Pikul Agama
Oleh : Redaksi
Rabu | 07-08-2024 | 08:08 WIB
0708_pikul-agama_02392348234781.jpg
Dahlan Iskan saat memikul tandu dewa Cheng Ho di Semarang. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

SAAT ikut memikul tandu dewa Cheng Ho di Semarang, Minggu pagi lalu, pikiran saya melayang ke Kumaila nan cantik.

"Tidak ada agama yang masuk akal", judul podcast anak muda yang hafal quran dan lulusan Institut Ilmu Alquran yang sekarang lagi viral itu.

Tandu itu berat sekali. Dipikul empat orang. Banyak yang berebut ingin memikulnya. Termasuk tokoh-tokoh Tionghoa Semarang.

Jam 05.00 pagi mereka sudah berkumpul di Kelenteng Besar Tay Kak Sie. Di Jalan Lombok. Dari situlah Dewa Cheng Ho diarak menuju Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Bersama abu hio selama setahun di klenteng tersebut.

Saya harus tahu diri. Maka begitu keluar dari Kelenteng Tay Kak Sie saya ingin menyerahkan posisi saya ke tokoh lain. "Sudah tidak kuat?" tanya ketua panitianya, Novi Sofian.

Saya malu menjawab tidak kuat lagi. Novi cantik sekali. Lima 'i'. Dia aktivis Tionghoa terkemuka di Semarang. Pengusaha. Dua anaknyi laki-laki semua, sudah dewasa semua, ganteng-ganteng semua. Ternyata adik-adik Novi juga sama cantiknya. Pun ibunyi. Kakak laki-lakinyi, Tommy Su, selalu juara karaoke lagu Mandarin tingkat nasional.

"Kalau masih kuat, terus saja, Pak," ujar Novi.

"Nggak enak dengan yang lain," jawab saya.

"Mboten menapa-menapa," kata Novi lagi.

Maka saya pun terus memikulnya. Sepanjang Jalan Lombok. Penuh manusia di kanan-kirinya. Sebagian menonton. Ada juga yang tiba-tiba ke tengah jalan, menghadap tandu, lalu sembahyang di depan saya --maksud saya di depan Dewa Cheng Ho.

Sambil memikul tandu saya melirik ke kiri: ada toko lumpia Jalan Lombok. "Oh, ini lumpia yang terkenal itu," kata saya dalam hati. Toko lun pia itu masih tutup. Saya menelan ludah.

"Sampai di mana saya akan memikul ini," kata saya dalam hati. Begitu banyak yang ingin bergantian memikulnya. "Sampai mulut jalan Lombok saja," tekad saya.

Maka begitu keluar ke jalan besar --saya lupa nama jalan itu-- saya serahkan posisi saya ke yang lain. Saya berjalan di sebelahnya.

Ingatan saya juga ke pelajaran pertama saat di pesantren dulu: kitab Arbain. Yakni kumpulan 40 ucapan penting Nabi Muhammad yang dihimpun dalam kitab Arbain. Semuanya hadis yang kuat --terlihat dari siapa penghimpunnya: Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Salah satu yang selalu terngiang dari Arbain adalah ucapan Nabi yang satu ini: innamal a'malu binniyat. Semua perbuatan itu tergantung pada niatnya.

Niat apakah yang muncul di lubuk hati saya saat memandu Dewa Cheng Ho itu? Biarlah hanya saya dan arwah Cheng Ho yang tahu. Kalau Tuhan kan sudah Mahatahu.

Ingatan saya lainnya adalah: halaman Rumah Gadang yang tidak kalah cantik di Surabaya. Sekitar 100 teman saya pasti lagi senam-dansa di sana. Pagi itu saya absen. Sedih. Maka saya bertekad: akan terus berjalan kaki, ikut arak-arakan Cheng Ho ini, sampai Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Itu berarti sekitar 6 km. Bisa menjadi pengganti senam-dansa.

Saya menyesal: mengapa tadi malamnya tidak naik panggung. Lalu senam dansa di atas panggung. Yakni di resepsi ulang tahun kedatangan Cheng Ho yang di halaman depan Kelenteng Tay Kak Sie.

Padahal penyanyinya keren semua: Tommy Su dan Sianne. Kan saya bisa minta mereka menyanyikan lagu Xiao Ping Guo atau Mei Hua yang saya bisa gerakan dansanya.

Malam itu praktis "malam tidak tidur" di Tay Kak Sie. Sepanjang malam orang berdatangan untuk sembahyang. Juga sibuk mempersiapkan arak-arakan keesokan harinya. Banyak yang terus latihan atraksi di halaman kelenteng.

Malam itu sekitar 400 dewa dari berbagai kelenteng Indonesia didatangkan ke Tay Kak Sie. Mereka meletakkan dewa-dewa mereka di altar besar. Sebelum subuh dewa-dewa itu diturunkan, dimasukkan tandu masing-masing untuk diarak ke Kelenteng Agung Sam Poo Kong.

"Di mata orang Tionghoa, Cheng Ho itu siapa?" tanya saya pada Novi.

"Di mata kami Cheng Ho itu dewa," jawabnya.

Tentu banyak pandangan tentang siapa Cheng Ho. Saya juga banyak membaca literatur tentang pelaut agung itu. Saya sudah ke pelabuhan pembuatan kapal-kapal Cheng Ho di Tiongkok sana.

Baru di Semarang ini saya tahu bahwa Cheng Ho adalah dewa. Mungkin Cheng Ho telah menginspirasi ribuan orang Tiongkok untuk berlayar ke selatan. Termasuk sampai ke wilayah yang kelak bernama Indonesia.

Kalau saya hanya berjalan tanpa kesibukan apa artinya saya ikut arak-arakan. Maka saya cari-cari pekerjaan. Apa yang bisa saya lakukan di sepanjang jalan itu.

Tentu saya juga memikirkan mengapa semua pemeluk agama begitu bergairah mengamalkan agama masing-masing. Sampai kadang menjelekkan agama tetangga.

Agama itu memang masuk akal --khusus bagi pengikutnya masing-masing.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia