Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Cerita 'Cinta Paksa' Tentara AS yang Membelot ke Korea Utara, Bertemu Lagi Anak Istri di Jakarta
Oleh : Redaksi
Senin | 18-12-2017 | 08:10 WIB
tentara-AS-pembelot.jpg Honda-Batam
Serdan Charles Jenkins saat masih merupakan seorang serdadu belia dan isterinya, Hitomi Soga, saat usia 17 tahun, atau dua tahun sebelum diculik (Sumber foto: US Army/Kyodo/Alamy Stock Photo)

SETIAP malam sebelum tidur, pembelot AS Charles Jenkins, menoleh ke arah Hitomi Soga, perempuan yang dipaksa oleh Korea Utara untuk menikah dengannya. Ia menciumnya tiga kali.

"Oyasumi" katanya, dengan bahasa Jepang negara asal isterinya itu. "Good night," Hitomi Soga menjawab dalam bahasa Inggris, bahasa masa kecil Charles Jenkins di North Carolina, AS.

"Kami melakukan hal ini agar kami tidak pernah melupakan siapa diri kami sebenarnya, dan dari mana asal kami," Jenkins menulis dalam memoarnya.

Kisah mereka adalah kisah yang gelap, ganjil, menarik dan pada akhirnya, sebuah kisah cinta.

Keluarga Jenkins berlinangan air mata saat berkumpul lagi untuk pertama kalinya, di bandara Jakarta pada Juli 2004 (Sumber foto: BBC)

Terjebak di negeri terkucil yang dikenal oleh kelaparan dan kamp kerja paksa, pasangan itu dipersatukan oleh salah satu masalah yang paling tidak diperhatikan: pencoblangan para tawanan.

Jenkins, yang meninggal pada hari Senin (11/12/2017) dalam usia 77, membelot ke Korea Utara sambil terhuyung pada malam yang getir di bulan Januari 1965.

Usia 24, ia sedang mabuk dan tertekan. Sebagai prajurit Angkatan Darat Amerika Serikat berpangkat sersan yang ditempatkan di pihak Korea Selatan, dia dilanda kecemasan akan terkena rentetan peluru yang melintasi perbatasan.

Atau kecemasan lebih buruk lagi, dikirim menuju kematian di Vietnam.

Jenkins tahu bahwa membelot adalah hal yang penuh risiko. Tapi berandai-andai, bahwa setelahnya dia akan meminta suaka ke kedutaan Rusia dan seterusnya akan dipulangkan ke AS dalam pertukaran tahanan.

Dia kemudian menulis: "Saya tidak paham waktu itu bahwa negara yang saya gunakan sebagai tempat berlindung sementara itu secara harfiah merupakan sebuah penjara raksasa yang edan. Begitu orang masuk ke sana, nyaris tidak pernah ada yang ke luar."

Pertemuan empat pembelot

Korea Utara menawannya dan sebuah ujian berat sepanjang empat dasawarsa dimulai.

Jenkins ditahan di sebuah kamar berukuran kecil bersama dengan tiga tentara AS lain yang melakukan desersi sejak 1962.

Mereka adalah Prajurit James 'Joe' Dresnok, seorang raksasa hampir dua meter tingginya - Prajurit Larry Abshier, diyakini sebagai sebagai serdadu AS pertama yang membelot ke Korea Utara dan Jerry Jerry Parrish yang baru berusia 19 saat dia kabur dan mengaku jika pulang ke Kentucky, mertuanya akan membunuhnya.

Keempatnya dipaksa untuk mempelajari ajaran pemimpin Korut Kim Il-sung selama 10 jam per hari dan dipukuli setiap waktu oleh penculik mereka. Putus asa dan bosan luar biasa, mereka mencoba menghibur diri dengan "mencuri milik pemerintah atau melakukan aksi-aksi nekad," seperti yang ditulis Jenkins dalam bukunya "The Reluctant Communist".

Pada tahun 1972, para pembelot akhirnya mendapat rumah masing-masing dan kewargaan Korea Utara, meskipun mereka masih terus saja diawasi, dipukuli, dan disiksa terus-menerus.

Mereka mengajar bahasa Inggris di sebuah sekolah militer (yang akhirnya memecat Jenkins) dan diperintahkan untuk berperan sebagai tokoh jahat Amerika dalam film propaganda 20 seri, yang membuat mereka menjadi selebriti sesaat.

Perintah lain jauh lebih mengejutkan, keempat pria tersebut dipasangkan dengan tahanan perempuan yang semua orang asing dan dipaksa untuk menikah.

Mengapa Korea Utara mesti repor-repot begitu? Bagi Jenkins, alasannya jelas, dia yakin Pyongyang menjalankan program 'pengembang-biakan' mata-mata, dengan tujuan melatih anak-anak yang mereka lahirkan yang berparas barat itu untuk bertugas sebagai agen di luar negeri.

Ketika empat tentara AS itu menempuh jalan mereka sendiri untuk sampai ke kerajaan komunis itu, lain lagi yang terjadi pada para perempuan yang mereka nikahi.

Korea Utara menculik para perempuan itu. Korut memang mengaku hanya menculik warga negara Jepang, namun Jenkins yakin bahwa para istri mereka, yang berasal dari berbagai negara berbeda itu diculik oleh dinas rahasia.

'Saya tidak membiarkan dia pergi'

Jenkins tampak lebih tua dari usianya saat tiba di Jepang bersama isteri dan anak-anaknya (Sumber foto: BBC)

Pada tahun 1978, saat ia ditangkap, Hitomi Soga, yang nantinya menjadi Nyonya Jenkins, adalah seorang perawat berusia 19 tahun. Ia diculik dari pulau Sado, kampung halamannya di lepas pantai barat Jepang. Dia diculik untuk menjadi guru yang melatih mata-mata Korea Utara tentang bahasa dan perilaku Jepang. Pada akhirnya, kewarganegaraannya bisa memberikan masa depan lain kepada suaminya yang tidak pernah dia impikan.

Ketika pasangan ini menikah pada tahun 1980, Jenkins telah 15 tahun sendirian dalam pelukan dingin Pyongyang. Dia kemudian mengatakan kepada CBS: "Saya akan mengatakannya seperti ini: saya menatapnya satu kali saja, dan saya tidak bisa membiarkannya pergi."

Pengantin baru ini tidak memiliki kesamaan apa pun kecuali kebencian yang menyala-nyala terhadap Korea Utara - namun lambat laun, mereka saling jatuh cinta.

Lebih dari 22 tahun, Jenkins dan Soga menemukan berbagai jenis kebahagiaan. Mereka bersyukur satu sama lain. Dua anak perempuan mereka lahir; Mika, sekarang berusia pertengahan 30an, dan Brinda, dua tahun lebih muda.

Perkembangan luar biasa yang akan mengubah hidup mereka terjadi pada tahun 2002. Kim Jong-il, yang saat itu adalah pemimpin Korea Utara, mengakui bahwa pada tahun 1970an dan 80an, negaranya telah menculik 13 warga Jepang.

Kim mengatakan delapan orang telah meninggal (pengakuan yang dipertanyakan oleh Jepang), namun sepakat untuk mengirim lima orang yang selamat kembali ke Jepang untuk kunjungan 10 hari. Mereka adalah dua pasangan suami isteri, dan Hitomi Soga - minus suaminya.

Jepang merangkul lelaki dan perempuan yang berhasil kembali itu dengan curahan simpati publik. Mereka tidak pernah kembali ke Korea Utara sedangkan Jenkins dan anak-anaknya tetap terdampar di Korea Utara. Desersi dari kemiliteran AS diancam hukuman penjara maksimal seumur hidup dan tentara tua itu tahu bahwa jika dia mencoba bergabung dengan istrinya di Jepang, militer AS akan menangkapnya.

Namun dua tahun setelah Soga dipulangkan, dia tidak tahan lagi. Jenkins dan anak-anak mereka terbang ke Indonesia yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan AS untuk menemui Soga.

Pyongyang hanya memberi izin kunjungan singkat. Namun atas dorongan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi, pembelot tersebut mengatakan bahwa dia akan mengambil risiko dihadapkan ke pengadilan militer dan mati di penjara agar bisa menyatukan lagi keluarganya, di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

Pada tanggal 11 September 2004, desertir itu meninggalkan rumah sakit di Jepang dengan sebuah van mini untuk menuju Camp Zama, di pinggiran Tokyo. Dia tampak sepuluh tahun lebih tua dari usianya yang 64 tahun. Sambil berdiri tanpa tongkat alat bantu jalan, dengan setelan abu-abu, dia memberi hormat yang panjang dan tegas kepada polisi militer AS.

"Siap! Saya Sersan Jenkins, lapor!" katanya.

Jenkins menjalani hukuman 25 hari dari 30 hari hukuman yang dijatuhkan setelah mengaku bersalah melakukan desersi dan membantu musuh (dengan mengajar bahasa Inggris). Dia dibebaskan lebih awal karena berperilaku baik.

Diyakini, dia mengungkapkan seluruh apa yang diketahuinya tentang Korea Utara kepada Amerika Serikat sebagai imbalan atas pengampunan.

Jenkins jatuh luruh saat dibebaskan, terisak-isak: "Saya membuat kesalahan besar dalam hidup saya, tapi berhasil mengeluarkan dua anak perempuan saya dari (Korea Utara) sana, itu satu hal baik yang saya lakukan."

Sampai kematiannya, dia yakin bahwa Korea Utara ingin menjadikan anak-anaknya sebagai senjata, dan bahwa perguruan tinggi elit yang mereka keyam dimaksudkan untuk mengarahkan mereka dalam spionase.

Hitomi Soga pindah kembali ke pulau Sado pada tahun 2004, membawa suami dan anak perempuannya bersamanya. Jenkins mendapat pekerjaan di sebuah taman wisata, menjual keripik beras senbei dan berpose untuk difoto. Soga bekerja di panti jompo setempat.

Jenkins mewanti-wanti kedua putri mereka agar jangan pernah menepi saat nyetir kalau dicegat oleh polisi lalu lintas Jepang, karena khawatir mereka sebenarnya agen Korea Utara.

Sebagai seorang tahanan Pyongyang, Sersan Charles Jenkins kehilangan usus buntu, satu testis, 39 tahun hidupnya dan sebagian tato tentara AS yang dicabik dari lengannya tanpa menggunakan obat bius.

Dia memuji Hitomi Soga yang disebutnya telah menyelamatkan nyawanya. Tanpa keraguan, Hitomi Saga lah yang membuatnya bisa meninggal sebagai orang bebas.

Siapa lagi yang dinikahi para pembelot itu ?

Anocha Panjoy, seorang perempuan muda Thailand, diberikan kepada Larry Abshier oleh pemerintah Korea Utara pada tahun 1978. Dia sedang bekerja di sebuah rumah pemandian di Macau saat dia raib. Mereka tidak memiliki anak, dan Anocha menjadi janda setelah serangan jantung membunuh Abshier pada usia 40 tahun.

Menurut Jenkins, tetangganya saat itu, Anocha dibawa pergi dan dinikahkan lagi oleh rezim Korea Utara- kepada seorang Jerman yang bekerja sebagai mata-mata Korea di luar negeri.

Siham Shraiteh, perempuan Lebanon, memiliki tiga putra dengan Jerry Parrish. Dari cerita Jenkins, Siham Shraiteh diculik dari sebuah sekolah sekretaris di Beirut bersama tiga wanita lainnya. Ketika orang tua mereka menegosiasikan pengembalian mereka pada tahun 1979, Siham diketahui sedang hamil. Dia kembali ke Korea Utara untuk melahirkan bayinya, dan tidak pernah pergi lagi.

Bagi James Dresnok, pernikahan paksa itu merupakan pernikahan kedua. Istri pertamanya, seorang perempuan muda Amerika menceraikannya pada tahun 1963, setahun setelah dia membelot. Kemudian rezim Korea Utara menyodorkan seorang perempuan Rumania, Doina Bumbea, yang memberinya dua putra laki-laki.

Jenkins menulis bahwa Doina Bumbea diculik saat tinggal di Italia sebagai mahasiswi seni. Setelah Doina meninggal karena kanker paru-paru pada tahun 1997, James Dresnok menikah lagi dengan putri dari pasangan seorang diplomat Togo dan seorang perempuan Korea Utara, dan memiliki anak - yang merupakan yang ketiga baginya.

Keluarga Jenkins berfoto di akahir tahun 2004 (Sumber foto: BBC)

Ketiga anak Dresnok dan istri ketiganya, tampil dalam film dokumenter Inggris tahun 2006 tentang dia, Crossing the Line. Siham Shraiteh juga muncul, bersikeras bahwa dia tidak pernah diculik dan tinggal di Korea Utara bersama anak-anaknya secara sukarela. Tidak jelas apakah dia berbicara di bawah tekanan, tapi kritik terhadap rezim Kim pasti akan menimbulkan akibat yang berbahaya.

Dresnok, adalah tentara AS terakhir yang diketahui tinggal di Korea Utara. Pada akhir 2016, ia meninggal karena stroke di usia 74. "Saya tidak pernah menyesal datang ke Republik Rakyat Demokratik Korea," katanya dalam Crossing the Line. "Saya tidak akan menukarnya dengan apa pun juga."

Charles Jenkins adalah satu-satunya dari empat pembelot tahun 1960 yang bisa menginjakkan kaki lagi di luar Korea Utara.

Sumber: BBC
Editor: Udin