PMK 148 Perlu Dikaji Ulang

Pimpinan BP Batam Dinilai tidak Aspiratif dan tidak Komunikatif
Oleh : Roni Yudha Ginting
Senin | 31-10-2016 | 18:50 WIB
ampuan.gif

Dewan Pakar Kadin Batam, Ampuan Situmeang (Foto: Gokli Nainggolan)

BATAMTODAY.COM, Batam - Dewan Pakar Kadin Batam Ampuan Situmeang angkat bicara soal maraknya penolakan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Penolakan masyarakat dinilai bukan soal tarif yang turun atau naik, tapi kekeliruan penerapannya.

Menurutnya, UWTO itu bukan layanan, melainkan perjanjian antara yang menyewa dan yang menyewakan (kontraktuil) sifatnya, sehingga tidak bisa dikategorikan pada tarif layanan BLU sebagaimana diatur dalam PMK 148/PMK.05/2016 tentang Tarif Layanan BLU BP-KPBPB.

"Jelas keliru tarif UWTO pada PMK 148, dan sebelum berlaku pun sudah ditolak. Namun pimpinan BP Batam tidak aspiratif, responsif, apalagi komunikatif. Kepala BP Batam terkesan tidak mau perduli dengan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat. Sikap seperti ini harus dihindari," ujarnya.

Ampuan menilai, bergulirnya penolakan UWTO hingga ke berbagai sudut Kota Batam, tidak lebih karena dialog tidak dikedepankan. Kepala BP Batam mungkin mendapat masukan yang negatif entah dari siapa, seolah-olah pimpinan yang lama dan mafia lahan selama ini telah berkolaborasi, sehingga harus diamputasi.

Namun, caranya bila tidak melalui dialog, maka perubahan apapun yang baik dilakukan akan menimbulkan kecurigaan. Seharusnya, kata pengacara kondang di Batam ini, para pemangku kepentingan melakukan dialog dan menampung aspirasi bagaimana menata pembangunan Batam ke depan.

"Tidak boleh merasa paling bisa, paling bersih, dan paling benar sendiri. Karena sikap pemimpin seperti ini jelas keliru," ujarnya.

"Apalagi, BP Batam sebagai operator juga dapat sekaligus bertindak sebagai regulator. Buktinya menerbitkan Perka BP Batam No 19 itu. Apa bisa dikeluarkan peraturan sepihak, tanpa terlebih dahulu menjaring aspirasi masyarakat," tukasnya.

Itu jelas diatur dalam UU 12/2011, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dan Pemendagri No. 80/2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Maka, memaksakan kehendak di daerah otonom seperti Kota Batam, jelas menyalahi aturan.

"Mau tidak mau dan suka tidak suka, masyarakat harus dilibatkan dalam pengembangan Batam bersama dengan pemerintah daerah. Jangan merasa tidak ada hubungan kerja, sehingga menyatakan tidak wajib datang ke DPRD Kota Batam. Jelas itu keliru," tegas Ampuan.

Maka, kemarahan masyarakat kali ini perlu dipertimbangkan oleh semua pemangku kepentingan di Batam. Mengingat Batam ini dibangun oleh rayat dan pengusaha, bukan hanya OB apalagi BP Batam yang hanya peralihan dari OB.

"Pimpinan BP Batam, jangan terlalu menampakkan diri sebagai orang pusat di daerah, itu kelirumologi," ujarnya.

Untuk menjaga Batam yang kondusif, lanjutnya, perlu dibentuk tim untuk mengkaji PMK 148 itu dengan melibatkan pemangku kepentingan di Batam. Dan selama dikaji, tunda dulu pemberlakuannya.

Hanya saja, kata Ampuan, pimpinan BP Batam yang sekarang sangat tidak aspiratif, tidak komunikatif, dan tidak responsif. Sehingga tidak membuka diri untuk dialog bagaimana membangun Batam.

Lebih jauh Ampuan menjelaskan, bahwa yang namanya pelayanan adalah rumah sakit, pelabuhan, bandara. Sedangkan perjanjian sewa lahan bukan pelayanan. "Makanya namanya Uang Wajib Tahunan Otorita. Dan perlu diingat, OB tidak bubar loh," pungkasnya.

Editor: Udin