Sidang Perkara Penipuan dalam Investasi

Pemberi Cek Kosong Dipidana, Ini Penjelasan Ahli Pidana dan Perdata
Oleh : Gokli Nainggolan
Selasa | 08-09-2015 | 09:42 WIB
M.Yahya_Harahap.jpg
Saksi ahli pidana dan perdata dalam persidangan terdakwa Yandi Suratna Gondoprawiro. (Foto: Gokli Nainggolan/BATAMTODAY.COM)

BATAMTODAY.COM, Batam - Perkara penipuan dana investasi sebesar Rp27 miliar dengan terdakwa Yandi Suratna Gondoprawiro kembali disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Senin (7/9/2015) siang. Melalui penasehat hukumnya, terdakwa menghadirkan saksi ahli pidana dan perdata, M Yahya Harahap.

Dalam kesaksiannya, mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI itu menjelaskan mengenai tindak pidana pada cek kosong dan unsur-unsur pada pasal 378 KUHP. Sebab, kata dia, tidak serta-merta dalam pemberian cek kosong menjadi tindak pidana.

"Jika pelaku sadar atau sudah mengetahui cek yang diberikan kosong dan tidak akan bisa dicairkan penerima, maka terjadi tindak pidana penipuan," kata Yahya.

Tetapi, lanjut Yahya, tindak pidana penipuan dalam pemberian cek kosong juga harus bisa dibuktikan dengan minimal dua alat bukti yang berkaitan dengan pasal yang diterapkan. Kaitannya dalam perkara itu, terdakwa dijerat dengan pasal 378 KUHP.

"Jika terjadi tindak pidana, pasal yang diterapkan itu apa, unsur-unsurnya harus terpenuhi, minimal dua," ujar dia.

Unsur pasal 378 KUHP, jelas Yahya, ada orang sebagai subjek, ada bujuk rayu untuk mendapatkan sesuatu atau tipu muslihat, mendapat keuntungan, dan ada yang dirugikan. Jika unsur itu terpenuhi, tindak pidana itu ada.

Mengenai adanya kuasa yang diterima terdakwa dari Direktur Utama PT Brent Ventura untuk menandatangani pencairan cek atas nama perusahaan tersebut, penasehat hukum terdakwa, Hermanto Barus, meminta penjelasan saksi soal siapa yang paling bertanggung jawab atas cek tersebut. Sebab, yang memberikan kuasa tersebut tidak ditetapkan sebagai tersangka.

"Sepanjang penerima menjalankan sesuai koridor, yang bertanggung jawab tetap pemberi kuasa. Tetapi, jika menyimpang dari ketentuan yang dituangkan dalam kuasa, penerima kuasa tetap harus bertanggung jawab. Atau, paling tidak ada pasal penyertaan, seperti diatur dalam pasal 55 atau 56 KUHP," jelasnya.

Mengenai pasal penyertaan, jaksa tak mau kalah dengan penasehat hukum terdakwa. Mereka meminta penjelasan saksi soal kemungkinan penerapan pasal tunggal.

"Penerapan pasal tunggal juga bisa, jika dalam kuasa itu sudah ada ketentuannya dan bisa dibuktikan," katanya. (*)

Editor: Roelan