Sudah 66 Perusahaan Mengantri

Kemendag Masih Tunggu Kemenkeu Atur Dasar Pungutan Ekspor Pasir Laut
Oleh : Redaksi
Kamis | 19-09-2024 | 10:04 WIB
pasir_laut_lagi.jpg
Ilustrasi (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim menyatakan pihaknya masih menunggu aturan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mengatur dasar pungutan ekspor sedimentasi laut.

Aturan tersebut pun nantinya akan termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang saat ini masih digodok.

"Nanti ada penetapan PMK-nya untuk pungutan ekspornya berapa, biaya keluarnya berapa. Kemenkeu sekarang sedang menyiapkan PMK-nya. Itu kita tunggu," ujarnya kepada media saat mengunjungi lahan sawah PT Sang Hyang Seri di Subang, Rabu (18/9/2024).

Lebih lanjut Isy memaparkan ada dua keuntungan bagi Indonesia yang membuka keran ekspor sedimentasi laut.

Pertama adalah dengan adanya pengerukan sedimentasi tersebut tidak lagi membuat arus pelayaran kapal tersendat lantaran adanya lempengan sedimentasi di bagian bawah laut.

Keuntungan kedua adalah dengan membuka keran ekspor sedimentasi laut Indonesia bisa mendapatkan pemasukan kas negara.

Dalam kesempatan itu, Isy juga menegaskan bahwa pemerintah tidak membuka ekspor pasir laut, melainkan sedimentasi laut.

Dia menjelaskan, pemerintah memiliki batasan-batasan untuk memberikan izin kepada pengusaha jika ingin mengajukan ekspor.

Salah satunya mengenai batasan 9 jenis mineral laut yang tak boleh dilampaui. "Ini ada batasan-batasannya yang telah ditetapkan pada Permen KKP Nomor 47 Tahun 2024. Itu ada 9 jenis mineral laut yang enggak boleh dilampaui dan kalau melampaui enggak bisa diekspor," tegas Isy.

66 Perusahaan Mengantri

Sementara itu, Sekretaris Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan Kusdiantoro pada Selasa (17/9/2024) mengatakan, usai dibukanya keran ekspor secara resmi, sudah ada 66 perusahaaan yang mendaftar untuk mengeruk pasir pantai dan mengekspornya ke luar negeri.

"Untuk ekspor masih sangat panjang karena untuk di alam negeri sendiri saja ini masih melakukan verifikasi, validasi karena ini prinsip kehati-hatian dijaga," beber Kusdiantoro.

Namun demikian, dari 66 perusahaan tersebut, lanjut Kusdiantoro, pemerinntah masih harus melakukan verifikasi mendalam lantaran eksploitasi pasir laut rentan merusak ekosistem.

"Sehingga dari 66 perusahaan yang sudah mendaftar itu kita teliti, semua aspek kita lihat," kata dia.

Menurut Kusdiantoro, perusahaan yang berminat melakukan ekspor pasir ternyata sangat banyak. Ekspor pasir sendiri memang dilarang pemerintah sejak puluhan tahun silam.

"Ini tidak mudah, dan ternyata peminatnya cukup banyak. Jadi kita terus lakukan verifikasi dan teliti, sehingga kita pastikan kelola (eskpor pasir laut) sesuai dengan di PP maupun permen," ujarnya.

Sebagai informasi, aturan ekspor pasir laut ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan merevisi dua Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.

Sementara aturan turunannya diatur dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor, dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Untuk diketahui saja, sebelum keluarnya dua Permendag yang diteken Zulkifli Hasan tersebut, ekspor pasir laut adalah aktivitas ilegal selama kurun waktu 20 tahun.

Pelarangan ekspor pasir laut dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2002 atau di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Penghentian ekspor pasir oleh pemerintah dilakukan karena jadi polemik panas kala itu. Kala itu, banyak pihak yang kontra dengan ekspor pasir laut karena hanya menguntungkan Singapura.

Sementara Indonesia tidak banyak diuntungkan karena harga pasir yang dinilai terlalu rendah. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan, di mana banyak pulau-pulau kecil di Kepualauan Riau (Kepri) hilang kerena terkena abrasi setelah pasirnya dikeruk untuk dikirim ke Singapura.

Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun.

Pemerintah kemudian melalui Kemendag resmi membuka keran ekspor pasir laut setelah selama 20 tahun melarang mengapalkan pasir laut untuk dikirim ke luar negeri.

Editor: Surya