Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Damai Natal dan Rakyat Jelata
Oleh : redaksi
Senin | 26-12-2011 | 11:06 WIB

Oleh: Shodiqin Nursa*

Misa Natal berlangsung aman dan lancar. Indonesia pada Minggu 25 Desember 2011, ketika umat Kristiani merayakan Natal, tampak bersahabat dan melempar senyum. Terbukti, sebagaimana sikap rakyat jelata di Indonesia pada asalnya, hidup rukun dan saling menghargai.

Dari kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, Jayapura, hingga kota-kota semacam Batam dan Tanjungpinang, suasana Misa Natal berlangsung khidmat tanpa gangguan.

Di Surabaya, rasa khidmat terpancar dari penghayatan perayaan Natal melalui drama musikal Natal bertema 'a gift' What gift is worthy for a king' (hadiah apa yang layak diberikan kepada seorang raja), yang digelar Gereja Mawar Sharon di Gramedia Expo. (detik.com, 25/12/2011).

Ceritanya, Fabuni, seorang hamba asal Persia yang berjalan bersama orang 3 orang bijaksana (Majus) asal Timur Tengah, Eropa dan Afrika untuk menemukan Yesus, seseorang yang tertulis di dalam kitab para nabi sebagai penyelamat dunia. Mereka mencari Yesus setelah melihat sebuah bintang kelahiran yang berada di ufuk timur.

Fabuni bingung karena dia tidak tahu apa yang hendak dipersembahkan kepada Yesus apabila bertemu nanti. Sebab dia tidak memiliki apa-apa. Orang majus sendiri yang memang kaya raya sudah menyediakan emas, mur dan kemenyan sebagai persembahan.

Di tengah kebingungannya, akhirnya Fabuni mempersembahkan barang miliknya yang dianggapnya berharga, yakni sebuah jubah buatan ibunya. Terbukti jubah tersebut malah dipakai Yesus dalam pelayananNya sampai akhir hayatNya.

Drama musikal yang dimainkan oleh 120 pemain dan 70 anggota paduan suara itu, terasa menyejukkan. Rasa sejuk itu juga terasa pada perayaan Natal di kota-kota lainnya. Damai Natal benar-benar terasa, dan mungkin karena situasi itu, Uskup Agung Katedral Jakarta, Ignatius Suharyo, dalam khotbahnya menyampaikan bahwa bangsa Indonesia di tahun-tahun mendatang akan melangkah di jalan yang 'terang'.

Pertanyaannya, mengapa gangguan perayaan Natal pernah terjadi di negeri Indonesia, yang orangnya terkenal ramah dan bersahabat? Jawabannya sederhana. Bahwa yang dimaksud dengan kata "ramah" dan "bersahabat" itu sesungguhnya milik rakyat atawa rakyat jelata.

Ketika rakyat, lebih-lebih rakyat jelata, atau kebanyakan rakyat pada umumnya, dibiarkan berjalan secara merdeka sesuai kehendak hatinya maka negeri Indonesia dapat dipastikan aman dan tenteram. Dalam diri mereka, tak ada pikiran licik yang membuatnya harus berantem dengan pemeluk agama atau kepercayaan lain. Dalam hari-hari mereka, hidup rukun dan saling membantu (gotong royong) sudah berjalan ribuan tahun. Hari ini bisa dibuktikan bahwa hidup berdampingan dengan damai itu terasa melekat bagi rakyat dan rakyat jelata di seluruh pelosok nusantara.

Dalam soal kerukunan dan persahabatan, kepada mereka-lah para "pemimpin", "penguasa", dan sejenisnya, seharusnya belajar. Dan bukan sebaliknya seperti selama ini, para "pemimpin" dan "penguasa" mengajari rakyat, terutama rakyat jelata. Sebab, faktanya, rakyat dan rakyat jelata-lah yang mampu mempraktekkan hidup rukun dan bersahabat terhadap sesamanya. Bahkan juga, kepada makhluk lainnya --semua ciptaan Tuhan.

Rakyat, apalagi rakyat jelata, tak banyak kepentingan. Bagi mereka, hidup itu sederhana: ada pekerjaan yang bisa menopang kehidupan keluarganya secara sederhana. Bagi mereka, bagian terbesar dari rakyat Indonesia, pendapatan Rp 2 juta per bulan itu sudah mencukupi kebutuhan hidupnya.

Berbeda dengan rakyat yang merasa bukan sebagai rakyat lagi, mereka pada umumnya mengklaim sebagai "penguasa", bagi mereka pendapatan besar serasa belum mencukupi hidupnya. Gaji berlipat-lipat hingga 10 kali atau 25 kali, tak juga membuat mereka bertaji; menjalankan amanat rakyat dan menjunjung tinggi harga diri sebagai orang "pintar", yang tentu saja seharusnya jauh dari bau korupsi.

Rasa tak puas diri dan hilangnya harga diri yang menghantui benak dan otak para "pemimpin", "penguasa", dan sejenisnya itu, yang seharusnya dikikis. Sebab, jika hal itu tak terkikis habis, maka akibatnya bukan saja beribadah menjadi tidak aman, namun segala situasi bagi hidup dam kehidupan rakyat (rakyat jelata) Indonesia kian terancam.

Buktinya jika ada kerusuhan, apapun bentuknya termasuk gangguan peribadatan, selalu ada sang pemicu atau otak inteletual yang bermain. "Rakyat" dan "rakyat jelata" tak cukup mengerti untuk itu dan benak mereka telah tertanam bahwa hidup itu adalah kedamaian, keindahan, kebersamaan.

Jadi, damai Natal akan selalu dan selalu berlangsung sepanjang masa andai tak ada sang pemicu pembuat rusuh. Dan bisa dikatakan bahwa sang pemicu itu pasti bukanlah "rakyat" yang disebut dalam tulisan ini.

Rakyat (rakyat jelata) tak sempat berpikir culas, sebab waktunya habis buat kerja keras. "Yang Kuat yang Kalah" itulah rakyat jelata; kerja keras dengan fiskiknya yang menguras keringat namun pendapatannya habis buat "ngelap" keringat.

Karena itu, tengoklah fakta yang dapat membuat perayaan Natal berlangsung lancar dan damai sepanjang masa di negeri Indonesia. Sebagai contoh adalah pola hidup rukun yang abadi; di sebuah Desa bernama Kaliwungu-Ngunut-Tulungagung-Jawa Timur, dengan beragam keyakinan dan kepercayaan, mereka tak saja saling menghargai namun juga berdampingan setelah mati --dalam area pemakaman, mereka tetap berdampingan tanpa dibedakan asal usul, keyakinan-kepercayaan, status kaya-miskin, rakyat-penguasa. Fakta semacam ini bisa kita saksikan pula di banyak tempat di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya.

Andai kita beranjak (dan belajar) dari fakta hidup dan kehidupan rakyat (rakyat jelata), mustahil bukan? bahwa perayaan Natal (atau perayaan agama-agama lainnya) akan mendapat gangguan. Yang terjadi justru, seperti contoh di sebuah desa tersebut di atas, bahwa umat lain (Islam, Hindu, Budha, Konghucu) membantu persiapan perayaan Natal dan berkunjung ke rumah umat Kristiani, beramah tamah dan menebar senyum damai.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial keagamaan, alumnus Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo-Semarang. Bekerja di Batam-Kepulauan Riau, tinggal di Tulungagung-Jawa Timur.