Pentingnya Mencermati Hasil Revisi UU TNI Secara Komprehensif
Oleh : Redaksi
Kamis | 20-03-2025 | 12:24 WIB
TB_Hasunuddin.jpg

Oleh : Mayor Jenderal (Pur) TNI TB Hasanuddin)*

KOMISI I DPR dan Pemerintah akhirnya menyepakati untuk membawa naskah revisi UU TNI ke rapat paripurna guna persetujuan Tingkat II. Kritik dan protes terhadap dinamika proses revisi UU TNI adalah sesuatu yang lazim dalam sistem demokrasi kita dan memang diperlukan.

Kekhawatiran publik atas kembalinya dwifungsi ABRI era Orba yang digaungkan dalam kritik/protes tersebut juga hal yang lumrah.

Akan tetapi, kekhawatiran tersebut harus dilihat secara lebih cermat karena hasil revisi UU TNI sejatinya mencerminkan 2 poin kunci berikut ini.

  1. Celah praktik dwifungsi ABRI tetap tertutup rapat. Hal ini tercermin dari tidak ada perubahan sama sekali mengenai jati diri TNI sebagai tentara profesional yang tidak berpolitik, tidak berbisnis, dan tunduk pada kebijakan politik negara seperti yang termaktub dalam Pasal 2 butir d. Pun demikian, DPR dan pemerintah sepakat untuk mempertahankan Pasal 39 yang melarang prajurit aktif untuk menjadi anggota parpol, berpolitik praktis, berbisnis, dan mengikuti pemilu. Kemudian, Pasal 47 ayat 1 pun tetap tidak berubah, prajurit aktif TNI yang menduduki jabatan sipil tetap harus mengundurkan diri/pensiun.
  2. Bukan ekspansi militer di jabatan sipil namun limitasi. Penambahan 5 instansi negara yang dapat diduduki oleh prajurit aktif dalam pasal 42 ayat 2 sejatinya adalah bentuk limitasi (pembatasan) terhadap pos-pos yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Lima institusi tambahan (pengelola perbatasan, penanggulangan Bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung) mewakili institusi yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan lain untuk merekrut prajurit aktif. Terlebih lagi, lima institusi tersebut memang memiliki bagian yang berkelindan dengan sektor pertahanan atau kemampuan teknis kemiliteran.

Setelah revisi UU TNI disahkan oleh DPR, maka prajurit TNI aktif di lembaga/institusi negara (termasuk BUMN , Bulog , Kemenhub dan lain lain ) diluar 15 instansi tersebut wajib mengundurkan diri/pensiun jika ingin tetap menduduki jabatan sipil.

Dengan demikian, tidak ada penambahan jumlah Kementerian/lembaga yang dapat diisi prajurit aktif TNI dan tidak ada perubahan terhadap pasal?2; yang selama ini melarang praktik dwifungsi TNI.

Revisi UU TNI justru memberikan kepastian hukum yang lebih kuat untuk menjaga profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.

Penulis adalah Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan