Kaca Spion
Oleh : Opini
Rabu | 21-02-2024 | 08:36 WIB
DAHLAN-DISWAY-129.jpg
Wartawan senior Indonesia Dahlan Iskan. (Foto: Net)

Oleh Dahlan Iskan

DUA ratus jenderal itu banyak sekali. Berbobot sekali. Apalagi banyak yang bintang empat. Sudah dua hari mereka sepakat: Presiden Jokowi harus mengundurkan diri. Kalau tidak, harus dilengserkan.

Tapi sikap yang begitu keras ternyata tidak bergema. Tidak jadi isu nasional yang menggelinding membesar. Medsos juga tidak memviralkannya. Sepi. Aneh.

Para jenderal itu tergabung dalam Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri untuk Perubahan dan Persatuan. Disingkat FKP3.

Ketuanya Jenderal Sutiyoso. Dipanggil Bang Yos. Ia gubernur Jakarta dua periode. Pernah menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Sudah sering ada seruan Presiden Jokowi mundur. Tapi ini kan para jenderal. Mestinya punya nilai tekanan yang lebih kuat. Nyatanya tidak.

Mungkin karena mereka partisan. Bang Yos adalah penasihat Partai Nasdem. Forum itu sendiri memang sengaja dibentuk untuk mendukung Capres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Pernyataan keras itu hasil pembahasan mereka di Museum Bang Yos yang luas. Di Jalan Kalimanggis, masuk bilangan Bekasi. Di video pertemuan itu terlihat ada lambang Nasdem di salah satu dindingnya.

Yang membacakan pernyataan itu juga jenderal bintang empat: Jenderal Fachrul Razi.

Ini sangat menarik. Selama ini saya tahu Jenderal Fachrul Razi sangat dekat dengan Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan.

Saya sering berada dalam satu pertemuan kecil yang ketika ada LBP ada pula Razi. Dulu.

Razi adalah komisaris utama salah satu perusahaan milik LBP.

Kini mereka berbeda jalan. Berarti belum lama.

Di Pemilu 2019 Jenderal Razi masih jadi ketua salah satu tim kampanye Jokowi. Berhasil.

Jokowi menang telak.

Razi pun dilantik menjadi menteri agama. Ia mengikuti jejak Tarmizi Taher dan Alamsyah Ratu Perwiranegara.

Sama-sama militer. Sama-sama orang Sumatera.

Tarmizi orang Minang. Alamsyah orang Lampung. Razi orang Minangkabau yang lahir di Aceh.

Mereka sama-sama jadi menteri agama. Hanya saja baru Razi menteri agama yang bintang empat.

Ia hanya satu tahun jadi menteri. Tiba-tiba digantikan Yaqut Cholil Qoumas, ketua umum GP Ansor-nya NU.

Tanggal 22 Desember 2020, Gus Yaqut dilantik, tanggal 30 Desember 2020 FPI dibubarkan. Itulah sebabnya muncul rumor Razi diganti karena tidak mau membubarkan FPI. Tentu itu hanya rumor.

Razi pernah menjadi wakil panglima TNI. Karena itu berpangkat jenderal bintang empat. Tapi jabatan wakil panglima itu dihapus di zaman Presiden Gus Dur --hilang pula kursinya.

Razi kini 76 tahun. Bang Yos 79 tahun. Mereka masih terus aktif memikirkan negara.

Razi pernah ikut jadi pendiri Partai Hanura. Bang Yos ikut mendirikan Partai PKPI.

Setelah pernyataan dibacakan, seorang wartawan bertanya: apa yang akan dilakukan oleh para jenderal itu kalau pernyataan mereka diabaikan.

Seorang jenderal menjawab: bisa terjadi people power.

Hasil quick count begitu mencolok. Selisih suara tiga pasangan begitu jauh.

Selisih itu sulit dipakai untuk menggerakkan rakyat. Potensi people power lebih besar terjadi di Pilpres 2019. Waktu itu Prabowo kalah tipis. Tapi isu people power langsung reda ketika Prabowo menyatakan bisa menerima hasil Pilpres. Ia pun jadi menteri.

Tentu pendukung utama Prabowo marah. Kecewa berat. Balik membenci. Tapi mayoritas rakyat menganggap Prabowo negarawan. Kalau sampai terjadi kekacauan negara yang rugi.

Potensi people power yang lebih besar terjadi ketika Gus Dur dilengserkan. Pengikut Gus Dur sudah siap bergerak. Tapi Gus Dur mencegahnya. Gus Dur pilih meninggalkan Istana kepresidenan dengan celana pendeknya. Gus Dur dikenang sebagai negarawan.

Para negarawan sangat pandai meredakan ketegangan. Demi bangsa. Apalagi di saat selisih perolehan suara begitu jauhnya.

Memang perlu perbaikan total sistem Pemilu kita. Bahkan itu pun belum cukup. Harus sampai ke perbaikan sistem politik.

Inilah jalan buntu yang harus diprioritaskan penjebolannya. Bukan lagi mempersoalkan hasil Pilpres.

Itulah sebabnya negarawan hanya perlu sesekali saja menatap ke kaca spion.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia