Tak Bisa Hadirkan Saksi Mahkota, Majelis Hakim Tegur JPU
Oleh : Gokli Nainggolan
Rabu | 02-09-2015 | 08:52 WIB
Tak_Bak_Seng_mendengar_keterangan_saksi_yang_dibacakan_JPU.jpg
Tak Bak Seng saat mendengar keterangan saksi yang dibacakan JPU. (Foto: Gokli Nainggolan/BATAMTODAY.COM)

BATAMTODAY.COM, Batam - Majelis Hakim yang yang memimpin persidangan perkara pidana dengan terdakwa Tak Bak Seng, warga negara (WN) Malaysia, menegur jaksa penuntut umum (JPU) karena tidak bisa menghadirkan saksi mahkota. Sebab, keterangan saksi mahkota sangat berpengaruh dalam membuat putusan.

"Pak Jaksa, sekali lagi kalau perkara seperti ini saksi mahkota tak bisa dihadirkan, tak usah diterimalah. Kembalikan saja kepada penyidiknya," kata Ketua Majelis, Budiman Sitorus, dalam persidangan yang digelar Selasa (1/9/2015) sore di Pengadilan Negeri (PN) Batam.

Kendati tak ada saksi mahkota, sidang tersebut tetap dilanjutkan. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Bani Ginting, yang mengaku sudah memanggil saksi secara patutut, tetapi tak bisa hadir, memohon agar keterangan saksi dibacakan sesuai dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

"Secara patut saksi sudah kami panggil, Yang Mulia, tetapi tak bisa hadir karena sudah di luar kota. Kami mohon agar keterangan saksi bisa dibacakan?" kata Bani.

Setelah keterangan saksi dibacakan, sidang pemeriksaan perkara tersebut ditunda. Dalam sidang berikutnya akan dibuka dengan pemeriksaan terdakwa.

Diberitakan sebelumnya, Tak Bak Seng alias Aseng, didakwa pasal berlapis oleh jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Kamis (20/8/2015) sore. Warga negara (WN) Malaysia itu didakwa mempekerjakan anak di bawah umur untuk melayani pria hidung belang di Paradise Night Massage.

Dalam dakwaan JPU yang dibacakan Bani Ginting, Tak Bak Seng melanggar pidana, pertama kesatu pasal 2 ayat (2) jo Pasal 11 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; atau kedua, pasal 12 jo pasal 11 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dan Kedua, Kesatu pasal 82 ayat (1) jo Pasal 76 E UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ; atau kedua pasal 88 ayat (1) jo pasal 76E UU RI Nomot 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dari keterangan dua saksi penangkap yang dihadirkan di persidangan, terungkap bahwa Paradise Night Massage dikelola dua WNA, yakni terdakwa dan satu warga negara Singapura bernama Thomas (DPO). Selain itu, di tempat tersebut juga tidak ditemukan adanya pelayanan pijat, melainkan tempat prostitusi.

"Massage itu hanya modus saja. Tak ada pelayanan pijat," kata salah satu saksi penangkap.

Diterangkan saksi, dalam upaya pengerebekan, ditemukan ada tiga buku daftar tamu, kondom dan daftar wanita yang dipekerjakan di tempat tersebut. Dari pengakuan korban, tarif melayani tamu bervariasi dari Rp300 - 500 ribu untuk shorttime. Sementara untuk booking berkisar Rp1,3 - 1,5 juta.

Namun terdakwa membantah keterangan saksi, khususnya mengenai mempekerjakan anak di bawah umur. Menurut terdakwa, korban Mt saat dia pekerjakan sudah berumur 19 tahun sesuai dengan kartu tanda penduduk (KTP) yang ditunjukkan kepada terdakwa saat membuat kontrak kerja.

"Mt bukan di bawah umur, sudah dewasa. Umurnya 19 tahun," kata terdakwa.

Dalih terdakwa akhirnya terbantahkan juga. Majelis Hakim Budiman Sitorus menunjukkan akte kelahiran korban Mt yang terlampir dalam BAP. Diketahui, Mt merupakan warga Cirebon dan lahir pada 1998.

"Kita tak perlu bicara KTP, ini akte lahirnya ada. Jelas-jelas masih di bawah umur," ujar Budiman. (*)

Editor: Roelan