Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

BPJS Bantah Cabut Tiga Pelayanan Kesehatan, Itu Hoax!
Oleh : Redaksi
Senin | 30-07-2018 | 09:04 WIB
BPJS2.jpg Honda-Batam
BPJS Kesehatan

BATAMODAY.COM, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan BPJS membantah mencabut tiga pelayanan kesehatan yaitu katarak, persalinan bayi yang lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengungkapkan, BPJS Kasehatan hanya sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan sehingga tidak berwenang untuk mengurangi atau pun menambah manfaat pelayanan yang diberikan.

 

"Itu hoax, tidak ada kita mencabut pelayanannnya. Manfaatnya tetap diberikan karena BPJS Kesehatan tidak pada posisi bukan kewenangannya mengurangi atau menambah manfaat," kata Fahmi di sela-sela Senam Sehat Kolosal 18.8.18 Peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) se-Indonesia di Lapangan Monumen Nasional (Monas), di Jakarta, Minggu (29/7/2018).

Fahmi menegaskan, tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) tersebut diterbitkan untuk mengatur pelaksanaan layanan BPJS Kesehatan yang lebih baik. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan pelayanan kesehatan atau overutilisasi dan diharapkan peserta program JKN-KIS memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif, dan efisien.

"Diatur dalam perpres (peraturan presiden), sebagai penyelenggara kita mengatur manfaat ini secara lebih baik. Potensi overutilisasi kita atur, kita cegah karena kita tidak ingin juga kemudian kerugian kesehatan menjadi tidak efisien," tambahnya.

Ia mencontohkan, dalam persalinan bayi yang lahir sehat, BPJS Kesehatan tetap menjamin semua jenis persalinan baik secara normal atau pun tidak. Jika bayi tersebut membutuhkan pelayanan khusus, fasilitas kesehatan (faskes) dapat menagihkan pembayaran di luar paket persalinan.

"Kalau bayinya membutuhkan sumber daya khusus, bayinya kemudian sakit, baru kemudian itu kita bayarkan. Jangan sampai kita membayarkan untuk kasus-kasus yang sebenarnya sudah satu paket," tambahnya.

Seperti diketahui, Kementerian Kesehatan RI mendesak BPJS Kesehatan untuk menunda pelaksanaan tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) terkait Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Baru Lahir Sehat dan Pelayanan Rehabilitasi Medik. "Pelayanan Kesehatan wajib memperhatikan mutu dan keselamatan pasien," kata Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, Jumat (27/7/2018).

Nila menjelaskan, tidak ada diagnosa bayi lahir sehat atau bayi lahir sakit. Menurutnya, bayi yang sehat dalam kandungan belum dapat dipastikan akan persalinan normal. Bisa jadi dalam keadaan selanjutnya terdapat komplikasi yang sebelumnya tidak diketahui. Sehingga memerlukan pemantauan untuk mencegah kematian bayi, demikian pula untuk keselamatan ibunya.

Urusan pemerintah
Pada kesempatan itu, Fahmi menyebut persoalan defisit yang sedang dialami instansi ini merupakan bagian pemerintah. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menegaskan, masalah defisit menjadi urusan pihaknya. "Persoalan defisit ini bagian kami pemerintah," ujarnya

Ia menambahkan, BPJS Kesehatan berurusan dengan Kementerian keuangan dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) selalu mempersiapkan dana yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan program ini. Menurutnya yang paling penting adalah masyarakat mendapat pelayanan atau terlayani.

Sebelumnya, Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dede Yusuf menyebut masalah defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pengelola JKN-KIS bukanlah karena kurangnya iuran, melainkan di hitungan aktuaria atau harga keekonomian iuran JKN-KIS.

"Kalau berbicara aktuaria menurut Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, angka hitungan aktuaria peserta JKN-KIS kelas III per orang setiap bulannya yaitu sekitar Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu. Padahal yang dibayarkan baru di angka Rp 23 ribu hingga Rp 25 ribu per bulan," ujarnya, Jumat (27/7/2018) lalu.

Persoalan ditambah dengan iuran kelas III yang belum mengalami penyesuaian iuran dan mengambil porsi terbesar. Ini termasuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sekitar 92 juta jiwa yang rencananya akan ditambah pemerintah menjadi 107 juta jiwa.

Tetapi seiring dengan ditambahnya peserta PBI, kata dia, angka iuran yang ditetapkan hanya Rp 23 ribu padahal idealnya di kisaran Rp 35 ribu. Artinya, kata dia, ada defisit Rp 12 ribu per PBI. Dede menyebutkan apabila berbicara premi PBI untuk mengejar hitungan aktuaria maka harusnya pemerintah siapkan dana Rp 35 triliun.

"Sedangkan pemerintah hanya punya uang Rp 25 triliun. Berarti darimana Rp 10 triliun kekurangan yang akan ditambahkan?ujung-ujungnya faktor keuangan," ujarnya.

Kendati demikian, ia meminta pemerintah tetap harus bertanggung jawab. Ia menegaskan pemerintah harus menyiapkan dana talangan untuk membayar iuran PBI sesuai hitungan aktuaria. Kalau PBI sudah mendapat dana talangan iuran PBI sesuai hitungan aktuaria, kata dia, peserta kelas III mandiri atau umum bisa saja mengikuti penyesuaian iuran.

"Tapi tolong jangan dilihat apakah masyarakat mau premi atau iuran kelas III naik tapi pemerintah dulu yang bertanggung jawab dalam mengurusi kesehatan masyarakatnya," kata Dede.

Editor: Surya