulasi yang dikeluarkan Presiden Jokowi dalam gempa Lombok, Sumbawa, hanya sebatas Inpres yang artinya hanya mengkonsolidasi program reguler yang ada dikementerian tanpa ada struktur khusus, sumber pembiayaan jelas, dan target kerja sebagaimana dalam Perppu Aceh dan Kepres Jogja menjadi penanda tingkat keseriusan pemerintah dalam memberi perhatian pada pemulihan Lombok Sumbawa.

Kedua, Inpres 5/2018 ditujukan kepada 31 pihak terdiri dari 25 unsur kementrian/lembaga, dan 6 unsur pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah provinsi NTB beserta 5 bupati/walilkota sepulau Lombok. Apalagi, tidak disebutnya Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat secara ekplisit dalam Inpres ini mencipta protes keras dari masyarakat korban gempa di wilayah tersebut.

"Hampir tiap jam Saya mendapat laporan protes dari masyarakat NTB karena gempa 6.9 SR tanggal 19 Agustus justru memiliki daya rusak besar di dua kabupaten tersebut. Padahal Inpres dikeluarkan 4 hari pasca 2 Kabupaten di Pulau Sumbawa tersebut liuluh lantah. Meski Saya menangkap bahwa Pemerintah tidak sedang mengesampingkan wilayah terdampak gempa lain di NTB, namun psikologi bencana membuat masyarakat sensitif dan merasa dianaktirikan," paparnya.

Ketiga, Inpres 5/2018 tidak menjangkau 3 unsur kementrian/lembaga yang hemat saya, penting untuk dilibatkan. Ke 3 unsur kementerian tersebut adalah Kementrian Desa, BAPPENAS dan Kementrian Pariwisata.

"Peran Kementerian Desa sangat penting karena lokasi gempa berada di wilayah-wilayah desa di Pulau Lombok-Sumbawa," katanya.

Fahri mengatakan, dari pemantauan yang dilakukan bersama tim, dijumpai beberapa desa berinisiatif untuk menggunakan alokasi dana di desanya untuk menangani dampak gempa. Karenya, melibatkan pemerintahan desa sangatlah penting, Desa adalah “unit terkecil” negara.

"Mereka memang korban, namun sebagai korban mereka memiliki daya tahan untuk bangkit dan terlibat aktif. Disinilah letak peran penting Kementrian Desa bersama Kementrian Dalam Negeri, untuk memberikan regulasi dan kepastian pada aparatur desa untuk bertindak pada wilayah kewenangannya," sebutnya.

Yang juga terabaikan dalam Inpres ini, tambah Fahri adalah Kementerian Pariwisata, dimana dalam berbagai keterangan, salah satu alasan ditolaknya status bencana nasional adalah karena mengingat dampaknya bagi pariwisata. Secara faktual, wisatawan pada pusat-pusat gempa telah pergi digantikan oleh relawan yang datang.

Memang hal ini, diakuinya akan memberikan tekanan bagi sektor pariwsata NTB karena sektor pariwisata ini menggerakkan sektor ekonomi lainnya. Namun disisi pemerintah daerah, utamanya pemerintah kabupaten, akan ada tekanan pada pendapatan asli daerah, karena pajak hotel, pajak restoran dan sumber-sumber PAD lainnya tertekan.

"Disisi masyarakat, mereka kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah tinggal. Ada ancaman kemiskinan dan pengangguran yang bertambah. Maka dalam rencana kerja pemulihan, Kementerian Pariwisata harus terlibat aktif mengambil bagian secara serius dengan time table dan alokasi anggaran yang jelas," saranya.

Bahkan, Fahri merasa aneh karena Kementerian Bappenas tidak dilibatkan. Jika kita menganggap pemulihan Lombok-Sumbawa ini akan panjang, maka peran Bappenas sangat penting dalam mengintegrasikan langkah-langkah penanganan dalam perencanaan panjang yang lebih solid.

"Penanganan gempa Lombok-Sumbawa mesti menjadi nomenklatur khusus dalam perencanaan nasional. Mesti dan harus," tegas Fahri Hamzah.

Editor: Surya