Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pimpinan KPK Harus Tinggalkan Budaya Tarik Ulur
Oleh : Redaksi
Senin | 30-01-2012 | 15:04 WIB

JAKARTA, batamtoday - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid III tampaknya sulit untuk meninggalkan budaya 'tarik ulur' seperti yang selama ini dipraktekkan oleh pimpinan KPK periode sebelumnya. 

"Budaya 'tarik ulur' adalah budaya lambat dan mengulur-ulur waktu untuk mengambil keputusan dalam penyelidikan atau penyidikan kasus tipikor, padahal bukti-bukti dan saksi-saksi yang ada sudah cukup kuat," kata Habiburokhman, SH, Ketua Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra, dalam rilisnya kepada batamtoday, Senin (30/1/2012). 

Habib mencontohkan dalam kasus cek pelawat misalnya, pimpinan KPK baru menetapkan Miranda S Gultom sebagai tersangka setelah sebelumnya Ketua KPK berkali-kali mengatakan akan ada tersangka baru dalam kasus tersebut.  

Menurutnya hal itu menunjukkan ada kesan yang kuat bahwa mereka terlebih dahulu melakukan apa yang disebut 'testing the water' dengan melempar wacana ke media massa dan menunggu reaksi dari pihak terkait sebelum benar-benar membuat keputusan. 

Habib menyebut praktek 'tarik ulur' lain yang saat ini sedang dipraktekkan oleh pimpinan KPK adalah dalam kasus Wisma Atlet. Keterangan beberpa saksi penting yang sangat jelas mengarah pada Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh tidak ditanggapi dengan cepat oleh KPK dengan menetapkan mereka sebagai tersangka. 

"Kelambanan KPK dalam menetapkan Anas dan Angie sebagai tersangka menurut kami sangat aneh, sebab di sisi lain Ketua KPK sudah mengatakan jika tidak ada yang kebal hukum, termasuk ketua partai politik, sementara Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan bahwa keterangan saksi dalam persidangan adalah alat bukti yang sah," tukasnya. 

Seharusnya sebagai pimpinan institusi penegak hukum, Habib meminta pimpinan KPK tidak beropini sebagaimana layaknya tokoh LSM. Penegak hukum harus 'berbicara' dengan menunjukkan keputusan dan kebijakan yang ia buat.  

"Dalam kasus Wisma atlet, bila memang mereka yakin bahwa keterangan saksi di persidangan adalah juga alat bukti, maka seharusnya Anas dan Angie sudah ditetapkan sebagai tersangka," tambahnya. 

Harus Belajar dari Masa Lalu 

Budaya 'tarik-ulur' adalah cermin ketidaksiapan mental pimpinan KPK untuk duduk di posisi tersebut. Padahal, institusi KPK sudah dibekali berbagai fasilitas untuk menjalankan tugas, wewenang dan fungsinya untuk memberantas korupsi. 

Habib mengatakan Pimpinan KPK harus belajar dari apa yang terjadi di masa lalu, dimana budaya 'tarik-ulur' justru memberi kesempatan kepada koruptor untuk berkonsolidasi dengan memanfaatkan jejaring mereka di kekuasaan untuk menggagalkan proses penyidikan. 

"Kita tentu tidak lupa dengan kasus Cicak-Buaya, dimana Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah dikriminalisasi karena dianggap berniat menetapkan petinggi kepolisian sebagai tersangka. Begitu juga Antasari Azhar yang terjerat kasus pembunuhan di saat diisukan tengah bersiap mengusut kasus dugaan korupsi di KPU," ujarnya. 

Jika budaya tarik-ulur ini terus dipertahankan, dapat dipastikan tidak  banyak kasus besar seperti kasus Century, kasus Nazarudin, kasus badan anggaran yang bisa diselesaikan oleh pimpinan KPK periode III ini. Sebab semua kasus besar  pasti melibatkan politisi dan akan menimbulkan dampak politik. 

Pimpinan KPK periode saat ini harusnya sadar bahwa mereka dituntut untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik dari pimpinan KPK periode sebelumnya. Terlebih di jajaran petinggi KPK peruiode sekarang ada sosok Bambang Widjojanto yang dikenal sebagai konseptor gerakan anti korupsi, pungkas Habib.