Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jika Diselesaikan dengan Senjata, Isolasi akan Terjadi Lagi di Papua
Oleh : Redaksi
Senin | 20-11-2017 | 08:03 WIB
Papua.jpg Honda-Batam
Polda di Papua telah meminta bantuan personel TNI untuk membantu menyelesaikan 'penyanderaan' sekitar 1.300 warga di Timika. (Sumber foto: BBC)

BATAMTODAY.COM, Papua - Penyelesaian konflik di Papua oleh pemerintah Indonesia sebaiknya dilakukan dengan pendekatan dialogis, ketimbang harus mengangkat senjata.

Hal ini disampaikan Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, mengomentari isolasi sekitar 1.300 warga di Mimika.

Ia menekankan pentingnya pendekatan dialogis untuk menghentikan konflik Papua yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Termasuk yang terjadi sekarang, aksi kelompok yang oleh pemerintah Indonesia dikatakan sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang mengisolasi dua desa di Timika, Papua, 'harus diselesaikan dengan jalan dialog'.

"Kalau angkat senjata, tidak akan menyelesaikan masalah. Kalau penyelesainnya seperti ini, besok akan terjadi lagi. Tidak menutup kemungkinan nanti di awal tahun, atau menjelang Natal, itu akan terjadi lagi, kalau angkat senjata. Tapi kalau lewat dialog pasti ada kemungkinan untuk selesai," ujar Yan, Minggu (19/11).

Kepala Penerangan Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi menegaskan dalam berhadapan dengan pemberontak, tidak ada opsi mediasi.

"NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah harga mati. Mediasinya adalah dia mau mengakui kedaulatan NKRI, kembali tunduk kepada pangkuan NKRI, atau memilih jalan lain," tegasnya.

Aksi pengisolasian sekitar 1.300 warga di Mimika terjadi setelah tiga pekan lalu seorang anggota Brimob tewas ditembak oleh kelompok bersenjata di Timika. Dia tewas saat terlibat pengejaran kelompok tersebut.

Baru pada Jumat lalu (16/11), aparat berhasil mengevakuasi sebagian warga. Hingga hari Minggu (19/11) total sekira 500 orang, yang merupakan warga pendatang, berhasil dievakuasi.

"Sampai hari ini, sekitar 100 orang yang sudah dievakuasi lagi dari dua kampung itu, Banti sama Kimberly. Total kemarin kan 344, sekarang 153 [orang]. Jadi sudah 500 orang," ujar juru bicara Polda Papua, AKBP Suryadi Diaz.

Sementara sisanya memilih untuk tinggal. Minimnya warga masyarakat lokal yang ingin dievakuasi ke Mimika karena ia lahir dan besar di kampung tersebut, bahkan mereka tidak memiliki keluarga di Mimika.

Opini sepihak dari aparat keamanan

Lebih jauh Yan beranggapan bahwa dari insiden isolasi warga di Banti, Utikini dan Kimberly ini terlihat opini yang dibangun oleh aparat keamanan 'sangat bersifat sepihak lantaran tidak bisa diverifikasi pihak lain'.

Bahkan, para jurnalis, baik lokal, nasional dan internasional, tidak diberi akses untuk mendapatkan informasi dari mulut pertama tentang sesungguhnya yang terjadi di sana sehingga bisa memberikan informasi yang berimbang.

Informasi yang beredar, sebanyak 1.300 warga disandera oleh kelompok bersenjata. Padahal warga yang disebut 'disandera' adalah warga penduduk desa dan pendatang yang bekerja sebagai pendulang emas di kampung itu.

"Kita punya informasi juga dari pihak gereja dan pemuka masyarakat di sana bahwa mereka aman sebenarnya. Kalau ada penyanderaan, minimal ada ancaman dari pihak penyandera. Klaim penyanderaan ini kan hanya ada dari pihak pemerintah, dalam hal ini TNI dan Polri, tidak ada dari pihak yang dituduh sebagai 'penyandera'," kata dia.

Yang terjadi kemudian, kata Yan, tiba-tiba ada operasi militer dan operasi pembebasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa konflik di Papua masih jauh dari 'rampung'.

Maka dari itu, ia menilai pendekatan untuk menyelesaikan persoalan di sana 'tidak ada lain yang lebih baik selain mengedepankan dialog'.

"Konflik ini memang penyelesaiannya tidak bisa tidak, pendekatan dialog harus dikedepankan dan Presiden sampai hari ini kan kita tidak pernah mendengar dengan nyata presiden mengatakan apa pemerintah terhadap apa yang terjadi dengan tuntutan mereka yang ada di Tembagapura yang sekarang sedang bergejolak ini."

Kendati begitu, Kepala Penerangan Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi menegaskan istilah 'sandera' tidak mesti harus disekap dalam satu ruangan. Menurutnya, istilah 'penyanderaan' itu digunakan lantaran lantaran warga tersebut 'diisolasi di suatu aderah, dibatasi hak-haknya, diintimidasi'.

"Bahkan berdasar laporan, beberapa wanita mengalami kekerasan seksual, harta, emas dan telepon genggam warga dirampas, dan dilarang keluar dari kampung tersebut. Itu lah yang disebut disandera. Kalau hanya diisolasi tapi dilayani kebutuhannya, itu tidak ada masalah,"

Lebih lanjut, ia mengungkapkan 300 personel TNI dan 400 personel Polri dikerahkan untuk pengamanan dan pengejaran para pelaku 'penyanderaan,'

Berdasar laporan Polda Papua dari keterangan warga yang berhasil dievakuasi, warga yang dianiaya dan ditodong dengan senjata api sebanyak 19 orang, warga yang dirampas Handphone sebanyak 74 orang dengan jumlah 200 buah telpon genggam, warga yang dirampas uangnya dengan total lebih dari Rp107 juta dan warga yang dirampas emas miliknya dengan total 254,4 gram.

Sementara masyarakat yang mengalami pelecehan seksual oleh KKB adalah lima orang di area Longsoran dan tujuh orang di Kampung Kimberly.

Juru bicara Polda Papua, AKBP Suryadi Diaz menuturkan kebanyakan warga yang dievakuasi merupakan warga pendatang yang memiliki rumah di Timika.

"Mereka hanya datang kesana, tinggal sementara. Rata-rata mereka adalah pendulang liar, artinya di sungai di Banti mereka bikin kamp-kamp di situ. Di rumah-rumah semi permanen."

Sementara penduduk asli desa tersebut, kemungkinan belum dilepas oleh para 'penyandera' karena 'istilahnya mereka dipakai sebagai pelindung dan supaya kampung tidak kosong. Kalau kampung kosong, aparat dengan mudah untuk masuk.

Sampai sekarang aparat terus melakukan upaya evakuasi dan melakukan pengejaran terhadap para 'penyandera', namun diakui Diaz aparat di lapangan menemui banyak kendala dengan kondisi medan yang berbukit.

"Jadi kita kesulitannya di sana. Risikonya terlalu tinggi kalau kita melakukan pengejaran terus, karena mereka ada di ketinggian, sementara kita ada di bawah. Sehingga akan mudah terlihat di mereka. Itu hanya kesulitannya hanya medan karena banyak perbukitan dan jurang."

"Pasukan kita juga tidak bisa gegabah karena masih banyak masyarakat di sana dan kita utamakan keselamatan warga,"

Janji Presiden dipertanyakan

Yan kemudian mempertanyakan mengapa Presiden Joko Widodo tidak segera menyikapi persoalan ini. Misalnya, mendorong upaya dialog untuk segera dilakukan.

Padahal Presiden sudah menugasi tiga orang sebagai person in charge untuk menyelesaikan konflik di Papua, Neles Tebay, Wiranto, dan Teten Masduki. Mengapa mereka tidak didayagunakan oleh pendekatan?"

Maka dari itu, ia menilai Presiden Joko Widodo tidak konsisten dengan janji-janjinya perihal penyelesaian konflik di Papua, seperti yang diutarakan dalam pertemuan dengan 15 tokoh Papua pada 15 Agustus lalu, yang juga dihadiri olehnya.

"Di depan kita dia katakan bahwa dia mau menyelesaikan masalah Papua lewat dialog. Masalah konflik kekerasan seperti ini juga diselesaikan lewat dialog."

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Udin