Waspada! Bakteri Kebal Antibiotik Meningkat
Oleh : Redaksi
Selasa | 24-09-2024 | 16:04 WIB
bakteri.jpg
Ilustrasi.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Penggunaan antibiotik yang tidak bijak semakin memperburuk masalah bakteri kebal antibiotik di Indonesia. Kondisi yang dikenal dengan resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) ini membuat pengobatan dan perawatan pasien menjadi lebih sulit.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr Azhar Jaya, mengungkapkan data terbaru mengenai resistensi antimikroba yang dikumpulkan dari rumah sakit sentinel.

Data tersebut mencatat peningkatan resistensi pada dua jenis bakteri, yakni Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae. "Pada tahun 2022, hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) di 20 rumah sakit sentinel mencapai 68%. Sementara di tahun 2023, dari 24 rumah sakit sentinel, angka resistensi meningkat menjadi 70,75%, lebih tinggi dari target 52% yang ditetapkan untuk tahun 2024," ujar Azhar, Selasa (17/9/2024) lalu, demikian dikutip laman Kemenkes.

Kedua bakteri tersebut dapat menyebabkan infeksi serius yang mempengaruhi seluruh organ tubuh manusia, bahkan berisiko fatal.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih representatif, Azhar menjelaskan bahwa pada akhir 2024 pengukuran akan diperluas ke 56 rumah sakit di seluruh wilayah Indonesia. Pengukuran ini akan mencakup rumah sakit pemerintah, daerah, hingga swasta.

Data WHO melalui Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) pada tahun 2022 juga menunjukkan resistensi antimikroba pada Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae di Indonesia, yang terdeteksi dari pemeriksaan darah dan urine pasien terinfeksi AMR.

Tantangan Pengobatan Pasien AMR

Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa penanganan pasien dengan infeksi bakteri kebal antibiotik memerlukan upaya ekstra. "Pilihan obat untuk pasien dengan infeksi AMR sangat terbatas. Antibiotik yang efektif sering kali tidak tersedia atau terlalu mahal, dan patogen bisa kebal terhadap antibiotik yang ada," jelas Azhar.

Selain itu, diagnosis infeksi ini membutuhkan waktu lama karena harus melalui pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, yang memperlambat perawatan.

Faktor lain yang menjadi tantangan adalah efek samping yang lebih berat dari antibiotik yang digunakan, serta penyebaran infeksi AMR di rumah sakit yang dapat terjadi dengan cepat, memerlukan pengendalian ketat. "Biaya perawatan juga sangat tinggi karena masa rawat inap pasien menjadi lebih lama, yang tidak hanya membebani pasien tetapi juga jaminan kesehatan," tambahnya.

Imbauan Bijak dalam Penggunaan Antibiotik

Melihat dampak serius dari infeksi AMR, masyarakat diimbau untuk lebih bijak dalam mengonsumsi antibiotik. Azhar mengingatkan agar antibiotik hanya digunakan sesuai resep dokter dan menghindari penggunaan antibiotik tanpa resep atau sisa obat dari perawatan sebelumnya.

"Masyarakat juga harus menerapkan kebiasaan higienis, seperti rajin mencuci tangan dan melakukan vaksinasi yang diperlukan untuk menghindari infeksi yang memerlukan antibiotik," ujarnya.

Kemenkes juga terus mengedukasi tenaga medis melalui peningkatan kompetensi dokter dalam menangani penyakit infeksi dan memastikan kepatuhan terhadap standar pelayanan. Pengawasan pemberian antibiotik dilakukan melalui rekam medis elektronik, dan antibiotik cadangan hanya boleh digunakan dengan alasan yang jelas.

"Tenaga kesehatan selain dokter tidak diizinkan meresepkan antibiotik, kecuali dengan kewenangan khusus," tutup Azhar.

Editor: Gokli