Koperasi Desa Merah Putih, Antara Peluang dan Tantangan
Oleh : Redaksi
Minggu | 09-03-2025 | 17:04 WIB
matnur_b16.jpg

Oleh Achmad Nur Hidayat

PEMERINTAH telah mengumumkan kebijakan strategis baru dengan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kop Des Merah Putih), sebuah langkah besar dalam upaya memperkuat perekonomian desa.

Program ini dirancang untuk melibatkan 70 ribu hingga 80 ribu desa di seluruh Indonesia, dengan alokasi anggaran yang cukup besar, yakni Rp3 hingga Rp5 miliar per desa.

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah menciptakan ekosistem ekonomi desa yang lebih kuat, meningkatkan efisiensi distribusi pangan, serta menyejahterakan masyarakat pedesaan secara lebih merata.

Transformasi Ekonomi Desa: Harapan dari Koperasi Desa Merah Putih

Langkah ini patut diapresiasi karena koperasi telah lama dianggap sebagai instrumen ekonomi rakyat yang berbasis gotong royong.

Dengan membangun koperasi di tingkat desa, diharapkan masyarakat dapat lebih mandiri dalam mengembangkan usahanya, mengelola hasil produksi pertanian, dan menciptakan nilai tambah bagi produk lokal.

Lebih dari sekadar lembaga keuangan, koperasi desa juga berpotensi menjadi pusat distribusi dan stabilisasi harga pangan, sehingga mengurangi ketergantungan desa pada rantai distribusi yang dikuasai oleh segelintir pelaku usaha besar.

Namun, meskipun inisiatif ini memiliki visi yang positif, pertanyaan kritis muncul terkait dengan dampaknya terhadap sektor perbankan, terutama dengan skema penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah menjadi tulang punggung pembiayaan UMKM di Indonesia.

Dengan penyaluran KUR BRI yang mencapai Rp184,98 triliun pada 2024 dan dominasi sektor pertanian dalam pembiayaan tersebut, bagaimana kebijakan koperasi desa ini akan berdampak pada industri perbankan dalam jangka panjang? Tulisan ini mencoba menguraikan satu demi satu.

Dampak Jangka Panjang terhadap Sektor Perbankan

Keberadaan Koperasi Desa Merah Putih tentu akan menghadirkan dinamika baru dalam industri keuangan mikro.

Selama ini, bank konvensional, khususnya yang menyalurkan KUR, telah mendominasi akses pembiayaan bagi UMKM.

Dengan adanya koperasi desa yang juga berfungsi sebagai lembaga keuangan berbasis komunitas, akan ada potensi persaingan antara koperasi dan bank konvensional dalam penyaluran kredit kepada usaha kecil dan mikro.

Dalam jangka pendek, bank konvensional mungkin tidak akan terlalu terdampak secara langsung.

Namun, dalam jangka panjang, munculnya koperasi desa sebagai alternatif sumber pembiayaan dapat mengurangi ketergantungan UMKM pada bank, khususnya dalam sektor pertanian dan perdagangan kecil.

Jika koperasi berhasil menawarkan skema kredit yang lebih fleksibel dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan KUR, maka nasabah mikro dapat berpindah dari bank ke koperasi.

Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan portofolio kredit perbankan, terutama bagi bank-bank yang selama ini mengandalkan skema KUR sebagai pendorong utama pertumbuhan bisnis mereka.

Selain itu, peran perbankan dalam ekosistem pembiayaan mikro juga bisa mengalami pergeseran.

Alih-alih menyalurkan KUR secara langsung, bank bisa lebih fokus pada pendanaan bagi koperasi-koperasi desa ini.

Model seperti ini telah diterapkan di beberapa negara, di mana koperasi menjadi jembatan antara lembaga keuangan besar dan pelaku usaha mikro, sehingga bank tetap mendapatkan keuntungan melalui pembiayaan tidak langsung.

Namun, hal ini tentu memerlukan regulasi yang jelas dan mekanisme kontrol yang kuat untuk menghindari risiko kredit macet.

Peran Koperasi Desa dalam Ekosistem Ekonomi Mikro

Secara historis, koperasi telah memainkan peran penting dalam pemberdayaan ekonomi rakyat.

Koperasi memiliki keunggulan dibandingkan dengan bank dalam hal kedekatan dengan komunitas, fleksibilitas dalam pembiayaan, serta prinsip gotong royong yang dapat menciptakan ekosistem usaha yang lebih berkelanjutan.

Dengan adanya Kop Des Merah Putih, desa-desa diharapkan dapat memiliki lembaga keuangan yang lebih memahami kebutuhan lokal, sehingga skema pembiayaan dapat lebih disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat desa.

Namun, dalam praktiknya, koperasi sering menghadapi tantangan dalam hal manajemen keuangan, transparansi, dan profesionalisme dalam pengelolaan dana.

Banyak koperasi yang mengalami kendala dalam tata kelola keuangan yang baik, sehingga tidak jarang terjadi kasus kredit bermasalah atau bahkan penyalahgunaan dana.

Jika koperasi desa tidak dikelola dengan profesional, maka alokasi anggaran besar yang diberikan pemerintah bisa menjadi sia-sia, bahkan berpotensi menimbulkan skandal keuangan.

Oleh karena itu, pendampingan dan pengawasan dari pemerintah sangat diperlukan agar koperasi desa bisa berkembang secara sehat dan berkelanjutan.

Dibandingkan dengan bank konvensional, koperasi memang memiliki keunggulan dalam hal kedekatan dengan anggotanya.

Namun, dari sisi kapasitas keuangan dan akses terhadap modal besar, bank masih jauh lebih unggul.

Oleh karena itu, koperasi desa tidak seharusnya menjadi pesaing bank, melainkan mitra yang saling melengkapi dalam membangun ekosistem ekonomi mikro yang lebih kuat.

Implikasi terhadap Pertumbuhan Industri Perbankan

Dengan adanya kebijakan ini, pertumbuhan industri perbankan, terutama bank yang selama ini mengandalkan KUR, bisa mengalami perlambatan jika koperasi desa mampu menjadi alternatif pembiayaan yang lebih menarik bagi UMKM.

Jika banyak pelaku usaha mikro yang beralih ke koperasi, maka permintaan terhadap KUR bisa menurun, yang pada akhirnya akan berdampak pada pendapatan bank dari sektor kredit mikro.

Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga bisa menjadi peluang bagi perbankan untuk melakukan diversifikasi model bisnis mereka.

Alih-alih hanya menjadi penyalur KUR, bank bisa mulai berperan sebagai pemberi pinjaman bagi koperasi desa, sehingga tetap dapat memperoleh keuntungan dari sektor ekonomi mikro.

Model ini telah diterapkan di beberapa negara, di mana bank bekerja sama dengan koperasi untuk menyalurkan kredit dengan risiko yang lebih terkelola.

Selain itu, bank juga bisa mengembangkan layanan keuangan digital yang lebih mudah diakses oleh masyarakat desa.

Dengan memanfaatkan teknologi, bank bisa tetap relevan di tengah pertumbuhan koperasi desa, misalnya dengan menyediakan layanan digital banking yang bisa digunakan oleh koperasi untuk mengelola transaksi keuangan mereka secara lebih efisien.

Antara Peluang dan Tantangan

Koperasi Desa Merah Putih merupakan kebijakan yang memiliki potensi besar dalam mengubah lanskap ekonomi pedesaan di Indonesia.

Jika dikelola dengan baik, koperasi desa dapat menjadi solusi bagi permasalahan klasik yang dihadapi oleh UMKM dalam hal akses terhadap pembiayaan dan distribusi hasil produksi.

Pemerintah perlu memastikan bahwa program ini memiliki sistem pengawasan yang ketat agar dana yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat desa.

Dari perspektif sektor perbankan, kebijakan ini bisa menjadi tantangan karena potensi peralihan debitur mikro dari bank ke koperasi.

Namun, jika bank mampu menyesuaikan diri dengan model bisnis baru, seperti menjadi penyedia dana bagi koperasi atau mengembangkan layanan keuangan digital yang lebih inklusif, maka industri perbankan tetap bisa tumbuh beriringan dengan koperasi desa.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada bagaimana koperasi desa dikelola dan bagaimana sektor perbankan menyesuaikan diri dengan dinamika ekonomi baru yang akan terbentuk.

Jika koperasi desa dan perbankan bisa bersinergi, maka ekosistem ekonomi mikro di Indonesia akan semakin kuat, membawa dampak positif bagi perekonomian nasional secara keseluruhan.

Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta