Penundaan Kenaikan PPN, Angin Segar atau Alarm Bahaya?
Oleh : Redaksi
Senin | 13-01-2025 | 19:24 WIB
CME1.jpg
Center for Market Education Indonesia (CME Indonesia).

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menunda rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang semula dijadwalkan berlaku pada Januari 2025.

Kebijakan ini diambil setelah mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. Diharapkan, penundaan kenaikan PPN dapat memberikan keringanan bagi kelompok yang rentan secara ekonomi.

Meski demikian, Center for Market Education Indonesia (CME Indonesia) menilai, meskipun kenaikan PPN ditunda, reformasi pajak yang lebih menyeluruh perlu menjadi prioritas. Betapa tidak, menurut laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Bank Dunia, rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tergolong rendah.

Menurut OECD, misalnya, rasio pajak terhadap PDB Indonesia pada 2022 adalah 12,1%, atau 7,3 poin persentase di bawah rata-rata kawasan Asia dan Pasifik (19,3%). Rasio ini bahkan lebih jauh tertinggal dibandingkan rata-rata OECD yang berada di kisaran 34%. Sejak 2007, rasio pajak terhadap PDB Indonesia cenderung stagnan.

Saat ini, PPN menjadi sumber pendapatan fiskal negara terbesar kedua (28%) setelah pajak penghasilan perusahaan (29%). Sebaliknya, pajak penghasilan orang pribadi hanya berkontribusi 13%, lebih kecil dibandingkan kategori 'pajak lainnya' (14%) yang digunakan oleh OECD.

Ketergantungan pada Indirect Taxation: Tantangan Baru

"Data menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi masalah struktural dalam penerimaan pajak, terutama rendahnya kontribusi pajak penghasilan pribadi. Kenaikan PPN dapat membantu mendongkrak penerimaan pajak, tetapi memperbesar risiko ketergantungan pada pajak tidak langsung," ujar CEO CME Dr. Carmelo Ferlito (yang juga merupakan Anggota Fakultas di Universitas Prasetiya Mulya).

"Pajak tidak langsung atau indirect taxation bersifat regresif karena lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah yang penghasilannya sudah pas-pasan. Selain itu pajak tidak langsung seperti PPN juga berpotensi memperlebar jurang kesenjangan," katanya.

Lebih lanjut, Ferlito menambahkan bahwa sebetulnya pajak konsumsi seperti PPN memiliki nilai positif, yakni mendorong perilaku menabung yang pada akhirnya mendukung aktivitas investasi. "Pertumbuhan yang sustainable dibangun di atas pilar tabungan dan investasi," ujar Anggota Fakultas di Universitas Prasetiya Mulya ini.

Meski demikian, mengandalkan peningkatan pajak dari pajak tidak langsung seperti PPN untuk mencapai ketahanan fiskal sangatlah berisiko. CME Indonesia menekankan perlunya reformasi pajak yang komprehensif dan rencana serius untuk mengurangi pengeluaran pemerintah yang betul-betul konsisten.

Data resmi BPS menunjukkan, antara 2019-2024 pengeluaran pemerintah meningkat hampir 44%, sementara pendapatan pemerintah hanya naik 43%. Lebih jauh, defisit anggaran 2024 diproyeksikan hampir 50% lebih tinggi dibandingkan 2019.

Rekomendasi untuk Reformasi Fiskal

CME Indonesia merekomendasikan langkah-langkah reformasi fiskal di antaraya sebagai berikut:

1. Penurunan pajak penghasilan dengan pengawasan ketat terhadap pengumpulan pajak individu sembari meluaskan basis pembayar pajak penghasilan (income tax base) dan integrasi terhadap ekonomi formal.
2. Reformasi pengeluaran pemerintah, meliputi:
- Peninjauan program bantuan sosial, dengan mengganti subsidi langsung menjadi sistem voucher terarah
- Peninjauan kegiatan BUMN untuk menyaring perusahaan yang tidak efisien dan secara bertahap membuka pasar untuk kompetisi

CME juga mengusulkan agar pemerintah beserta DPR kembali ke prinsip anggaran berimbang. Meski ada fleksibilitas fiskal untuk keadaan darurat, perlu adanya batas waktu maksimal bagi pemerintah untuk kembali mencetak surplus anggaran, alih-alih mengandalkan ruang defisit seperti saat ini.

Selain itu, reformasi perpajakan (dan fiskal) juga perlu dilakukan untuk meminimalkan risiko inflasi yang selalu mengancam daya beli masyarakat. "Pada akhirnya, isunya tidak semata apakah PPN naik atau tidak. Tapi bagaimana agar ruang fiskal negara kuat, sembari daya beli masyarakat terjaga," pungkasnya.

Editor: Yudha